BAGIAN TIGA BELAS

3410 Words
Hail POV Apa pun yang kulakukan untuk memperbaiki hubungan dengan Glafira tak berjalan dengan lancar. Jelas-jelas dia marah padaku, tapi tiap kali aku meminta maaf, Glafira bertanya kenapa aku meminta maaf. Kalau sudah begitu aku harus jawab apa? Aku bahkan tak bisa menemui Misora untuk menyelesaikan urusan yang masih menggantung. Kuharap Noir masih tak sadar dan tidak membuat semuanya makin kacau. Waktuku sepenuhnya telah disita oleh Glafira, majikanku itu memastikan kalau aku ada dalam pengawasannya selama dua puluh empat jam penuh. Kadang jadi supir, kadang jadi pelayan atau sekadar hanya menemaninya menemui beberapa orang saja. Kami beristirahat di sebuah kedai makan setelah pergi mengecek perkebunan. Glafira hanya diam saja membaca laporan di depanku. Dibilang makan bersama, tapi yang aku merasa seperti makan sendirian. Aku menatapnya terus-terusan, berharap Glafira berkata sesuatu daripada hanya diam saja memperlakukan aku seperti tak ada. Setelah lima menit, aku menyerah. Aku memutuskan untuk memberanikan diri bertanya padanya. “Apa kau masih marah?” tanyaku ragu-ragu. Glafira melirik sebentar, lalu kembali mengarahkan pandangannya pada kumpulan kertas di samping piringnya. Setelah itu, barulah ia menjawab. “Aku tak marah,” bohong Glafira untuk ke sekian kalinya. “Makanya, aku sudah bilang berkali-kali. Aku tidak melanggar perintahmu. Aku tidak benar-benar berpacaran dengan Misora, itu hanya bagian dari tindakan untuk mengendalikan Noir. Aku sudah mendapatkannya sekarang, dan seperti yang kau dengar saat itu. Aku berkata ingin putus itu, bermaksud memutuskan di hadapan Noir. Nyatanya kami bahkan tak pernah berpacaran.” Aku mencoba menjelaskan lagi, bahkan sampai sangat detail. Kuharap Glafira bisa paham, berhenti menyiksaku dengan sikapnya yang dingin. Glafira meletakkan kertasnya dengan kasar. Ia melotot padaku, menarik dasiku hingga tubuhku ikut terhempas ke depan. “Aku tidak ingat memerintahmu melakukan itu.” Ini bukanlah cara berbicara yang baik, tapi aku malah merasa senang diperlakukan seperti ini. “Itu benar, tapi kau bilang selesaikan sendiri urusan dengan Noir. Lagi pula Waktu itu kau kelihatan sibuk, jadi aku merasa tak perlu melibatkanmu segala.” Aku harus tenang, jangan sampai perasaanku terlihat oleh Glafira. Dia mungkin bisa jadi muak padaku. Aku telah mengejarnya sejak lama, selalu berusaha untuk bisa masuk ke dalam hatinya. Dan untuk itu, aku harus hati-hati agar tak membuatnya terganggu. Glafira melepaskan dasiku, membuat tubuhku terempas kembali ke kursi. Dia memalingkan wajahnya, bersedekap dengan kaki yang menyilang. “Alasan! Tak perlu pura-pura pacaran segala hanya untuk memanipulasi Noir.” Ekspresi wajahnya lebih jutek dari biasanya. Untuk sesaat, aku bisa melihat emosi yang meluap-luap. Terselip di antara kalimatnya yang terdengar kasar. “Jangan bilang, kau cemburu?” tanyaku memastikan. Glafira terdiam, tersentak kaget. Lalu kemudian membantah dengan keras. “Omong kosong! Kau itu propertiku. Aku hanya tak suka milikku direbut, itu namanya bukan cemburu.” Semakin dia tak ingin mengakuinya, ekspresi wajahnya semakin menunjukkan sebaliknya. Oh tidak, aku terlalu senang. Selama ini aku selalu merasa bingung apa yang harus kulakukan untuk bisa menarik perhatiannya, tapi ternyata aku sudah memenuhi isi pikirannya tanpa kuketahui. “Itu namanya cemburu,” balasku. “Bukan! Aku hanya merasa diremehkan kalau ada yang berani mengusik propertiku!” Glafira makin keras membantah, kali ini dia memasang wajah marah. “Oke, aku paham.” Aku mengalah saja, menahan diri untuk tidak membuatnya merasa lebih kesal. Yang penting sekarang aku sudah tahu kalau dia tak marah lagi, hanya sedikit bad mood saja. “Huh, bagus kalau paham.” Glafira mendengus, merasa lega aku tak mengungkitnya lagi. Dia melanjutkan makan siangnya, sesekali masih sambil bekerja. Kebiasaan buruk yang sebenarnya cukup kusukai. Tangannya yang bergerak dengan pelan mengambil isi piring tanpa melihatnya dan mata tajam yang tampak serius menatap pada lembaran kertas. Sesekali ia melirik pada luar jendela, melihat siapa yang lewat ketika suara mesin mobil terdengar. Di kota ini, mobil masih sangat sedikit sekali jumlahnya. Selain karena langka, harganya pun mahal. Belum lagi kecepatannya yang kalah dengan seekor kuda. Aku pribadi lebih suka menunggangi kuda daripada menyetir mobil yang hanya cocok untuk pajangan saja. Tentu saja besi berjalan itu tetap populer di antara keluarga kaya, terutama untuk nyonya rumah yang suka pamer. Glafira sangat menyukainya, menurutnya teknologi itu punya daya tariknya tersendiri. Itulah sebabnya dia membeli beberapa buah untuk pajangan, padahal jelas-jelas wanita kasar itu lebih suka menunggang kuda seperti seorang laki-laki. Aku rasa hanya Glafira dan Fanette saja wanita yang menunggangi kuda di kota ini, mereka juga mengikuti tempat pelatihan yang sama. Oh ya, kalau diingat lagi... bukannya sudah saatnya kami mengikut sertakan Fanette dalam permainan? Mengingat kalau Misora sudah tak ada gunanya. Teringat dengan hal itu, aku bertanya, “Bagaimana dengan Fanette? Aku rasa sudah saatnya kita meminta bantuannya.” Glafira menatapku dengan serius, ia meletakkan kembali berkas kerjanya. “Belum. Fanette tak boleh muncul sebelum kau kembali ke keluargamu,” jawab Glafira. Aku mengenyit. Apalagi maunya kali ini? Dan kapan rencananya dia berniat membuatku kembali ke sana. “Daripada itu, aku kepikiran soal Misora. Tingkahmu mengacaukan segalanya, sekarang aku bingung bagaimana menggunakannya lagi. Aku yakin kalau perempuan itu takut padaku sekarang.” Tentu saja, siapa yang tak takut dibentak seperti itu tanpa ada salah. Emosi Glafira itu memang sudah keterlaluan, tapi aku berani bertaruh kalau dia tak mau di salahkan. “Maaf, aku akan melakukan sesuatu soal itu.” Lebih baik aku menawarkan diri dulu, sebelum dia mulai semakin menyalahkanku. “Jangan macam-macam! Bilang saja kau ingin kencan dengannya. Aku tahu Misora masih muda dan cantik. Pasti kau juga sama saja dengan laki-laki yang mengelilinginya.” Namun, sikap Glafira malah sebaliknya. Dia mulai lagi menuduhku, cemburu buta untuk sesuatu yang tak masuk akal. Misora memang wanita yang paling diminati di kota ini, lamaran yang datang padanya pun tidak sedikit. Namun, aku tak suka dengan kepribadiannya itu. Terlalu merepotkan untuk kutangani. “Sebaiknya kau ingat sumpahmu dulu! Hidupmu itu milikku dan hanya boleh berpusat padaku!” Glafira juga terkadang menyusahkan seperti ini, tapi aku tidak pernah keberatan dikekang olehnya. Sifat posesif itu menyenangkan hatiku. “Aku selalu ingat,” jawabku mantap. Kuambil tangannya, meremasnya pelan seraya menatap wajahnya. Kuberikan senyuman terbaikku yang selalu disukainya, membuatnya tersanjung hingga bisa membungkam mulutnya. Kekesalan Glafira mereda. Ia menarik tangannya kasar, berdiri tiba-tiba menghampiri meja kasir. “Sudah cukup omong kosongnya, ayo kembali bekerja,” ucapnya. mengalihkan pembicaraan, mencoba menyembunyikan rasa senangnya. Aku tertawa kecil mengikutinya, pergi lebih dulu ke tempat parkir untuk mengambil mobilnya. Ketika ia sudah selesai membayar, aku sudah berada di depan pintu. Menunggunya seperti supir yang patuh. “Mau ke mana setelah ini?” tanyaku. Setahuku jadwal kerja Glafira sudah kosong siang ini, tapi dia tadi berkata ingin bekerja di luar dan itu artinya dia ingin aku menemaninya menemui seseorang. “Menemui Misora, aku akan membereskan kesalahanmu. Berterima kasihlah,” jawab Glafira. Dasar pembohong, apanya yang membereskan masalahku. Bilang saja dia tak ingin aku bertemu dengan Misora. Setelah menyuruhku mengurus sendiri, sekarang dia malah ikut campur seenaknya. Punya majikan seperti ini memang melelahkan. “Kalau sudah sampai, kau tunggu saja di dalam mobil. Awas kalau berani keluar saat aku menemuinya,” perintah Glafira kemudian. Aku mengangguk saja, tak mau cari masalah. Dengan patuh aku mengantarkannya ke kediaman Ester, menunggu di dalam mobil seperti perintah Glafira. Entah apa yang akan dia katakan di dalam saja, yang jelas apa pun itu, tak ada yang bisa kulakukan. Selama menunggu, aku menatap ke pintu masuk. Mengamati siapa saja yang keluar dan masuk untuk menghabiskan waktu luang. Tak lama setelah itu, sebuah mobil melintas di depan mobilku yang terparkir tepat di pinggir pagar samping gerbang utama. Jendela mobil itu terbuka, di bagian belakang terdapat seseorang yang tak asing. Kenan Amber, saudaraku yang jahat. Saat aku menatapnya, dia kebetulan melihat ke luar jendela. Tepat berhadapan dengan wajahku. Kami saling pandang selama beberapa detik, tapi tak ada tanda-tanda ia mengenali wajahku. Kenan menoleh setelah itu, bersikap santai. Menegaskan kalau dia memang tak mengenaliku sama sekali. Aku jadi ingin keluar sekarang, menghampirinya dan menyapanya sama seperti yang kulakukan pada Noir. Akan tetapi wajah kesal Glafira terlintas di benakku, membuatku memutuskan untuk menahan diri. Duduk diam di posisi semula, menunggu dengan patuh. Palingan Kenan hanya datang menemui tunangannya, Fanette. Dia tak ada urusan denganku. Akan lebih baik kalau aku diam saja, jadi dia akan tetap tak menyadari keberadaan Glafira. Akan buruk jika mereka bertemu dan mulai kecok. Namun, lima belas menit kemudian, mobil Kenan melintasku lagi. Kali ini dia berhenti di depanku, parkir ke sisi pagar yang lain. Laki-laki itu keluar dari mobil, meninggalkan supirnya menunggu di depan pintu. Sementara ia berjalan sendirian menghampiri. “Bisa keluar sebentar?” tanyanya, mengetuk jendela di samping kursi pengemudi. “Ada urusan apa? aku tidak ingat kalau kita saling mengenal,” balasku. Hanya menurunkan kaca jendela saja, sama sekali tak ada niat untuk keluar. Aku masih menahan diri untuk tidak melanggar perintah Glafira. Lagi pula Kenan masih terlihat sangat santai, tidak seperti reaksi orang yang bertemu dengan seseorang yang telah ia bunuh. Mungkin dia ada urusan lain denganku, sesuatu yang tak berkaitan dengan diriku yang sesungguhnya atau Glafira. “Kita memang tak saling kenal, tapi aku ingat wajahmu. Kau yang duduk dengan Karina di pesta sebelumnya, iya, kan?” Oh, itu rupanya. Dia mengingatku saat itu, syukurlah bukan saat aku bersama dengan Glafira. “Iya, memang kenapa?” tanyaku balik. Sedikit penasaran kenapa dia bertanya tentang Karina. Aku memang menghasutnya, tapi hingga saat ini dia belum datang menemui Glafira, begitu juga sebaliknya. Harusnya Karina masih berdiam diri, atau jangan-jangan perempuan itu sudah mendapatkan keberaniannya untuk merebut tunangan sepupunya? Jika iya, baguslah. “Apa kalian berpacaran?” Kenan tak menjawabku, dia balik bertanya. Terlihat tak peduli meskipun aku tak mau keluar, dia juga tak mau repot berkenalan dulu. Tampaknya dia hanya ingin memastikan hubunganku dengan Karina saja. Mungkin Karina memang sudah mulai mendekatinya dengan berani. Kalau sudah begini, kurasa aku harus memanasi keadaan. “Bukan, kami hanya berteman. Karina bilang sudah ada orang yang dia sukai, tapi orang itu tunangan sepupunya. Kalau kau suka dengannya, kau bisa mendekatinya. Itu lebih baik daripada membiarkannya terus memikirkan orang yang tak bisa didapatkan.” Aku pura-pura saja tak tahu kalau orang yang dimaksud adalah Kenan, memberitahukannya mengenai perasaan Karina. Laki-laki mana pun pasti senang saat tahu ada wanita yang menyukainya. Tak peduli dia menyukai perempuan itu atau tidak, tetap saja tak akan mengurangi rasa senangnya. Apalagi jika wanita miliknya sendiri tak punya perasaan khusus padanya. Kenan adalah anak Almeta, aku tak akan heran kalau sifat tukang selingkuh itu juga menurun padanya. “Begitu, kalau begitu terima kasih.” Kenan pergi begitu saja setelah itu. Aku tetap diam tak meresponsnya, hanya menatap dengan lekat ekspresi wajahnya ketika ia memasuki mobilnya. *** Glafira POV Misora kelihatan kaget ketika pelayan mengantarkannya padaku, tapi dengan cepat dia tersenyum. Menyembunyikan segala perasaan buruknya, dengan sikap yang anggun dia menghampiriku. Duduk di kursi yang berhadapan denganku. Kami duduk di kursi taman bagian belakang rumah, tempat favorit Misora dan Fanette menerima tamu. Tentu saja bukan tamu seperti aku yang dia harapkan, tapi memangnya dia bisa apa? selain bersikap sopan agar tak menyinggungku. Punya posisi penting memang sangat menguntungkan. “Aku datang untuk meminta maaf,” ucapku. Berpura-pura merasa bersalah, berharap Misora akan bisa memercayaiku sekali lagi. “Kalau soal Hail, aku kira dia sudah memberi tahu padamu. Semua itu hanya pura-pura, sungguh.” Misora malah bersikap waspada, lebih dulu menjelaskan. Padahal akulah yang datang untuk meminta maaf, tapi dia malah ketakutan lebih dulu. Susah juga kalau punya reputasi buruk. “Aku tahu, makanya aku datang untuk meminta maaf. Hail sudah menjelaskan semuanya padaku, aku yang salah. Langsung marah tanpa tahu apa-apa.” “Aku janji tak akan menemuinya lagi, selanjutnya aku akan berusaha sendiri menolak Noir.” Lihat? Misora benar-benar sangat panik. Dia tak mendengarkan perkataanku, terus saja memberi penjelasan yang tak kubutuhkan. Berurusan dengan orang yang hidup dengan tenang memang agak merepotkan, akan lebih mudah kalau dia punya kepribadian yang keras seperti Fanette. Aku jadi ragu, apa aku masih bisa menggunakannya atau tidak. “Tenanglah, Misora. Aku tidak marah padamu, tak perlu merasa takut.” Aku pelankan suaraku, membuatnya terdengar selembut mungkin. Membujuk dengan manis seperti sosok seorang kakak yang baik. “Tidak apa-apa, kami akan menolongmu.” Kuyakinkan padanya kalau aku masih berada di pihaknya, tapi sepertinya itu sia-sia. “Aku akan melakukannya sendiri, itu masalahku. Jadi Nona Glafira tak perlu direpotkan lagi.” Sekali lagi Misora menolakku, dia bereaksi berlebihan. Tanda bahwa aku harus berhenti sampai di sini, kelihatannya aku sudah kehilangan satu pionku. “Kalau itu maumu, aku mengerti.” Memaksa juga tak ada gunanya, bisa jadi itu malah membuat Fanette marah padaku. “Kurasa sebaiknya aku pergi,” pamitku. Misora segera berdiri, wajahnya terlihat amat lega. “Akan kuantarkan sampai ke gerbang,” ucapnya.  “Tak perlu, masuklah.” Aku tersenyum saja, masih betah berpura-pura bersahabat. Meskipun sifat asliku sudah ketahuan, tapi selama aku tak mengakuinya maka tak masalah. Aku kemudian pulang, berjalan dengan santai ke mobilku berada. Namun, langkahku terhenti ketika melihat Kenan meninggalkan mobilku. Sementara Hail yang kusuruh menunggu masih berada di dalam mobil. Begitu mobil Kenan sudah pergi, aku buru-buru menghampiri Hail. Masuk ke dalam mobil sambil membanting pintu. Jangan bilang dia menambah masalahku lagi. “Apa yang kalian bicarakan? Jangan bilang identitasmu terbongkar lagi?” Aku langsung menyerangnya dengan pertanyaan, menarik dasi Hail secara paksa. Hail menahan tanganku, dia terlihat jauh lebih tenang dari yang kukira. “Tenang saja, semuanya masih dalam kendali.” Tangannya menyingkirkan tanganku dengan hati-hati. Kemudian ia menyalakan mesin, menjelaskan semua yang terjadi padaku. Kusandarkan punggungku, mengembuskan napas lega. Syukurlah Hail tahu yang namanya kontrol diri. Tak apa kehilangan Misora, setidaknya kami punya Karina sebagai gantinya. “Ternyata kau tak bodoh-bodoh amat,” komentarku. Hail tertawa garing, memasang senyuman menjengkelkan. “Jadi bagaimana hasil pembicaraanmu dengan Misora?” dia mempertanyakan hasil dari tindakanku yang mengaku bisa membereskan masalahnya. “Percuma. Perempuan itu sudah takut lebih dulu. Mulai sekarang tak perlu berurusan lagi dengannya, dekati Noir dengan cara lain.” Aku tahu aku gagal, tapi itu salah Hail lebih dulu. Seenaknya melakukan sesuatu tanpa memberitahuku, wajar kalau semuanya jadi kacau. Aku tidaklah sempurna, aku tak bisa mengabulkan semua hal dengan mudah. Ada yang namanya gagal dan berhasil. “Seenaknya saja. Itu sulit. Kalau bicara soal Noir, kelemahan terbesarnya ya Misora.” Hail mengeluh, tak setuju dengan keputusanku melepaskan Misora. “Makanya gunakan otakmu! Cari cara lain. Tak ada sulit selama mau berusaha.” Aku juga kesal tahu! Jangan berbicara seolah hanya dia yang kesulitan di sini. Setelah itu Hail tak berkata apa pun, dia hanya diam saja. Terlihat sibuk berpikir. Aku juga tak mau bersikap seolah aku peduli, jadi aku ikut diam. Pura-pura sibuk melakukan hal lain. Akulah bosnya, jadi Hail yang harus kelabakan karena aku. *** Hail POV Setelah aku mengantarkan Glafira pulang, dia pergi lagi sendirian. Membawa kudanya untuk menemui tetua lain, kelihatannya mereka berniat mengangkat tetua baru menggantikan Martin Don yang sudah dia eksekusi tempo hari. Untuk hal ini aku tak bisa ikut campur, hanya urusan tentang cara kerja famili yang tak pernah bisa kusentuh. Glafira tak pernah ingin aku terlibat dan dia juga tak pernah ingin para tetua tahu lebih banyak tentangku. Mereka cukup tahu kalau aku salah satu anak buah yang dipercayai oleh Glafira. Cari masalah dengan Noir juga tak bisa untuk sementara ini, setidaknya sampai aku bisa menemukan hal lain untuk mengendalikannya. Yah, paling enggak aku sudah putus hubungan dengan Misora seperti janjiku. Noir cukup tahu itu dan merasa omonganku bisa dipercaya. Tentu saja mendekati Karina juga tidak, aku harus tunggu dia yang datang sendiri. Punya terlalu banyak waktu luang ternyata bisa begitu memusingkan. Kupikir aku akan pergi memeriksa gudang saja untuk menghabiskan waktu luang, tapi orang yang sedang tak ingin kuganggu malah datang kemari. Berdiri di depan pintu rumahku, menggoyangkan bel yang tersedia di samping pintu. Aku sedang di lantai dua saat Noir datang, bersandar pada pembatas balkon melihatnya berdiri di sana sendirian. Dua orang pengawalnya yang selalu ia bawa ke mana-mana tak ada. Apalagi maunya kali ini? “Masuklah, pintunya tidak kukunci,” teriakku dari atas. Noir seketika mendongak, mencari asal suaraku. Ketika sudah ketemu, dia mengangguk. Lalu membuka pintu sendiri dan masuk ke dalam. Aku sengaja tak turun dan malah menyeduh teh sambil menunggunya masuk. Rumah ini tak terlalu besar, begitu buka pintu tangga sudah terlihat jelas. Hanya butuh waktu satu menit hingga dia sampai ke dalam. Aku menunjuk ke sebuah kursi yang tersedia di tengah ruangan ketika mata kami bertemu. Noir pergi ke sana, duduk dalam diam hingga aku menyajikan teh yang kubuat. Begini-begini juga aku tahu caranya menerima tamu, tak peduli meskipun itu tamu yang tak diundang. “Apa maumu? Kalau soal Misora sudah kusanggupi permintaanmu,” tanyaku langsung. Duduk di kursi yang berhadapan dengannya. Sama sekali tak ada niat untuk berbasa-basi. “Bukan itu,” balas Noir. Dia agak kalem hari ini, minum teh buatanku tanpa curiga. Sikap yang malah membuatku merasa tak nyaman. Seorang musuh datang berkunjung ke rumah dengan santainya, siapa yang akan merasa curiga. “Lalu apa?” Aku tidak terlalu niat berbincang ria dengannya. Apalagi di saat Glafira tak ada. Bisa jadi nanti majikanku itu akan marah lagi mendengarnya, dia mungkin malah berpikir aku ingin bersama dengan musuhnya. Noir memberikan sebuah amplop padaku. Amplop dengan segel merah di atasnya, ciri khas amplop yang biasanya dipakai oleh Yasa. Kuambil amplop cokelat itu, memeriksa isinya. Di dalam sana terdapat beberapa foto di dalamnya. Foto pertemuan aku dan Glafira dengan Daran, foto saat perebutan kembali senjata kami di pelabuhan dan foto Glafira membakar mayat sang kapten dan Martin bersama dengan anak buahnya. Yasa memang tak bisa diduga, siapa yang sangka kalau dia melakukan begitu banyak pekerjaan ganda. Memberiku informasi, lalu di saat yang sama memberi Noir informasi yang berlawanan. Mencintai uang juga ada batasnya. Dengan cara kerjanya yang begini, aku tak akan heran jika suatu saat dia dilenyapkan. “Kenan belum tahu, tapi dia akan segera tahu kalau kalian yang menyerang kapalnya,” kata Noir. Hal pertama yang dia pertanyakan adalah soal p*********n itu, bukannya cemas akan pertemuan kami dengan Daran. Entah dia tak pandai membaca situasi atau terlalu meremehkan. “Lalu kenapa? Biarkan saja. Kenan yang lebih dulu menyogok Martin. Kami hanya merebut senjata kami kembali, membunuh musuh dan pengkhianat dalam famili sudah biasa. Glafira siap melawan kalau Kenan tersinggung soal itu.” Aku sejujurnya lebih memikirkan alasan kenapa dia datang memberitahukan hal ini padaku. Apa pun masalah kami bukan urusannya. Kami tidak bersekutu, aku hanya memintanya menggali informasi mengenai hubungan Kenan dan Martin. “Bukan itu! Aku tidak tahu kalau kalian yang menyerang kapal. Kalau tahu, aku tidak akan membantumu menyelidiki hubungan Kenan dan Martin. Sekarang dia akan tahu kalau aku menjual sekutunya pada kalian. Kalian bahkan membunuhnya, itu bukan sesuatu yang aku inginkan saat membantumu.” Jadi begitu, dia mulai takut kalau pengkhianatannya diketahui oleh Kenan. Makanya datang ke sini untuk menyalahkanku. “Siapa yang peduli? Kau yang memilih menjual alat abangmu demi seorang wanita. Kalau kau sampai ketahuan, itu bukan urusanku. Harusnya kau sudah bisa memikirkan kemungkinan itu saat aku memintanya. Jangan lupa, sejak awal kita itu musuh.” Betapa menyedihkannya. Kalau dia pikir dengan datang kemari dan menyalahkanku, aku akan menolongnya maka dia salah. Malah bagus bagiku kalau mereka terpecah belah, masa begitu saja Noir tak paham? “Kau harus membantuku menutupinya, atau aku akan memberi tahu pada Kenan tentang pertemuan kalian dengan Daran. Aku yakin kalau nonamu itu tak akan mau kalau sampai rencana ke depannya kau kacaukan.” Huh, rupanya dia masih punya otak. Kenan tak boleh tahu soal perjanjian kami dengan Daran, dia akan menekan pak tua itu dan membuat Daran meninggalkan kami. Bagaimana pun juga, saat ini berhubungan dengan Amber lebih menguntungkan daripada berhubungan dengan Ghea. “Beri aku waktu. Aku ingin tanya pada Glafira dulu, aku tak punya kuasa untuk memutuskan.” Semua itu mungkin buruk bagi pihak kami, tapi itu lebih buruk untuk Noir. Aku harus tenang dan mengulur waktu. Dia datang karena sudah putus asa, memberi satu hari tak akan menjadi masalah selama masalahnya bisa dipecahkan. Noir memang egois, pada akhirnya dia lebih peduli dengan keselamatannya sendiri daripada masa depan familinya. Kalau aku jadi dia, aku akan melaporkan semua yang kutahu pada Kenan. Menjual informasi padaku hanya akan membuat Kenan semakin sulit di kemudian hari. Hubungan persaudaraan mereka memang menyedihkan. “Baiklah. Aku akan kembali besok,” ujarnya. “Oke. Pastikan tak ada yang melihatmu ke sini.” Semua orang tahu milik siapa rumah ini, akan jadi merepotkan kalau sampai ada yang melihatnya datang. Aku tidak ingin membuat posisi Glafira jadi sulit jika ada anggota famili kami yang melihat musuh datang bertamu. “Aku tahu.” Dan tentunya itu juga berlaku untuk Noir, tapi tampaknya rasa panik membuatnya begitu ceroboh. Langsung datang kemari tanpa memikirkan hal itu, tapi masih saja sok paham akan peringatanku.                                            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD