BAGIAN TUJUH

1721 Words
Hail POV Sudah seminggu berlalu sejak kami menyerang Yasa, tapi Yasa sama sekali tak bergerak sejak datang mengintip kami malam itu. Tindakannya yang terlalu cuek itu membuatku merasa waswas. Semakin cemas akan niat busuk apa yang dia punya di balik setiap tindakannya. Glafira berkata kalau Yasa pasti bisa menebak, kamilah yang menyerangnya saat itu. Dia tak langsung melabrak kami, hanya karena tak punya bukti kuat dan tak mau merusak reputasinya. Membiarkan seseorang merebut barang antarannya, tapi tetap saja itu bukan berarti dia tak akan membalas sama sekali. Aku sendiri yakin kalau Yasa telah memasukkan kami ke dalam blacklist-nya. Hanya masalah waktu hingga dia membalas penghinaannya tempo hati. “Kenapa kau sangat gelisah?” tanya Glafira. Ia mendongakkan kepala, menatapku yang sedang menata rambutnya. “Yasa terlalu diam, aku cemas,” jawabku jujur. Memperbaiki posisi kepalanya agar aku bisa menyelesaikan pekerjaanku pada rambutnya. Dengan begitu aku bisa lanjut dengan merias wajah dan memilihkan gaun untuknya. Kami akan pergi ke sebuah acara amal yang diadakan oleh Daran Ester, kepala keluarga Ester. Maka dari itu, Glafira sangat bersemangat untuk tampil cantik agar bisa menarik perhatiannya. Bukan karena dia tertarik pada laki-laki tua itu, tapi dia tertarik untuk mencuci otaknya agar mengkhianati perjanjian dengan Amber, lalu berbalik bekerja sama dengannya. Menurut hasil penyelidikan kami, Daran adalah laki-laki yang menganggap wanita sebagai pajangan. Menilai mereka layaknya perhiasan yang diciptakan hanya untuk dipamerkan. Karena itulah, untuk bisa mendekati dan berbicara dengan Daran, kami butuh wanita cantik yang menawan. Glafira biasanya berpenampilan seperti laki-laki, berperilaku tiran dan memiliki lidah yang tajam. Yang jelas sama sekali tak mencerminkan seorang wanita dari keluarga terhormat. Akan tetapi, saat dia diam dan membiarkan aku meriasnya, tak ada seorang wanita pun di kota ini yang bisa menandingi pesonanya. Glafira tinggi semampai, dengan bentuk tubuh yang sangat indah. Kencang dan memiliki lekuk yang sangat sempurna, hasil dari latihan rutinnya. Wajahnya juga sangat cantik, dengan mata yang indah. Memukau seperti mutiara hitam dan bulu mata yang lentik. Rambut ikal panjang yang halus, terlihat seksi saat terurai di atas permukaan kulit yang sebening porselen. Bahkan aku yang sudah sangat mengenal semua sisi buruknya itu, masih bisa begitu terpesonanya. Apalagi laki-laki yang belum pernah berhadapan langsung dengannya. “Jangan jadi i***t. Yasa tak akan mengurus kita untuk sementara, cemas memikirkan rubah itu tak ada gunanya. Ini saat yang penting, jangan merusaknya karena memikirkan b******n itu. Sana berdandan, kau akan jadi pendamping ku malam ini.” Kalau saja cara berbicaranya juga bisa diubah, sayang sekali mulut berbisa itu tak bisa direm. “Eh!? Kau yakin? Bukannya aku tidak boleh muncul di depan publik?” tanyaku kemudian. Baru sadar mendengar apa yang Glafira perintahkan padaku. Setelah menyembunyikan keberadaanku selama sepuluh tahun, apa tak masalah membawaku ke tempat seperti itu? Bagaimana kalau Kenan juga datang? “Jangan mempertanyakan perintahku. Aku tahu kapan waktu yang tepat untuk menggunakanmu!” bentak Glafira, menjawabku dengan jawaban yang terdengar tak berperasaan. Pada akhirnya aku memang hanya alat baginya. Tak lebih, aku sudah tahu itu dan menerimanya, tapi tetap saja terasa sedikit sedih tiap kali dia menegaskannya kembali. Aku kadang memikirkannya, sebenarnya apa yang kurasakan pada Glafira. Yang jelas aku ingin melindunginya, ingin berada di sisinya dan berguna untuknya. Hanya saja yang tak kupahami adalah rasa kecewa dan rasa sakit yang terkadang timbul tiap kali mendengar kata-kata kejamnya. Perasaan yang herannya tak membuatku ingin meninggalkannya, tak peduli sesakit apa, aku tetap ingin tinggal di sisinya. “Kenapa diam saja! Waktu tak akan menunggumu, kau yang harus bergerak mengejar waktu,” bentak Glafira lagi, membuyar lamunanku. “Oke, jangan marah-marah begitu. Aku akan pergi sekarang, gaunmu kuletakkan di atas tempat tidur.” Aku tersenyum, meletakkan gaun pilihanku dan meninggalkan kamar Glafira. Aku pergi ke kamarku sendiri untuk berganti dengan texudo. Setelah itu, kami berangkat ke sebuah vila yang menjadi tempat pesta. Aku membukakan pintu untuk Glafira, memberikan tangan kananku untuk ia gandeng. Glafira tumben-tumbennya diam, dia bahkan berjalan dengan lamban dan anggun. Sikap kalemnya itu membuat dadaku berdebar, terpukau untuk ke sekian kalinya. Meskipun aku tahu dengan pasti kalau sikap jinak itu hanyalah kedok saja, tak lebih dari sosok yang dia ciptakan untuk menipu publik. Saat kami sampai di aula, pandangan orang-orang langsung tertuju pada Glafira. Mereka terkejut, seorang Glafira yang hobinya berkuda mengelilingi kota sambil membawa senapan itu, bisa tampil layaknya seorang wanita biasa. Mungkin mereka lupa bahwa sebenarnya Glafira memang lahir dan dibesarkan dalam keluarga terpandang, hanya karena kepribadian buruknya itu sudah terlalu melekat pada image majikanku ini. Bisik-bisik buruk dan baik bercampur aduk, terdengar sangat mengganggu. Namun, Glafira tak mengumpat atau marah seperti biasanya, dia bertingkah seolah tak mendengar apa pun. Berjalan dengan penuh percaya diri, menghampiri beberapa orang penting yang dia targetkan untuk dimanipulasi. “Hail, pergilah dekati gadis-gadis muda dari keluarga terhormat. Ambil hati mereka dan cari salah seorang yang sepertinya menyukai Kenan,” perintah Glafira. Menyuruhku mencari alat baru untuk dia gunakan. Mungkin untuk dijadikan orang ketiga dalam hubungan Fanette dan Kenan. Benar-benar busuk, memanipulasi Misora agar menjelekkan Kenan di mata Fanette dan sekarang dia ingin memperburuknya dengan menghadirkan orang ketiga. Namun, aku suka dengan idenya. Semakin kacau hidup Kenan, semakin puas juga diriku. Kami kemudian berpisah. Aku pergi ke sudut ruangan di mana gadis-gadis muda itu berkumpul dan Glafira berkeliling menyapa target kecilnya, sebelum ia akan mendekati Daran nantinya. “Keberatan jika aku bergabung dengan kalian, Nona-Nona?” sapaku. Memasang senyuman terbaik yang kumiliki. Aku bisa melihat bagaimana mereka menatapku dengan pandangan kagum, terpukau pada rupa rupawan warisan dari ibuku. Salah satu senjata yang kupunya, menurut Glafira. Penampilan berkarisma  yang dibutuhkan untuk berdiri di atas. Mereka menyambutku dengan hangat, kami membicarakan banyak hal tak penting. Gosip-gosip yang belum jelas kepastiannya dan ajang pamer yang tak ada gunanya. Mungkin inilah sebabnya, mengapa Glafira tak pernah ingin berteman dengan wanita dari kalangan yang sama dengannya. “Apa kamu pacarnya Nona Ghea?” “Ya ampun, kalau begitu kami tak boleh dekat-dekat denganmu.” “Bukan, aku hanya salah seorang dari bawahannya.” Hingga sebuah pertanyaan mengusikku. Aku mungkin bisa tersenyum menjawabnya, membuatnya terkesan remeh. Namun ketika aku menyangkalnya, ada rasa tak puas yang menggangguku. Aku memang bukan pacarnya, dibilang bawahan juga Glafira menilaiku lebih rendah dari itu, tapi entah kenapa saat aku mengakuinya sendiri, terasa seperti ada ganjalan di hatiku. “Itu kakak beradik Amber,” ucap salah satu wanita di sebelahku. Fokusku segera kembali, refleks aku menoleh menatap ke pintu masuk. Kenan dan Noir datang bersama, mereka dengan segera mencuri semua perhatian wanita. Laki-laki tampan, berpendidikan dan berasal dari keluarga terpandang selalu akan menjadi pilihan utama. Beberapa wanita yang bersama denganku sudah pergi mendekati mereka, hanya tertinggal satu yang masih setia duduk di sampingku. Wanita itu tentunya tidak mengincarku, sebab matanya tertuju pada Kenan yang tengah dikelilingi oleh teman-temannya. Kalau tak salah namanya adalah Karina Ester, kakak sepupu Fanette. Aku tersenyum saat menyadari perasaannya yang tak terbalaskan. Menyukai tunangan sepupunya membuatnya tak bisa mendekat meskipun ingin. Sebab sangat memalukan bila dia berani bertindak seperti wanita lainnya, karena itulah dia memilih untuk hanya melihat dari jauh. Akan tetapi bila kami bisa mengubah pola pikirnya, dia akan jadi alat yang sempurna untuk Glafira. “Kamu menyukai Kenan, iya, kan?” tanyaku tanpa basa-basi. “Ti-tidak.” Karina terkejut, secara refleks membantah. Wanita itu memalingkan pandangannya, memperjelas perasaan yang coba ia sangkal tanpa dia sadari. Hal yang membuatku untuk lebih mudah masuk ke dalam kebingungannya. “Tak apa kalau hanya suka, tak akan ada yang menyalahkanmu. Lagian aku pikir kau lebih cocok dengan Kenan, soalnya Fanette sama sekali tak menyukainya. Bukannya sangat menyebalkan? Memberikan laki-laki yang kau sukai pada perempuan yang bahkan tak peduli dengan perasaannya?” Aku bisa melihat bagaimana tangannya terkepal kuat, juga tatapan yang begitu tajam menusuk pada sepupunya itu. Karina tahu kalau perkataanku benar dan hatinya menjerit menyetujuinya. “Jangan asal berbicara kalau kamu tak tahu apa-apa.” Dia hanya belum bisa mengakui, tak berani menerobos batas aman. Kenyataan akan pandangan masyarakat yang selalu berpikir kalau wanita tak berhak memilih dan hanya bisa menunggu dipilih oleh laki-laki itulah yang menjadi hambatannya. Pandangan publik selalu menjadi tembok pembatas bagi perasaan saat seorang wanita lahir di keluarga yang menomor satukan martabat. “Aku memang tak tahu, tapi hatimu tahu pasti apa yang kau mau. Glafira selalu berkata kalau wanita dan laki-laki itu sederajat dan aku percaya itu. Kalau kau berubah pikiran, datanglah mencarinya. Nonaku selalu bersedia menolong wanita yang ingin memperjuangkan hak dan cintanya.” Aku hanya perlu mendorongnya sedikit, memberikan sebuah pilihan solusi yang dia butuhkan. Untuk saat ini sudah cukup, aku tak perlu berkata lebih banyak dan tinggal lebih lama di sini. Dengan itu, aku pergi mencari Glafira sambil menghindari berpapasan dengan Kenan atau Noir. Aku masih belum tahu apakah aku boleh bertatapan langsung dengan mereka atau tidak. Membuat masalah dan mengacau rencana Glafira hanya akan membuatnya marah padaku dan aku tak pernah suka dengan kemarahannya. Aku menemukannya, sedang duduk sendirian di kursi depan panggung. Membawa papan nomor, ikut lelang pakaian dari desainer ternama yang rencananya hasil lelang itu akan didonasikan ke panti asuhan. Tentu saja bukan karena dia baik hati, tapi karena untuk pencitraan. Hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh setengah dari orang-orang kaya yang datang. Mungkin memang ada yang datang karena memang ingin beramal, tapi yang pasti juga ada orang-orang hanya ingin terlihat baik. Aku segera menghampirinya, duduk di kursi sebelahnya yang kosong. Glafira yang sadar akan keberadaanku, memberi tatapan tajam. Kode minta laporan atas tugas yang dia berikan padaku. “Karina Ester, kau bisa menggunakannya,” jawabku. Mendekatkan bibirku ke telinganya dan berbisik. Tak ingin ada yang mendengar pembicaraan kami. “Kerja bagus. Setelah lelang ini selesai, kau ikut denganku,” perintahnya kemudian. Tak ada yang tahu keinginan Glafira dan aku juga tak berani bertanya, hanya bisa patuh melakukan apa yang dia mau. Selama menunggu lelang itu usai, aku hanya duduk dalam diam sambil memerhatikan keindahan sosok tipuan Glafira. Di saat itulah, aku menyadari tatapan menusuk dari arah belakangku. Refleks aku menoleh, mengecek siapa yang menatapku seintens itu. Ketika akhirnya aku menemukannya, aku kembali menatap ke depan. Itu adalah Noir, dia duduk bersebelahan dengan Kenan yang asyik mengobrol dengan Fanette. Bahkan ketika Kenan sendiri tak menyadari keberadaanku, tapi kenapa Noir malah seperti tahu segalanya. Cara menatap penuh kebencian dan keinginan kuat untuk menyalahkan itu sama seperti sebelas tahun yang lalu. Pandangan yang sama ketika aku pertama kali bertemu dengannya. Jangan bilang dia sudah tahu? Apa jangan-jangan Yasa tak menutup mulutnya karena aku menyabotase permintaannya?                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD