Glafira POV
Aku sedang memeriksa jurnalku, saat Hail datang membawakan pesananku. Laki-laki yang menjadi tangan kananku itu, pulang dengan kerutan di keningnya. Wajah gantengnya menjadi jelek, sama jeleknya dengan perubahan mood-ku setelah mendengarkan laporannya.
“Coba ulangi lagi,” perintahku. Buku jurnalku sudah kuletakkan di atas meja dan bolpoin yang kugunakan sudah kubuang entah ke mana.
“Yasa mengetahui identitas asliku dan sepertinya dia punya bisnis lain dengan Noir.” Aku ingin sekali memaki saat Hail mengulang kalimatnya. Aku hanya menyuruhnya pergi mengambil sesuatu dan dia pulang dengan membawa masalah.
Aku tak habis pikir, apa yang bisa membuat rahasia yang kujaga dengan hati-hati itu sampai ke telinga Yasa. Semua rencanaku akan berantakan kalau sampai keluarga Amber tahu Hail masih hidup. Aku memungut dan melatihnya selama ini bukan tanpa alasan atau hanya karena rasa kasihan. Semua ini demi merebut wilayah dan kekuasaan Amber. Aku tak terima kerja kerasku berakhir sia-sia.
Yasa yang kutahu adalah orang paling licik di kota ini. Seseorang yang akan melakukan apa saja demi tujuannya. Orang yang tak pernah ragu untuk menggunakan apa pun yang bisa dipergunakan. Dan yang terburuk, semua orang tahu betapa tak berperasaannya laki-laki itu. Satu-satunya orang yang tahu segala hal yang terjadi di kota ini, juga satu-satunya orang yang tak bisa disentuh oleh ketiga keluarga penguasa. Laki-laki berhati busuk yang punya kepercayaan diri tinggi, hingga mampu untuk memainkan orang-orang berkuasa semau hatinya.
Sisi baiknya, Yasa tak pernah mendukung kubu mana pun. Dan dia punya aturannya tersendiri, aturan yang tak pernah dilanggar demi menjaga posisi netralnya di antara kalangan penguasa. Karena itu pula, tak ada yang akan menghabisinya. Selain karena membutuhkannya, mereka juga percaya padanya selama segala sesuatunya masih berjalan mengikuti aturan main Yasa.
Aku harus tenang. Yasa tak pernah berbicara bila itu tak penting, dia tak mengaku tahu rahasia Hail tanpa tujuan. Aku hanya perlu menyanggupi keinginannya dan dia akan menutup mulutnya dengan rapat. Seorang informan profesional sepertinya punya sesuatu yang disebut dengan kode etik.
“Apa yang Yasa inginkan dari mu?” tanyaku memastikan. Sangat yakin kalau Yasa meminta sesuatu pada Hail.
Hail mengeluarkan sebuah foto dari sakunya, memberikannya padaku. Foto seorang aktris teater yang sedang naik daun, Misora Xavier. Seorang gadis muda dengan reputasi yang bagus. Lahir di keluarga baik-baik, tak punya catatan kriminal dan memang tak pernah terlibat dengan orang-orang berbahaya seperti kami.
“Yasa ingin aku menculik dan membawanya ke alamat itu,” jawab Hail kemudian.
Aku tak mengerti kenapa Yasa menginginkan orang yang bersih, meminta membawa seseorang tak bersalah padanya. Namun, aku tak peduli dan tak mau tahu. Yang kuinginkan hanyalah bebas dari tekanan rubah busuk itu.
“Maka lakukanlah, tapi ingat ini Hail. Kerjakan sendiri, jangan sampai melibatkan famili di dalamnya dan jika kau tertangkap atau gagal, jangan pernah menyebut nama Ghea. Mengerti?” kuperintahkan Hail untuk melakukan dan aku tahu kalau sejak awal Hail memang akan melakukannya bahkan tanpa kusuruh. Dia hanya datang untuk meminta izin, bukan untuk meminta solusi.
Kami adalah organisasi seperti itu. Menyebut diri kami sebagai keluarga atau famili hanya untuk menyamarkan bentuk organisasi itu sendiri. Sudah menjadi rahasia umum jika keluarga Ghea dan Amber adalah keluarga mafia, lalu Ester yang merupakan keluarga politikus. Ketiga keluarga penguasa hanyalah sebutan lembutnya, untuk menyebut organisasi-organisasi yang kami pimpin.
“Aku tahu,” sahut Hail. Kemudian dia pergi melakukan pekerjaan kotor itu, meninggalkanku sendirian di rumah kami. Aku menyebutnya demikian karena kami tinggal bersama. Hanya kami berdua saja, karena aku tak percaya dengan anggota famili lainnya. Itulah kenapa aku keluar dari rumah utama dan membeli rumah ini untuk tinggal berdua saja dengan Hail.
Bila harus memilih satu hal saja yang boleh kubawa, tentunya aku akan memilih Hail. Laki-laki itu begitu berguna, dia cerdas, kuat, berani dan setia. Seorang b***k yang ku peroleh dari kebusukan keluarga Amber, musuh abadiku. Mereka begitu bodoh, mencoba menyingkirkan sebuah permata dan akan kubuat mereka hancur karena permata itu suatu saat nanti.
***
Hail POV
Setelah meninggalkan Glafira, aku pergi untuk mencari informasi mengenai Misora. Minimal aku harus tahu jadwal kerjanya agar bisa menemukan waktu yang tepat untuk menangkapnya. Tak boleh ada kesalahan, tak boleh ada kecerobohan, bukti dan saksi yang tertinggal. Berjaga-jaga kalau Yasa akan membunuhnya nanti setelah kuculik. Dengan begitu, aku tak akan terjerat dengan masalah lanjutan nantinya.
Wanita yang aku kuntit itu, terlihat sangat menawan. Wajah cantik yang sempurna, mata bulat yang membuatnya terlihat polos dan kulit pucat yang amat serasi dengan rambut pirangnya. Tubuhnya begitu ramping, dengan tinggi yang tergolong di atas rata-rata dan tentunya cara berpakaiannya pun mencerminkan profesinya.
Misora meninggalkan teater di siang hari, usai latihan bersama dengan kelompoknya. Selanjutnya dia pergi membeli bunga dan kue, membawa semua itu untuk mengunjungi seorang wanita dari keluarga Ester. Fanette Ester, teman masa kecil Misora sekaligus tunangan Kenan.
Aku menahan napasku, bersembunyi di balik tembok halaman belakang kediaman Ester. Sebisa mungkin, aku mencoba untuk tidak membawa perasaan dalam pekerjaan yang satu ini. Dia bertunangan dengan Kenan demi keluarganya, pernikahan politik yang tak melibatkan hati di dalamnya. Tak ada alasan bagiku untuk membenci Fanette dan tujuanku saat ini adalah Misora. Aku harus tenang, menunggu mereka selesai mengobrol dan menangkap Misora setelah ia berpisah dengan Fanette.
Akhirnya, setelah menunggu selama dua jam, Misora meninggalkan kediaman Ester. Dia berjalan-jalan sendiri di tengah kota, singgah ke beberapa toko pakaian untuk menghabiskan waktu. Wanita itu begitu ceroboh, tak sadar sama sekali kuikuti dari pagi. Sepertinya tak akan sulit menculiknya, hal yang bagus untukku.
Usai berkeliling sampai senja, Misora pulang ke rumahnya. Dia tinggal dengan kedua orang tuanya dan seorang adik laki-laki yang masih bersekolah. Rumah itu selalu ramai tiap harinya, dikunjungi oleh tetangga dan ibunya seorang ibu rumah tangga yang selalu ada di rumah. Ayahnya bekerja di kantor pemerintahan, pergi di pagi hari dan pulang menjelang petang. Sedangkan adiknya sama seperti ayahnya, selalu pulang tepat waktu.
Sepertinya terlalu berisiko menculiknya di dekat rumah atau di malam hari. Aku akan kembali untuk hari ini dan mencari waktu yang cocok esok hari. Saat di mana Misora tak berada di sekitar rumah dan teater.
***
Setelah mengikuti Misora selama tiga hari, akhirnya aku menemukan waktu yang tepat. Saat wanita itu pergi ke tepian kota sendirian hanya untuk membeli beberapa daun teh yang langka. Aku berjalan pelan di belakangnya, kali ini secara terang-terangan berpura-pura sebagai orang yang kebetulan searah. Mengikutinya hingga sampai di belokan jalan sepi dan dengan cepat membungkam mulutnya dengan tanganku.
“Diamlah dan jangan memberontak kalau tak mau mati,” ancamku.
Tanganku yang bebas, menggenggam sebuah pisau. Kuarahkan pisau itu ke lehernya, menggores sedikit untuk memberi rasa takut tambahan agar dia tak memberontak. Setelah dia berhenti meronta, aku menariknya hingga ke jalan setapak yang di lalui. Kemudian aku melepaskan bungkaman mulutnya, menyimpan pisauku di saku belakang celanaku dan mulai mengikat tangannya ke belakang dengan tali yang kubawa.
“Aku salah apa?” tanyanya takut-takut.
“Aku tak tahu. Diam dan jalan,” perintahku. Mendorong tubuh Misora agar dia berjalan di depanku, dan tentunya aku memegangi dengan erat tali yang mengikat tangannya. Kutuntun ia berjalan mendekati mobil yang sudah kusiapkan tak jauh dari sana, mendorongnya masuk ke kursi belakang. Lalu Menutup mulutnya dengan kain. Mengikat tubuhnya pada kursi penumpang untuk berjaga-jaga.
Aku membawanya ke rumah kayu yang Yasa tentukan, mengambil kunci yang disimpan di dalam pot tanaman gantung di teras. Membawanya masuk dan menyekapnya di satu-satunya kamar yang tersedia. Masih ada dua hari sampai batas waktu yang Yasa tentukan dan aku harus menjaganya di sini hingga Yasa datang.
Kulepaskan semua ikatannya setelah memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat dan tak bisa ia bobol. “Jadilah anak baik, maka aku tak akan melukaimu,” ucapku, begitu ikatan terakhir terlepas.
Misora segera berlari ke pojokan, duduk di sana sambil memeluk lututnya. Wanita itu menatap penuh curiga padaku, seolah ia tahu siapa yang menyuruhku untuk menculiknya. Tak ada satu kata pun yang ia ucapkan, hanya tatapan tajam yang terus tertuju padaku selama beberapa menit dan sikap yang terlalu waspada.
Tepat ketika aku berniat meninggalkannya di sana, dia memutuskan untuk membuka mulutnya. “Apa Noir yang menyuruhmu?” tanyanya pelan. Tubuhku kaku seketika, tangan yang memegang engsel pintu secara refleks menggenggamnya dengan lebih kuat. Perlahan, aku membalikkan tubuhku ke arahnya.
“Kenapa kau berpikir seperti itu?” tanyaku, sebisa mungkin tak menunjukkan perubahan ekspresi. Meskipun sebenarnya aku begitu terkejut, mengetahui jika wanita ini ada kaitan dengan Noir.
“Aku akan membayar dua kali lipat dari bayarannya, jadi lepaskan aku.” Misora tak menjawab, ia malah mengajakku bernegosiasi. Kelihatannya wanita ini sangat yakin kalau Noir yang menyuruhku.
Aku tak jadi meninggalkannya sendirian di sini. Aku akan tinggal sampai mendapatkan semua yang ingin kuketahui darinya. Bila itu berkaitan dengan Noir, maka itu artinya masalah Misora sudah menjadi masalahku sendiri.
Aku berjalan mendekatinya, berjongkong di hadapannya. Dengan kasar menarik wajahnya agar mata kami bertemu pandang. “Aku tak butuh uangmu. Jadi jawab pertanyaanku,” ucapku dingin, menatap mengancam padanya.
Mata Misora melotot takut, nyalinya ciut seketika. Kedua tangannya meremas erat ujung gaunnya, gemetaran seperti binatang kecil yang terperangkap. “Kau tak akan berani melukaiku! Noir tak ingin aku terluka,” ucapnya kemudian. Wanita bodoh. Bukannya menjawab, dia malah membantah.
“Mungkin itu benar, tapi aku tak peduli apa kau terluka atau mati,” balasku. Detik berikutnya, aku menarik rambutnya hingga ia berdiri mengikutiku. Dengan kasar, kulemparkan tubuhnya hingga terhempas ke atas tempat tidur yang ada di tengah ruangan. “Kau tak bisa membeliku dengan uang dan aku tak takut dengan segala ancamanmu yang membawa-bawa nama Noir Amber. Aku tidak bekerja untuknya dan aku benci padanya. Semakin kau bertingkah seolah kau penting baginya, aku semakin ingin menyakitimu.” Aku kehilangan kontrolku, untuk sesaat lupa akan tujuanku yang sebenarnya. Aku bahkan mengeluarkan pisauku, mencoba menyayat lehernya saat dia dengan berani membalas tatapanku.
Namun, ketika ujung pisauku telah sampai di permukaan kulitnya, darah yang mengalir di sana menyadarkan aku kembali. Aku segera menarik pisauku menjauh, menarik lehernya untuk melihat sedalam apa lukanya. Saat yakin itu tidaklah dalam, aku mengembuskan napas lega. Bisa jadi masalah jika mati sebelum Yasa datang, aku tak boleh melakukan kesalahan setolol itu.
“Maafkan aku... maafkan aku... aku mohon padamu,” Misora mulai memohon sambil menangis. Akhirnya dia sadar kalau lawannya itu bukan penculik amatiran, melainkan penjahat yang sesungguhnya.