Renita tampak sangat antusias saat berkeliling toko mebel mewah. Ia menyusuri berbagai sudut, memilih barang-barang dengan detail tinggi dan sentuhan elegan yang jauh berbeda dari selera Sienna sebelumnya. Setiap kali ia menemukan furnitur yang menarik, Renita langsung menambahkan ke daftar belanjanya tanpa berpikir panjang. Sofa dengan bahan beludru, lemari kaca besar, tempat tidur dengan ukiran mewah, semuanya ia pilih tanpa ragu.
Ardha, yang semula ingin mengawasi pengeluaran mereka, akhirnya memberikan black card-nya kepada Renita, berharap ia bisa mengontrol belanjanya. Namun, Renita seolah kalap. Dengan mata berbinar, ia terus memindai barang-barang mahal tanpa memedulikan anggaran, yakin bahwa kartu itu akan menutupi semua kebutuhannya.
"Ini pas banget buat kamar kita! Apa ini juga bisa diantar secepatnya?" tanyanya pada pegawai toko sambil menunjuk sebuah cermin besar berbingkai emas. Pegawai tersebut mengangguk dan mencatat pesanan Renita.
Setelah beberapa saat, Renita merasa puas dengan pilihannya dan melanjutkan ke toko dekorasi lain. Tanpa mempertimbangkan apakah barang-barang tersebut benar-benar diperlukan atau cocok, ia terus menambahkan ke keranjang belanja. Ia seolah lupa bahwa anggaran mereka terbatas dan bahwa keuangan Ardha kini lebih diawasi.
Ketika akhirnya ia selesai, total belanjaannya mencapai jumlah yang cukup besar, bahkan mungkin berlebihan. Namun, Renita tampak tidak peduli.
Ia merasa senang membayangkan kamar barunya yang akan terisi dengan semua barang berkelas tersebut, membuang jauh-jauh segala kenangan yang terkait dengan Sienna. Di dalam benaknya, ia merasa pantas mendapatkan segala kenyamanan dan kemewahan ini, meskipun ia tidak benar-benar memikirkan dampak pengeluarannya terhadap Ardha dan perusahaan.
Ardha tertegun saat melihat daftar belanjaan Renita. Totalnya jauh di luar perkiraannya, dan ia mencoba menahan rasa kecewa yang mulai menyelinap. Dengan nada datar, ia mencoba berbicara pada Renita.
"Sayang ini… banyak sekali. Kamu tidak berpikir ini sedikit berlebihan?" tanyanya, menatapnya sambil mengernyit.
Renita hanya menatapnya dengan ekspresi polos, lalu merengek manja sambil memegang lengannya. "Mas Ardha, kan kamar kita harus terasa istimewa. Semua ini untuk kita, biar nyaman dan berbeda dari sebelumnya."
Ardha menghela napas, mencoba untuk tidak langsung marah. "Tapi, sayang, kita bisa memilih yang lebih sederhana. Tidak semua harus diganti."
Renita menggeleng cepat, wajahnya seolah penuh ketidakpuasan. "Nggak mau, Mas! Semua ini sudah kupilih dengan hati-hati. Aku nggak minta yang aneh-aneh, kok. Lagipula, ini demi kita berdua juga, kan?"
Ardha mencoba mengendalikan dirinya, meskipun hatinya semakin jengkel. "Sayang, keadaan sekarang nggak sama seperti sebelumnya. Kamu tahu kan, ayahku sedang di kantor, dan aku nggak bisa seenaknya menggunakan anggaran."
Namun, Renita tidak menyerah begitu saja. Dia merangkul lengannya erat, mendongak dan menatapnya dengan mata memohon. "Please, Mas… sekali ini aja. Aku kan cuma ingin kita punya rumah yang beda, penuh kenangan kita sendiri, bukan… kenangan orang lain."
Ardha menarik napas dalam, masih berusaha menenangkan dirinya. Renita memang pandai merayu, dan dalam hatinya ia tahu jika ia memaksakan untuk membatalkan semua ini, Renita akan marah dan mungkin membuat masalah. "Baiklah, baby. Tapi ini yang terakhir, ya. Lain kali, kita harus lebih bijak dalam mengelola pengeluaran."
Renita tersenyum manis, mencium pipinya, lalu menimpali dengan nada manja, "Makasih, Mas Ardha! Kamu memang suami terbaik."
Sienna memulai hidup barunya dengan tekad yang kuat. Setelah melalui proses perceraian yang berat dan penuh luka, ia menyadari bahwa mengeluh tidak akan membawa perubahan apa-apa. Ia memutuskan untuk meninggalkan semua kenangan buruk dan pindah ke kota. Di sanalah ia merasa bisa memulai dari awal, jauh dari bayang-bayang masa lalu.
Dengan tabungan yang tersisa di M-Banking-nya, Sienna menyewa kamar kos sederhana di dekat tempat tinggal sahabat lamanya, Sindy. Pertemuan dengan Sindy membuat Sienna merasa sedikit lega, ada seseorang yang bisa mendengarkan segala keluh-kesahnya tanpa menghakimi. Di setiap percakapan mereka, Sindy mendengarkan dengan sabar, sesekali menggelengkan kepala dengan ekspresi penuh kesal dan empati.
“Sejak dulu aku nggak suka sama Ardha,” ucap Sindy dengan nada kesal. “Aku tahu kamu layak mendapatkan yang jauh lebih baik daripada dia.”
Sienna tersenyum tipis, meski masih menyisakan kesedihan di matanya. "Mungkin benar kata kamu. Tapi sekarang aku harus menerima kenyataan dan mulai dari nol. Nggak bisa lagi terus-terusan mikirin masa lalu."
Melihat semangat baru di mata Sienna, Sindy merasa bangga pada sahabatnya itu. Ia ingin membantu Sienna bangkit. "Sienna, gimana kalau kamu ikut kerja di restoran tempat aku kerja? Memang bukan pekerjaan yang mewah, tapi ini halal. Dan kamu bisa pelan-pelan menata hidup sambil cari pengalaman baru."
Sienna sedikit terkejut, namun ia mengangguk dengan antusias. “Aku mau, Sindy. Aku nggak pilih-pilih pekerjaan lagi sekarang. Aku mau kerja keras, biar hidupku kembali mandiri.”
Sindy tersenyum lega. “Bagus, Sienna. Kamu pasti bisa. Ayo, aku kenalin kamu sama manajer restoran. Dia baik, dan aku yakin kamu bakal diterima.”
Hari itu menjadi awal dari babak baru Sienna. Meskipun sederhana, pekerjaan di restoran memberikan harapan dan kesempatan bagi Sienna untuk membangun hidup yang stabil. Bekerja di sana membuatnya merasa dihargai, dan setiap hari bersama Sindy menjadi momen penyembuhan baginya, memperkuat tekad untuk bangkit tanpa bergantung pada siapa pun lagi.
Hari pertama Sienna menjalani interview di restoran, ia merasakan campuran perasaan gugup dan semangat. Meski latar belakang pendidikannya memungkinkan untuk melamar pekerjaan yang lebih sesuai, Sienna tahu bahwa kondisi saat ini menuntutnya untuk lebih realistis. Saat ini, yang terpenting baginya adalah memulai hidup baru dan mandiri, tanpa terbebani harapan besar atau ambisi yang muluk-muluk.
Proses wawancara berjalan lancar. Pengalaman kerjanya di bank dulu menjadi nilai tambah, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa dengan lingkungan profesional dan berinteraksi dengan banyak orang. Manajer restoran, Pak Andre, tampak kagum melihat sikapnya yang rendah hati dan tekadnya yang kuat.
“Bu Sienna, sepertinya Anda lebih dari memenuhi syarat untuk posisi waitress ini,” ucap Pak Andre sambil tersenyum. “Saya yakin pengalaman Anda akan sangat berharga di sini. Apa Anda yakin ingin bekerja sebagai waitress? Dengan pengalaman dan pendidikan Anda, mungkin ada posisi yang lebih sesuai.”
Sienna tersenyum tulus. “Terima kasih, Pak Andre. Untuk saat ini, saya siap menjalani posisi apa pun. Saya hanya ingin bekerja keras dan menata hidup saya dari awal, tanpa terbebani dengan masa lalu.”
Pak Andre mengangguk, terkesan dengan kejujurannya. “Baiklah, kalau begitu, selamat bergabung di tim kami, Bu Sienna! Mulai besok Anda bisa langsung bertugas. Jangan sungkan untuk bertanya pada saya atau rekan kerja lain kalau ada yang belum Anda pahami.”
Perasaan lega bercampur kebahagiaan menyelimuti hati Sienna. Meski pekerjaan ini jauh di luar bidangnya, ia merasa bangga pada dirinya sendiri. Pekerjaan ini adalah langkah kecil menuju kemandirian yang telah lama ia impikan. Sienna sadar bahwa mulai dari bawah bukanlah sesuatu yang memalukan; justru itu menunjukkan keberanian dan tekadnya untuk bangkit.
Sindy yang menunggu di luar ruangan, langsung menghampirinya dengan antusias. “Gimana, Sienna? Diterima, kan?”
Sienna tersenyum lebar. “Iya, Sindy! Aku diterima. Mulai besok aku resmi jadi bagian dari tim di sini.”
Sindy memeluknya dengan hangat. “Aku bangga sama kamu, Sienna. Kamu pasti bisa. Ayo kita mulai dari sini dan perlahan-lahan bangun hidup baru. Ini awal dari sesuatu yang baik.”
Hari itu, Sienna pulang dengan perasaan lega. Pekerjaan barunya mungkin tidak semewah pekerjaannya dulu, tetapi ia merasa damai. Ia siap bekerja keras dan menghadapi hari-hari ke depan dengan kepala tegak. Bagi Sienna, ini adalah awal dari kehidupan yang baru, kehidupan yang sepenuhnya dia bangun dengan usahanya sendiri.