Saat mobil berhenti di depan rumah orang tuanya, Sienna menatap kosong ke luar jendela, melihat rumah sederhana yang dulu penuh kebahagiaan baginya. Namun, kali ini, ia kembali dengan hati yang hancur dan jiwa yang terluka.
Ardha turun lebih dulu, membuka pintu mobil untuk Sienna tanpa sepatah kata. Sienna melangkah keluar, masih dengan wajah sembab dan mata yang lelah. Orang tuanya yang mendengar kedatangan mereka segera keluar, menyambut dengan bingung melihat putri mereka dalam keadaan yang begitu terpukul.
Ibunya mendekat dan langsung memeluk Sienna erat. "Ada apa, Nak? Apa yang terjadi?" tanya ibunya dengan suara khawatir.
Sienna mencoba menahan air mata, namun kesedihan yang ia pendam selama perjalanan akhirnya pecah juga di pelukan ibunya. Ayahnya berdiri di samping, menatap Ardha dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Nak Ardha, silahkan duduk, sudah lama sekali nak Ardha tidak berkunjung ke sini."Aryo ayah Sienna dengan senyuman dan tatapan berbinar melihat anak dan menantunya datang.
Ardha, dengan suara , memulai percakapan. "Saya datang untuk menjelaskan situasi ini dan menyampaikan keputusan saya." Ia melanjutkan dengan nada kaku, "Saya akan menjatuhkan talak kepada Sienna,
"Deg," Ayah dan ibu Sienna tercekat. Mereka terbelalak mendengar penuturan Ardha.
"Tttapi kenapa Ardha?"Aryo mengernyitkan keningnya.
"Karena... saya sudah menikah lagi." Kata-kata itu diucapkan dengan mudah oleh Ardha, tanpa mempertimbangkan perasaan orang tua Sienna.
Orang tua Sienna tertegun, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Ayah Sienna akhirnya angkat bicara dengan suara bergetar, "Ardha, bukankah kamu dulu berjanji akan menjaga Sienna, mencintai dan setia kepadanya? Mengapa tega melakukan ini?"
Ardha tetap tenang, seolah tak tersentuh oleh kesedihan keluarga di depannya. "Saya harus memiliki keturunan, Pak. Maaf jika keputusan ini menyakitkan, tapi saya sudah menetapkan pilihan saya."
Sienna, dengan suara pelan namun tegas, menimpali, "Aku hanya ingin kedamaian. Jika ini jalan terbaik bagimu, Ardha, maka aku ikhlas." Air mata mengalir di pipinya, namun ada kelegaan dalam suaranya.
"Jadi hanya karena dua tahun Sienna belum hamil kau tega mengembalikan dia pada orangtuanya dan menjatuhkan talak 3 padanya?"Aryo ayah Sienna mengepalkan tangannya. "Dan kau... menduakan putriku dengan wanita lain, satu hal yang perlu kamu ingat, jika suatu hari kau datang lagi untuk memintanya kembali padamu maka jangan harap aku akan mengizinkannya kembali padamu camkan itu Ardha!"
Ibunya menangis, memeluk putrinya lebih erat. Ayahnya hanya bisa menatap kecewa, mencoba menahan kemarahan dan kekecewaannya terhadap menantu yang pernah ia percaya.
Ardha pun akhirnya berpamitan, meninggalkan rumah dengan cepat tanpa melihat ke belakang. "Saya pamit dulu, pak bu."
Sienna tetap berdiri di depan rumah, memandang mobil yang semakin jauh, sambil menyadari bahwa babak baru hidupnya telah dimulai, babak yang harus ia lalui dengan kekuatan yang tersisa, bersama keluarganya yang selalu ada untuknya.
"Nak, ayo kamu tidak usah menangisi laki-laki yang kini jadi mantan suamimu, lupakan dia anggap dia sudah tidak ada, karena baginya kamu sudah mati,"ucap Wati ibu Sienna, tak kuasa menahan airmata, merasakan sakit yang teramat pedih saat putrinya diperlakukan seperti ini.
"Iya bu."Sienna mengangguk pelan. Kini tak ada yang tersisa antara hubungan mereka.
Proses perceraian antara Ardha dan Sienna berjalan cepat, bahkan seolah tak memberi waktu bagi Sienna untuk benar-benar pulih dari luka hatinya. Setelah perceraiannya disahkan, Ardha segera menikahi Renita secara resmi. Penuh keyakinan, ia membawa Renita ke rumahnya, mempersiapkan hidup baru dengan wanita yang kini ia pilih sebagai pendamping.
Namun, pada hari yang sama, Ardha mendapat kabar tak terduga. Sang pemilik perusahaan, Adrian Allarick, telah tiba di Indonesia tanpa pemberitahuan sebelumnya. Hal ini membuat Ardha terkejut, apalagi saat ia mendapati bahwa Adrian adalah Bosnya yang selama ini menjalankan bisnis utama di luar negeri dan jarang datang ke Indonesia.
Kedatangan Adrian bukan sekadar kunjungan biasa. Ia datang dengan ekspresi dingin dan penuh wibawa, membuat seluruh kantor terasa tegang. Adrian langsung memanggil Ardha untuk berbicara di ruang kerjanya.
Dengan wajah penuh kecemasan, Ardha akhirnya keluar dari ruang kerja Adrian mencoba mencerna situasi yang baru ini. Renita menyambutnya di luar, namun tatapan Ardha kosong. Kini, ia harus menghadapi konsekuensi atas keputusannya, baik dalam rumah tangga maupun karier.
"Mas , ada apa, kenapa wajah kamu murung mas?"Renita menautkan kedua alisnya.
"Pak Adrian datang ke Indonesia, dan dia ... akan mengawasiku dengan ketat!"Ardha menarik napas pelan.
"Ya sudah mas, kamu harus fokus, tapi... aku mau beli kebutuhan di kamar semua penuh dengan kenangan Sienna di kamar itu, aku mau semuanya baru!" Renita merengek manja.
Renita tampak tidak sabar untuk mengganti seluruh perlengkapan kamar mereka, ingin menyingkirkan semua barang yang pernah digunakan oleh Sienna. Ia mengungkapkan keinginannya kepada Ardha dengan nada yang lembut namun tegas. "Mas, aku ingin kamar kita terasa benar-benar milik kita. Bisa, kan, kita ganti semuanya?" katanya sambil tersenyum manis, berharap Ardha akan langsung menyetujui permintaannya.
Namun, Ardha hanya diam sejenak, wajahnya menegang. Sejak kedatangan Adrian, yang sekarang aktif mengawasi perusahaan, Ardha merasa terbatasi. Keuangan perusahaan, yang biasa ia gunakan secara leluasa untuk menutupi berbagai keperluan pribadinya, kini tidak lagi dapat ia akses semudah dulu.
"Renita, situasi kita sekarang berbeda. Aku harus hati-hati mengeluarkan uang karena ayahku ada di kantor. Dia mengawasi semuanya, termasuk keuangan," kata Ardha dengan nada yang mulai terdengar kesal.
Renita merengut, merasa kecewa. "Tapi Mas, ini demi kenyamanan kita. Aku hanya ingin kamar kita sesuai dengan selera kita, bukan dengan barang-barang yang punya kenangan dengan Sienna," katanya dengan nada agak keras, kesal melihat Ardha tampak berat hati memenuhi permintaannya.
Ardha menghela napas panjang. "Renita, aku paham keinginanmu, tapi aku juga harus mempertimbangkan keuangan kita. Ini bukan hal yang mudah sekarang, apalagi sejak ayahku mulai mengawasi semuanya."
Rasa tidak puas pun mulai menyelimuti Renita. "Jadi sekarang aku harus berkompromi hanya karena Atasan kamu sekarang mengawasi perusahaan? Aku pikir dengan kita menikah, aku bisa menjalani hidup nyaman bersamamu. Tapi nyatanya, malah banyak larangan dan pembatasan," ucapnya dengan nada dingin, tidak bisa menahan kekecewaannya.
Ardha mengusap wajahnya, merasa terpojok oleh situasi. "Renita, tolong pahami kondisiku. Aku juga ingin memberikan yang terbaik buat kamu, tapi sekarang aku harus lebih berhati-hati. Ini sementara saja, sampai situasi dengan ayahku lebih tenang."
Renita menghela napas panjang, merasa tidak sepenuhnya puas dengan jawaban Ardha. "Kok kamu malah marah mas, kalau engga boleh ya sudah, tidak apa-apa kok."Renita bergegas menuju kamarnya. "Brugh." pintu kamar dibanting.
"Hahhh, dia marah dehh, "Ardha mengusap wajahnya.
"Sayang... buka pintunya, ayolah... !"Ardha memohon pada Renita. "Baiklah ayo kita belanja, apapun yang kamu mau, kita beli oke."
"Ceklek."pintu dibuka."Beneran ya mas,"Renita memeluk Ardha. "Aku akan memberikan yang spesial malam ini untuk kamu."
Meski akhirnya mereka mencoba menutup percakapan tersebut, perasaan tak nyaman tetap terasa. Ardha mulai merasakan tekanan lebih besar, tidak hanya dari ayahnya tetapi juga dari Renita, yang seolah mengharapkan banyak hal darinya.