Setelah perjalanan panjang, Sienna akhirnya tiba di rumah sederhana orang tuanya di Lombok. Begitu turun dari mobil, ia melihat senyum lebar dan tangan terbuka orang tuanya yang menyambutnya dengan hangat. Tanpa bisa menahan diri, Sienna segera berlari memeluk sang ibu, dan dalam pelukan itulah semua perasaan yang selama ini terpendam akhirnya tumpah.
“Ibu…” suara Sienna bergetar, tangisnya pecah, meluapkan segala kesedihan yang selama ini ia tahan. Sang ibu mengelus rambut Sienna dengan lembut, berusaha menenangkan putrinya tanpa banyak bertanya. Ia tahu, Sienna hanya butuh tempat untuk merasakan kehangatan dan penerimaan, sesuatu yang mungkin jarang ia dapatkan di rumahnya bersama Ardha.
“Ada apa, Nak? Ceritakan saja pelan-pelan kalau sudah siap,” ujar ibunya dengan suara penuh kasih. Sienna mengangguk, mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengatur kembali perasaannya.
Ayahnya yang berdiri di dekat pintu tersenyum menenangkan, mempersilakan mereka masuk ke dalam rumah. Di dalam kehangatan rumahnya yang sederhana, Sienna merasa terlindungi, merasakan cinta yang murni dari keluarganya. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, ia merasa bahwa dirinya tidak sendirian menghadapi segala masalah.
Sienna terus menangis dalam pelukan ibunya, seolah semua kesedihan yang selama ini ia pendam kini mengalir tanpa henti. Sang ibu, yang sangat memahami perasaan putrinya, hanya membiarkan Sienna meluapkan perasaannya, tanpa satu pun kata yang mendesak atau menuntut.
Dengan lembut, ibu Sienna berkata, "Nak, semua rumah tangga pasti ada ujiannya. Apa pun yang sedang kamu hadapi, percayalah bahwa kamu bisa melaluinya. Kadang, kita harus melalui badai untuk menemukan ketenangan. Kamu sudah menjadi istri yang baik, berusaha yang terbaik. Ini hanya bagian dari perjalananmu."
Sienna mendengar kata-kata itu dan berusaha menguatkan dirinya. Meski hatinya masih terluka, pelukan ibunya dan kata-kata yang menenangkan itu membuatnya merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu, meskipun saat ini sulit, ia memiliki keluarga yang selalu mendukungnya. Dan di sinilah, di rumah yang sederhana namun penuh kasih, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menemukan kekuatan dan kejelasan, agar bisa menghadapi apa pun yang menantinya di masa depan.
-------
Pagi itu, di kantor Ardha yang megah, suasana terasa tegang saat ia memanggil asistennya, Kenzo, untuk membicarakan rencana yang selama ini ia simpan.
“Kenzo,” ujar Ardha dengan nada serius. “Aku ingin kamu menyiapkan pernikahanku dengan Renita… secara siri. Aku ingin semua ini dilakukan secepat mungkin dan tanpa banyak orang tahu.”
Kenzo terkejut mendengar perintah tersebut. Ia tahu bahwa keputusan Ardha ini akan menimbulkan banyak konsekuensi, terlebih karena Ardha masih memiliki istri sah, Sienna. Namun, dengan berat hati, Kenzo mencoba menyuarakan keberatannya, "Maaf, Pak Ardha… tapi, apakah ini keputusan yang tepat? Bukankah ini bisa memperumit keadaan?"
Ardha menghela napas panjang, menatap Kenzo dengan dingin. “Kenzo, aku tak butuh nasihatmu soal benar atau salah. Aku hanya ingin kamu mengatur semuanya dengan rapi. Ingat, kamu masih butuh pekerjaan ini, bukan?”
Kenzo merasakan tekanan itu. Meskipun hatinya menolak, ia terpaksa mengangguk, menuruti permintaan bosnya demi mempertahankan pekerjaannya. “Baik, Pak. Saya akan mengurus semuanya.”
Beberapa hari kemudian, di sebuah hotel yang sudah disiapkan dengan sederhana namun tertata rapi, Ardha dan Renita melangsungkan pernikahan siri. Hanya beberapa orang hadir, termasuk paman Renita yang menjadi satu-satunya keluarga yang mendampingi Renita, mengingat ayahnya sudah tiada. Suasana terasa sunyi, tanpa sorak-sorai atau perayaan besar. Kenzo memperhatikan dari kejauhan, merasa canggung dan tidak nyaman, namun ia tak bisa berbuat apa-apa.
Saat ijab kabul terucap, perasaan campur aduk menghantui Kenzo. Ia tahu bahwa keputusan ini akan membawa perubahan besar dalam kehidupan Ardha, Renita, bahkan Sienna.
Setelah selesai ijab kabul, Ardha langsung membawa Renita ke hotel dia juga meminta kenzo menyediakan apartemen untuk Renita. "Sayang, semoga setelah ini kamu segera hamil, aku ingin sekali memiliki keturunan,"
"Tapi kau harus janji, jika aku hamil harus segera mencaraikan istrimu yang cupu itu."Renita mengelus d**a bidang Ardha.
"Iya sayang, tentu saja."Ardha tersenyum samar, meski bibirnya mengucapkan iya entah kenapa dia berat meyakinkan bahwa dia akan berpisah dengan Sienna.
Di tengah suasana pantai yang tenang dan indah, Sienna melangkah pelan, menikmati suara ombak yang memecah di tepian dan semilir angin yang membawa aroma laut. Pandangannya menerawang jauh ke lautan lepas, memikirkan rumah tangganya yang kini terasa begitu hampa dan dingin. Ia menghela napas panjang, merasa sejenak bebas dari beban, namun sekaligus tak bisa menghindari rasa kosong yang masih menggelayut di hatinya.
Tanpa sadar, Sienna terus melangkah hingga tiba-tiba ia menabrak seseorang. Terkejut, ia mundur selangkah dan mendongak. Di hadapannya berdiri seorang pria tegap dengan tubuh tinggi dan kekar, wajah tampan dengan hidung yang mancung dan rahang yang tegas. Meski terlihat dewasa, aura muda dan segar terpancar dari wajahnya. Di samping pria itu, seorang wanita bule berambut pirang ikut menatap Sienna dengan sedikit senyum simpul.
“Oh, maafkan saya…” ujar Sienna gugup, merasa canggung setelah menabrak pria asing tersebut.
Pria itu tersenyum, menatap Sienna dengan mata yang tajam namun ramah. “Tidak apa-apa. Saya yang seharusnya minta maaf karena tidak memperhatikan sekitar,” jawabnya dengan suara rendah dan hangat.
Sienna hanya bisa tersenyum tipis, merasa wajahnya sedikit memerah. Ia tidak terbiasa bertemu dengan seseorang yang begitu memancarkan karisma seperti pria ini, terlebih di saat dirinya sedang merasa rapuh.
"Perkenalkan namaku Adrian."Laki-laki itu mengulurkan tangannya.
"Nama saya Sienna."
Sienna mengangguk sopan dan melangkah pergi, tetapi sesekali ia masih bisa merasakan tatapan pria tersebut yang seolah menyimpan rasa penasaran.
"Cantik sekali wanita ini, namun matanya memancarkan kesedihan."batin laki-laki bernama Adrian tersebut usianya 43 tahun dan dia seorang duda . Dia lebih suka menjalin hubungan tanpa terikat pernikahan karena pernah gagal.
"Honey, are you okey."ucap seorang perempuan bule pada Adrian yang juga berwajah blasteran tersebut.
"Sorry baby, I am okey."Adrian menggandeng tangan kekasihnya menuju resort. Mata Adrian sesekali menatap Sienna yang duduk di tepi pantai.
Sienna duduk di tepi pantai hingga matahari terbenam sepenuhnya, meninggalkan langit berwarna jingga yang perlahan berubah menjadi gelap. Suasana yang begitu indah, namun hatinya masih saja dipenuhi kekosongan. Setelah cukup lama tenggelam dalam lamunannya, Sienna akhirnya memutuskan untuk pulang. Ia mulai berjalan menyusuri jalan raya menuju rumah orang tuanya.
Di tengah perjalanannya, sebuah mobil berhenti di dekatnya. Jendela mobil diturunkan, menampakkan wajah Adrian, pria yang tadi ia tabrak di pantai. Dengan senyum ramah, Adrian menyapanya, "Sienna, benar? Mau saya antar pulang?"
Sienna tersenyum tipis dan menggeleng pelan. "Terima kasih, tapi rumah orang tua saya tidak jauh dari sini. Saya bisa jalan kaki."
Namun Adrian tidak menyerah begitu saja. "Ayolah, Sienna. Saya sebenarnya ingin tahu lebih banyak tentang Lombok. Mungkin kamu bisa tunjukkan tempat-tempat indah di sini? Sekalian mengobrol sedikit?"
Sienna sempat ragu, namun melihat ketulusan di mata Adrian, akhirnya ia mengangguk. "Baiklah, kalau memang begitu."
Mereka pun melaju perlahan, melewati jalanan kota yang mulai diselimuti kegelapan malam, sementara Sienna menunjukkan beberapa tempat favoritnya di Lombok. Mereka berhenti di sebuah bukit kecil dengan pemandangan kota yang memukau di bawah sinar lampu-lampu kota yang berkelap-kelip.
"Indah sekali," gumam Adrian sambil tersenyum, memandang ke arah Sienna. "Terima kasih sudah bersedia mengajak saya melihat tempat-tempat seperti ini."
Sienna tersenyum, merasa sedikit lebih ringan dari sebelumnya. Mereka terus berbincang, berbagi cerita ringan, dan Sienna pun merasakan suasana berbeda yang membuatnya lupa sejenak akan masalahnya. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada seseorang yang benar-benar mendengarkannya.
Di bawah cahaya lampu-lampu kota yang temaram, Adrian mencuri beberapa pandang ke arah Sienna, tak dapat menyembunyikan kekagumannya. Senyum lembut dan ketenangan yang terpancar dari Sienna begitu memikatnya, dan ia merasa penasaran akan sosok wanita yang tengah duduk di sampingnya ini.
Setelah beberapa saat, Adrian bertanya, “Sienna, maaf kalau pertanyaanku terlalu pribadi… tapi, apa kamu sudah menikah?”
Sienna terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Ya, aku sudah menikah," jawabnya dengan suara yang terdengar sedikit rapuh, namun penuh kejujuran.
Adrian menghela napas, seolah merasa kecewa namun juga penuh rasa hormat. “Suamimu benar-benar pria yang beruntung bisa memiliki istri seperti kamu, Sienna.”
Sienna tersenyum getir mendengar perkataan itu. “Terima kasih, Adrian. Tapi… terkadang apa yang terlihat dari luar belum tentu sama seperti apa yang kita rasakan di dalam.”
Mendengar itu, Adrian menatap Sienna dengan tatapan penuh pengertian, tak ingin memaksa lebih jauh. Ia bisa merasakan ada kesedihan yang tersembunyi di balik senyum Sienna, dan ia menghormati perasaannya.
“Aku berharap kamu menemukan kebahagiaan yang layak kamu dapatkan, Sienna,” ucap Adrian dengan tulus, membuat Sienna merasa sedikit tersentuh. Malam itu, Sienna merasa ada yang mengerti, meski hanya melalui percakapan sederhana yang diiringi keheningan malam.
"Iya, semoga saja."
"Aku lihat kau bersedih, kupikir kau sedang ada masalah!"Adrian mengernyitkan keningnya.
"Maksudmu?"