"Ardha kemana saja kamu..!"suara dari sambungan seluler yang membuat Ardha ketakutan
"Mmmaaf Pa, aku... sedang sakit."Ardha berbohong.
"Benarkah itu?"suara dari seberang sana.
"Bbenar Pa, aku tidak berbohong."Ardha mengerjapkan matanya.
"Baiklah, kalau memang benar kau sedang sakit. Sekarang urus semua pekerjaan yang kau tinggalkan, kau Papa percayakan perusahaan di kota xxx untuk dikelola dengan baik."
"Bbaik Pa, aku mengerti." Papa Ardha menutup sambungan selulernya.
Setelah menerima teguran keras dari pemilik perusahaan karena kelalaiannya, Ardha merasa semakin panik dan cemas.
"Si**, bagaimana dia bisa tahu jika aku mangkir 3 hari ."Tiga hari absen dari kantor tanpa alasan yang jelas sudah membuat posisinya sebagai kepala manajer operasional menjadi rentan.
Banyak rapat penting yang telah ia tinggalkan, dan kini Ardha menyadari dampak dari kelalaiannya. Rasa takut akan kehilangan pekerjaannya mulai menghantui pikirannya, terutama karena reputasinya di perusahaan mulai dipertaruhkan.
Dengan keputusan yang bulat, Ardha memutuskan untuk pulang ke mansionnya malam itu juga. Ia merasa perlu menata diri dan mempersiapkan kembali semangatnya untuk menghadapi tanggung jawab yang telah ia abaikan. Pagi harinya, Ardha bangun lebih awal dari biasanya. Dengan raut wajah yang serius dan fokus, dia mengemasi setumpuk berkas penting yang selama ini tertinggal dan segera bersiap menuju kantor.
Saat memasuki mobilnya, Ardha bertekad untuk memperbaiki kesalahannya dan kembali menunjukkan kinerja yang diharapkan oleh atasannya. Sambil menyusun rencana dan prioritas kerja, ia berusaha menepis semua gangguan di luar pekerjaan, termasuk hubungan pribadinya dengan Renita yang telah membuatnya lalai selama ini.
Adrian duduk di ruang tunggu bandara, menikmati secangkir kopi sambil mengingat momen liburan singkatnya di Lombok. Hari-hari terakhir yang ia habiskan bersama Sienna meninggalkan kesan mendalam di hatinya. Baginya, Sienna adalah sosok yang berbeda, berkarisma, kuat, namun menyimpan kesedihan yang tak terucap. Tetapi kini, tugas sebagai CEO di kantor pusat di luar negeri memanggilnya kembali.
Sementara itu, di rumah keluarganya, Sienna sedang bersiap berpamitan dengan kedua orang tuanya. Ia berkemas dalam diam, menyimpan kenangan hangat di kampung halamannya dan dukungan yang ia terima dari keluarganya selama masa-masa sulit. Meski hatinya terasa berat, ia tahu ia harus kembali ke kota tempat ia menetap dan kembali pada kehidupannya yang penuh tantangan.
Tiba-tiba, ponsel Sienna berdering, memunculkan nama Adrian di layar. Dia menjawabnya dengan suara lembut.
"Halo, Adrian."
"Halo, Sienna. Sudah bersiap-siap untuk kembali ke kota xxx?" tanya Adrian ramah.
“Iya, aku baru saja selesai pamit sama orang tua. Kamu sendiri? Sudah di bandara?”
“Iya, sedang menunggu penerbangan,” jawab Adrian, terdengar sedikit melankolis. "Sienna, aku hanya ingin bilang, terima kasih untuk waktu yang singkat tapi sangat berarti ini. Aku belum pernah merasakan kedekatan seperti ini sebelumnya."
Sienna terdiam, hatinya bergetar mendengar ungkapan tulus Adrian. “Sama-sama, Adrian. Terima kasih juga untuk semua perhatianmu. Kamu… membuatku merasa dihargai dan dilihat dengan cara yang berbeda.”
“Kamu tahu, Sienna, kalau aku tinggal di kota xxx, aku mungkin akan terus berusaha mengenalmu lebih dalam,” ujar Adrian jujur, ada nada penyesalan dalam suaranya.
Sienna tersenyum pahit. “Tapi takdir sudah mengatur langkah kita masing-masing. Kamu punya tugas besar di luar negeri, dan aku… masih memiliki tanggung jawab yang harus kuselesaikan.”
Adrian menarik napas panjang. “Tentu. Tapi ingat, kalau kamu butuh seseorang untuk mendengarkan, aku akan selalu ada. Kamu bisa menghubungiku kapan saja, Sienna.”
“Terima kasih, Adrian. Aku benar-benar menghargai itu,” jawab Sienna dengan lembut.
“Baiklah, aku harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik, ya?”
“Kamu juga, Adrian. Semoga perjalananmu selamat,” balas Sienna tulus.
Mereka mengakhiri panggilan itu dengan perasaan campur aduk. Sienna menatap ponselnya untuk beberapa saat, menenangkan diri sebelum beranjak menemui keluarganya yang menunggu untuk berpamitan.
Di sisi lain, Adrian menyimpan ponselnya, melangkah ke arah tempat duduk Bandara, dengan pikiran penuh, merenungi pertemuan mereka yang singkat namun mendalam.
Mereka berdua kembali ke jalan hidup masing-masing, membawa kenangan yang akan selalu tersimpan di hati, meski harus terpisah ribuan kilometer. "See you, my girl."Adrian menatap gambar Sienna di ponselnya yang dia ambil secara diam-diam.
Di salah satu sudut kafe bandara, Sienna duduk sambil memesan kopi favoritnya, aroma kopi yang menyegarkan terasa menenangkan pikirannya yang sedang kalut. Dia mengenakan dress selutut sederhana berwarna krem yang elegan, dipadukan dengan blazer ringan yang membalut tubuh langsingnya. Pandangannya sesekali menerawang, teringat pada hari-hari yang ia habiskan bersama keluarga dan momen-momen hangat yang ia alami bersama Adrian di Lombok.
Terdengar suara langkah mendekat, mengalihkan perhatiannya. Sienna mengangkat kepala dan mendapati Adrian yang ternyata berada di kafe yang sama, tampak sedikit terkejut melihatnya di sana. Ia berjalan mendekat dan tersenyum hangat.
“Sienna? Aku pikir kita sudah berpisah tadi,” kata Adrian sambil duduk di depannya tanpa menunggu jawaban.
Sienna tersenyum kecil. “Iya, aku hanya ingin menikmati kopi sebelum berangkat. Sepertinya aku yang harus bertanya balik—kau bilang sudah siap naik ke pesawat.”
“Aku juga punya waktu sedikit sebelum panggilan naik. Jadi kupikir, kenapa tidak duduk dan menikmati secangkir kopi dulu,” balas Adrian, menatapnya dengan sorot mata yang lembut.
Sienna tertawa kecil. “Kebetulan kita punya selera yang sama soal kopi, sepertinya.”
Obrolan mereka berlanjut, dari topik ringan tentang kopi hingga cerita-cerita sederhana dari perjalanan hidup masing-masing. Adrian memperhatikan cara Sienna bicara, caranya tersenyum, dan sesekali melirik keluar jendela ke landasan. Ia menyadari bahwa di balik senyumannya, Sienna menyimpan ketegaran yang luar biasa, sesuatu yang membuatnya semakin kagum pada perempuan di depannya ini.
“Kau tahu, Sienna,” ucap Adrian tiba-tiba, memecah hening, “pertemuan ini singkat, tapi aku merasa seperti sudah mengenalmu lebih dari itu.”
Sienna menatapnya, sedikit tersentuh oleh perkataannya. “Adrian, pertemuan ini memang singkat, tapi cukup untuk membuatku sadar bahwa masih ada orang baik di luar sana.”
Adrian tersenyum, lalu mengangguk pelan. “Aku berjanji akan tetap menjadi teman yang bisa kau hubungi kapan saja, di manapun aku berada.”
Sienna hanya bisa tersenyum dan mengangguk, menyembunyikan kesedihannya. Begitu panggilan boarding terdengar, mereka pun berdiri, saling menatap untuk terakhir kali.
“Jaga dirimu baik-baik, Sienna,” bisik Adrian lembut.
“Kamu juga, Adrian. Sampai jumpa,” jawab Sienna.
Setelah mereka berpisah, Sienna berjalan menuju pesawat dengan perasaan yang tak menentu, menyadari bahwa dalam perjalanan hidupnya, pasti akan banyak aral melintang.
"Aku harus semangat, setidaknya satu minggu ini merefresh hati dan pikiranku,"Sienna dengan senyuman maninsnya, menatap ke jendela kaca pesawat.
"Aku akan memberi kejutan pada Mas Ardha."Sienna mengulum senyumnya.