Saat semua barang pesanan Renita tiba dan diantar ke apartemen, dia tampak sangat senang. Renita tak memikirkan berapa banyak yang telah dihabiskan, hanya menikmati hasil belanjanya. Pemandangan kamar yang sudah direnovasi dengan perabotan baru membuatnya merasa puas, seolah ini adalah pencapaian besar. Ardha, di sisi lain, mulai merasa khawatir. Dalam waktu singkat setelah pernikahan mereka, pengeluarannya telah melonjak, jauh melampaui kebutuhannya selama menikah dengan Sienna.
Sienna dulu lebih hemat, selalu bijak dalam mengatur keuangan rumah tangga, bahkan tanpa perlu diberi tahu. Sebulan penuh bersama Sienna tak pernah membuat pengeluaran Ardha lebih dari dua puluh lima juta rupiah, karena Sienna tahu bagaimana mengelola uang dengan baik, memastikan kebutuhan utama terpenuhi tanpa ada yang terbuang sia-sia.
Di tengah kebahagiaan Renita, Ardha perlahan mulai merasa terbebani. Ini bukan pertama kalinya ia melihat Renita belanja berlebihan, tetapi kali ini dampaknya terasa nyata. Ia tahu bahwa uang di rekening perusahaan tidak bisa diakses seenaknya lagi karena ayahnya sedang mengawasi.
Renita, yang sedang menata perabot barunya, melihat Ardha termenung. "Sayang, lihat deh, sekarang kamarnya terlihat lebih mewah, kan?" katanya sambil tersenyum puas.
Ardha hanya mengangguk, mencoba menutupi rasa gelisahnya. "Iya, terlihat lebih... elegan," jawabnya dengan sedikit kaku.
"Kenapa? Kamu kelihatan nggak begitu senang. Bukannya kamu juga ingin kamar yang bagus?" Renita merajuk, nada bicaranya manja seperti biasanya.
Ardha menarik napas panjang sebelum menjawab. "Renita, kita perlu mulai memikirkan pengeluaran kita. Belanjaan kali ini cukup besar, dan kalau terus begini, aku khawatir akan ada masalah di keuangan."
Renita tampak tak terganggu, malah tersenyum sambil mendekati Ardha. "Sayang, jangan terlalu dipikirkan. Semua ini kan buat kita, biar kita nyaman," ujarnya dengan nada memanjakan.
Ardha menahan diri agar tidak meluapkan kekesalannya. Ia tahu bahwa Renita pandai merayu dan sering kali sulit baginya untuk mengatakan tidak. Namun, dalam hati kecilnya, ia semakin merasakan perbedaan yang mencolok antara Renita dan Sienna. Sienna tidak hanya hemat, tetapi juga selalu mendukungnya dalam segala situasi, sementara Renita tampak hanya fokus pada keinginannya sendiri tanpa memikirkan konsekuensinya.
Hari pertama Sienna bekerja di restoran berjalan cukup lancar. Dengan mengenakan seragam sederhana namun tetap terlihat elegan, ia tampil profesional dan anggun. Gaya berbicaranya yang ramah serta kemampuan komunikasi yang baik membuatnya dengan mudah menghadapi pelanggan dari berbagai latar belakang. Sienna bahkan mendapat pujian dari beberapa pelanggan karena sikapnya yang sopan dan caranya yang cekatan dalam melayani.
Saat jam makan siang tiba, restoran mulai ramai. Sienna menyadari bahwa ini adalah waktu tersibuk dalam sehari, dan dia harus bekerja dengan cepat namun tetap rapi. Ia tersenyum sambil menanggapi permintaan para pelanggan, memastikan bahwa semua pesanan tercatat dengan benar. Dengan keterampilan public speaking yang baik, ia mampu membuat pelanggan merasa nyaman dan dihargai.
Rekan-rekannya di restoran mulai memperhatikan kemampuan Sienna, bahkan manajer restoran sempat memberikan senyuman penuh arti saat melihat cara Sienna berinteraksi dengan pelanggan.
Sienna merasa bangga dan lega bisa bekerja dengan baik, meski bidang pekerjaannya kini berbeda dari yang biasa ia lakukan di dunia perbankan. Di tengah kesibukan itu, pikirannya perlahan mulai terbebas dari bayangan masa lalunya yang pahit, membuatnya semakin bersemangat untuk menjalani hari-harinya dengan lebih positif.
Saat tiba di restoran, Tuan Adrian bersama Ardha langsung menuju meja yang sudah dipesan untuk pertemuan dengan klien. Di tengah ruangan, mata Adrian tertuju pada seorang pelayan yang tampak akrab baginya. Sienna, dengan seragamnya yang sederhana namun elegan, tengah sibuk melayani pelanggan lain dengan senyuman yang tulus dan sikap profesional.
Adrian tersenyum, tampak terkesan dengan keramahan dan kesigapan Sienna. Sebaliknya, Ardha merasa canggung. Tanpa ekspresi, ia berusaha menghindari tatapan Sienna, memilih pura-pura tidak mengenalnya. Ia sadar bahwa Bosnya, Adrian, tidak pernah mengetahui bahwa Sienna adalah mantan istrinya.
"Untunglah, Pak Adrian enggak tahu, Sienna mantan istriku,"ucap Ardha dalam batinnya.
Selama pertemuan, Adrian tidak bisa menahan rasa kagumnya pada Sienna. Ia melihat langsung betapa teliti dan cekatannya Sienna dalam melayani, serta sikap profesionalnya yang jarang ditemui. Ketika Sienna datang ke meja mereka untuk mencatat pesanan, Adrian pun menyapa ramah, "Maaf, apakah ini pekerjaan pertama Anda di bidang restoran?"
Sienna tersenyum, sedikit terkejut melihat Adrian yang tampak ramah, dan menjawab, "Iya, Pak, baru beberapa hari. Saya masih belajar, tapi saya sangat menikmati pekerjaan ini." Ia melirik ke arah Ardha yang hanya memandang dengan ekspresi dingin, seolah tidak mengenalnya. Sienna mencoba bersikap biasa saja meskipun ada perasaan campur aduk di dalam hatinya.
Adrian tersenyum puas dan mengangguk, "Sungguh pekerjaan yang bagus. Restoran ini beruntung memiliki pegawai seperti Anda."
Sienna berterima kasih dan segera kembali ke dapur untuk menyiapkan pesanan. Setelah dia pergi, Adrian memuji pelayanan restoran itu, tanpa menyadari koneksi emosional yang tersembunyi antara Ardha dan Sienna.
"Terimakasih pak, atas apresiasi anda!"
Mereka masih berpura-pura tidak kenal.
Sepanjang pertemuan, Ardha hanya bisa menahan perasaan tidak nyaman, berharap Atasannya itu, tidak akan tahu kisah masa lalunya yang kini terikat dengan pekerjaan sederhana, Sienna di restoran .
Saat Adrian ke belakang, ia melihat Sienna sedang berdiri sendiri, sibuk merapikan seragamnya. Ia mendekat, masih dengan senyuman ramah yang membuat Sienna merasa sedikit canggung.
“Sienna!" Adrian menyodorkan kartu namanya.
"Ya ,Pak."Sienna nampak langsung mengampiri Adrian.
"Jika ada yang bisa saya bantu, atau Anda membutuhkan pekerjaan lain, jangan ragu untuk menghubungi saya."Adrian menyodorkan sebuah kartu nama.
Sienna menerima kartu nama itu dengan sopan, meskipun hatinya bergejolak. "Terima kasih banyak, Pak Adrian," jawabnya, berusaha menjaga sikapnya tetap tenang.
" Sampai ketemu lagi Sienna."Laki-laki tinggi dan tampan itu berlalu dari hadapan Sienna. Ternyata laki-laki yang dia temui di kampung halamannya, adalah Adrian Bos dari Ardha mantan suaminya."Sungguh, ini sesuatu yang tidak diduga, ternyata dia ... Bosnya Ardha, aku tidak pernah tahu."
Namun di dalam hatinya, dia merasa sakit dan kecewa. Melihat mantan suaminya, Ardha, yang bahkan tak mau menatapnya atau menyapanya, membuat luka lama kembali terasa."Heuhhh, dia...pikir dia siapa, tak mau menatapku, aku akan membuatmu memohon padaku nanti Ardha, lihat saja,"gumam Sienna.
Ketika Adrian kembali ke meja, Sienna menatap kartu namanya. Ia baru saja menyadari bahwa pria itu adalah Paman dari Ardha, mantan suaminya yang telah meninggalkannya demi perempuan lain. Rasa sakit hatinya semakin dalam, namun kali ini, diiringi dengan tekad yang baru. Ia merasa perlu membuktikan bahwa dirinya lebih dari apa yang pernah Ardha anggap.
"Kartu ini, kunci dari segalanya," Sienna menggenggam kartu nama itu dengan erat, berjanji pada dirinya sendiri untuk mengubah nasibnya.
"Lihat saja Ardha Bimantara, kau akan tahu bagaimana sakitnya di khianati, dan dicampakkan."Sienna meracau dalam batinnya.Sambil mengepalkan tangannya.
Kini ia bertekad, bukan hanya untuk memulai hidup baru, tapi juga untuk meraih kesuksesan dan membalas luka yang pernah diberikan oleh Ardha. "Kini saatnya, aku membalas sakit hatiku, Ardha Bimantara.