Ardan, Ami, dan Resti terbengong mendengar ucapan Asma.
"Kamu tidak pernah bercerita tentang dia, Mas," ucap Resti. Jarinya menunjuk ke arah Ami.
"Ardan tidak perlu menceritakan tentang hidupnya padamu, Resti. Kamu bukan istrinya. Ardan juga bukan tersangka yang wajib lapor ke Polisi. Kalian cuma teman, masa iya, Ardan harus lapor tentang apapun padamu." Asma yang menanggapi ucapan Resti. Asma merasa kesal pada Resti, setelah mendengar dari Vanda, kalau Resti mantan pacar Ardan, yang meninggalkan Ardan, demi pria yang dikira lebih kaya dari Ardan. Sekarang, setelah tahu Ardan dari keluarga kaya, ingin kembali menjalin hubungan dengan Ardan.
Rahmi yang tidak mengerti apa-apa, tidak berani bersuara, ia hanya diam saja, takut salah bicara.
"Huh! Meski kaya, kalau orang kampung, ya tetap saja seleranya kampungan!" Resti memandang sinis pada Rahmi. Rahmi hanya mengenakan celana jeans hitam, dan kaos lengan panjang biru.
"Dari komentarmu itu, jelas kalau kamu tidak akan bisa, tinggal di kampung ini mengikuti Ardan," ucap Asma.
"Saya pasti bisa!" sahut Resti cepat.
"Sudah terlambat. Ardan sudah punya calon istri. Ini, namanya Rahmi." Asma menarik Rahmi agar mendekat. Rahmi masih tidak berani bersuara, apa lagi protes. Ardan, dan Vanda juga hanya diam saja. Tidak ada yang berani angkat bicara, atau menolak apa yang diucapkan Asma.
"Baiklah, aku akan pergi. Aku yakin Mas Ardan nanti pasti akan berubah pikiran." Resti mengambil tas dari atas meja, lalu berlalu dari ruang tamu. Resti masuk ke dalam mobil yang ia rental selama di Banjarbaru, lalu ia memerintah supir untuk segera pergi dari rumah Asma.
"Tuh, Ardan! Kamu mau menikah dengan wanita yang tidak tahu sopan santun begitu! Salam tidak, salim tidak! Langsung pergi saja." Asma menunjuk mobil yang membawa Resti pergi, lalu ia duduk di sofa.
"Tidak, Nini. Dia itu hanya mantan pacar. Kami tidak punya hubungan apapun lagi," bantah Ardan. Ardan juga ikut duduk di sofa.
"Duduk, Ami."
Vanda menarik lengan Rahmi agar duduk. Rahmi duduk di sofa panjang tepat di sebelah Ardan. Di hadapan mereka, duduk Asma, dan Vanda.
"Sudah cocok!" Asma terkekeh sambil mengangkat kedua jempolnya ke arah Rahmi, dan Ardan.
"Bagaimana, Vanda?" Asma menoleh pada Vanda. Vanda tersenyum, dan menganggukkan kepala. Ada rasa kasihan di dalam hatinya, melihat dua orang yang berada di hadapan mereka.
"Ardan, punya pacar?" Tanya Asma.
"Tidak ada, Nini." Kepala Ardan menggeleng.
"Ami, punya pacar?" Pertanyaan ditujukan pada Rahmi.
"Tidak ada, Nini." Kepala Ami juga menggeleng.
"Nah, tunggu apa lagi!?" seru Asma.
"Maksud, Nini?" Ardan menatap lekat nininya.
"Besok kita ke Penghulu!" Seru Asma dengan nada ceria.
"Apa!?" Dua orang di hadapan Asma tak bisa menyembunyikan rasa kaget mereka. Vanda ikut terkejut juga. Ketiga orang itu menatap ke arah Asma.
"Nini, orang menikah itu harus saling kenal dulu," ujar Ardan.
Asma tertawa pelan.
"Kalian saling kenal sudah berapa lama? Baru kenal? Hey, Ardan, dari Ami dalam bendungan, eh ... kandungan, dia sudah jadi bagian keluarga Ramadhan!" sahut Asma nyaring.
"Ya, menikah butuh cinta, Nini," Ardan masih berusaha mengelak, sementara Rahmi diam saja, ia tidak berani angkat suara.
"Selama ini kalian sudah saling cinta. Dari kecil Ami sering kamu gotong, eh ... gendong, kamu peluk, kamu cium, itu pasti karena ada rasa cinta." Asma mendebat ucapan Ardan.
"Itu cinta yang berbeda, Nini," ujar Ardan lirih. Ia sudah setengah putus asa. Nininya kalau sudah punya keinginan susah untuk diabaikan.
"Sama saja, c-ici, en, ta-ata, cinta." Asma mengeja kata cinta. Vanda tersenyum melihat ammanya. Sudah tua, tapi masih energik, kadang Vanda merasa kalah semangat dari ammanya.
"Bukan katanya yang berbeda, tapi perasaannya," debat Ardan lagi.
"Beda bagaimana?" Mata Asma melotot.
"Selama ini cintaku ke Ami, itu cinta kakak pada adiknya. Bukan cinta seperti itu, beda Nini." Ardan bersuara lirih, berharap bisa merubah keinginan nininya.
"Tidak susah merubah cinta seorang kakak kepada adiknya, menjadi cinta pria kepada wanita. Contohnya Kai Aska, dan Nini Sifa. Justru bagus sudah ada dasarnya, tinggal menggeser sedikit saja." Asma tetap berkeras pada kehendaknya.
"Sudahlah, Amma. Tidak usah dipaksa, biarkan Ardan dengan k*********a, eh kemauannya." Vanda mengusap lengan Asma.
"Kasihan juga Ami, belum tentu juga Ami mau jadi istri Ardan." Lanjut Vanda lagi
"Ami, bersedia tidak menjadi istri Bang Ardan?" Asma langsung bertanya pada Rahmi.
"Hah, apa, Nini?" Kepala Rahmi yang menunduk terangkat untuk menatap Asma.
"Ami mau tidak menjadi istri Bang Ardan?" Asma mengulang pertanyaannya.
"Oh ... aduh, Ami tidak tahu, Ami ...."
"Jawab saja tidak," bisik Ardan.
"Jawab jujur, Ami!" Seru Asma tidak sabar.
"Ami pasrah saja dengan jodoh yang Allah kirimkan untuk Ami, Nini." Akhirnya Rahmi merasa menemukan jawaban yang tepat.
"Nah, kalau jodoh yang Allah kirim untuk Ami Bang Ardan, bagaimana? Apa Ami terima?" desak Asma. Rahmi tak bisa mengelak lagi, ia harus menjawab ya, atau tidak sekarang.
"Kalau takdir Allah begitu, Ami ...."
"Menerima Bang Ardan!?" Tanya Asma penuh semangat.
Kepala Rahmi mengangguk pelan.
"Aww!"
Mata Rahmi melotot ke arah Ardan yang diam-diam mencubit pahanya.
"Ih, Abang! Kenapa Ami dicubit?" Rahmi memukul paha Ardan. Mata Rahmi melotot kesal pada Ardan.
"Nah sudah main cubit, dan pukul mesra ya!" Tuding Asma.
"Ya ampun, Nini. Kami berdua sudah sering bercanda! Bukannya mesra!" seru Ardan jadi kesal pada nininya.
"Permintaan Nini tidak banyak untuk kalian berdua. Nini rasa ini kemauan Nini Ami juga, Nini Sifa, dan Nini Ziah juga. Ayolah, beri kami kebahagiaan diujung usia tua kami ini." Asma sudah menurunkan nada suaranya. Wajahnya jadi murung, matanya berkaca-kaca.
"Kami ingin melihat kalian berdua menikah. Ardan tidak akan rugi dapat istri seperti Ami, begitupun sebaliknya. Kalian sudah saling tahu hitam putih masing-masing dari diri kalian," tutur Asma.
"Itu juga yang jadi keinginan Amma, dan Abba, Ardan. Kami ingin sekali menimang cucu, sebelum habis napas kami." Vanda mengusap matanya yang basah.
"Tapi tidak bisa sekonyong-konyong menikah, Nini, Amma. Nanti dikira orang Ami sudah aku hamili."
"Eh, mana mungkin ...." Rahmi memukul paha Ardan.
"Bisa saja orang berprasangka begitu, Ami." Ardan mengusap pahanya yang terasa panas karena pukulan Rahmi.
Asma, dan Vanda saling tatap. Ucapan Ardan tadi menandakan sebuah persetujuan, meski ada tapi di dalamnya.
"Jadi kalian setuju menikah?"
Asma menatap Ardan, dan Rahmi bergantian.
Ardan menghela napas, ia belum ingin menikah, tapi melihat mata kedua wanita yang dicintainya sampai berkaca-kaca, itu membuat hatinya luluh seketika.
"Ami?" Ardan bertanya pada Rahmi.
Ami diam tak langsung menjawab, hatinya bimbang, apakah benar Ardan adalah jodoh yang dikirim Allah untuknya.