AMI. 5 KASIH TAK SAMPAI

1001 Words
Rahmi pulang kuliah, karena hujan, ia berteduh di warung tepi jalan. "Ami," sapa seseorang yang juga berteduh di sana. Rahmi menolehkan kepala, untuk melihat siapa yang memanggilnya. "Oh, Kak Fardan." Rahmi tersenyum ke arah pria itu. "Baru pulang kuliah?" "Iya, Kak." Kepala Rahmi mengangguk, ia masih tersenyum, hatinya berdebar. Fardan adalah anak Pak Ustad di kampung mereka. Usianya lebih tua sembilan tahun dari Rahmi. Dulu, saat Rahmi masih SD, Fardan yang mengajari Rahmi, dan teman-temannya mengaji. Sejak menginjak masa remaja, Rahmi menyukai Fardan. Namun, Rahmi harus mengubur dalam perasaannya, karena Fardan menikah dengan gadis dari kampung tetangga dua tahun lalu. Gadis yang dijodohkan oleh orang tua Fardan, usia gadis itu lebih muda 5 tahun dari Fadan. Sekarang mereka sudah memiliki seorang anak. "Eh, Ami!" Ami, dan Fardan menatap ke arah asal suara. "Mas Wid!" Serempak keduanya menyapa. "Kebetulan bertemu di sini ya, Ami. Bagaimana, sudah kamu sampaikan keinginanku pada keluargamu?" Widodo menatap lekat wajah Rahmi. Rahmi merasa tidak enak ditatap seintens itu. "Belum, Mas," sahut Rahmi lirih, nyaris tak terdengar karena suara hujan deras. Namun gelengan kepala Rahmi menegaskan jawabannya. "Kenapa? Apa kurangnya aku, Ami. Aku memang duda, tapi aku yakin bisa membuatmu bahagia!" Rasa kecewa tidak disembunyikan Widodo dari Rahmi. "Maaf, Mas. Ini bukan tempat, dan waktu yang tepat, untuk membicarakan hal penting seperti itu." Rahmi menatap Widodo, memohon pengertian. Lalu menatap orang-orang yang juga berteduh di tempat itu. "Aku butuh jawaban!" Desak Widodo. "Saya sudah seringkali menjawab, tapi Mas terus bertanya." Rahmi menatap wajah Widodo. Meski ia tidak suka dengan nada bicara Widodo yang mendesaknya, tapi Rahmi berusaha tetap tenang. "Apa kurangnya aku, Ami?" Tanya Widodo. Rahmi berusaha tersenyum lembut. "Ini bukan masalah kurang, atau apa. Perasaan itu tidak bisa dipaksa. Saya hanya menganggap Mas sebagai teman. Tidak bisa lebih dari itu." Rahmi tidak ingin berdebat dengan Widodo. "Wid, yang namanya cinta tidak bisa dipaksakan." Fardan menepuk bahu Widodo lembut, berusaha menenangkan Widodo. "Dan, saat kamu menikah, apakah saling cinta? Aku yakin tidak, karena kalian dijodohkan. Cinta itu bisa tumbuh karena terbiasa, karena sering bersama, nah maksudku, aku, dan Ami begitu." Widodo menjelaskan. "Itu jelas berbeda, Wid. Aku, dan istriku menerima perjodohan, dan menjalani rumah tangga seperti pasangan yang lainnya. Rasa nyaman hadir, lalu lahir rasa cinta. Tidak ada paksaan dari siapapun." Fardan masih berusaha memberi pengertian pada Widodo. Rahmi menundukkan kepala. Ada rasa sedih, karena pria yang ia cinta, tidak mencintainya. 'Ikhlas, Ami. Dia sudah ada yang memiliki, tak sepantasnya untuk kamu cintai.' "Pria seperti apa yang sebenarnya kamu inginkan, Ami!?" Widodo menatap tajam ke arah Rahmi. Kepala Rahmi menggeleng. "Tidak ada, jodohku, aku pasrahkan pada yang di Atas saja," jawab Rahmi. "Sudahlah, Wid. Kalau Rahmi tidak mau jangan dipaksa. Masih banyak gadis lain di kampung kita. Hujan sudah berhenti, sebaiknya kita pulang. Rahmi, silakan duluan." Fardan memberi jalan pada Rahmi. "Terima kasih, Kak Fardan. Mari, Kak. Mas Wid, aku duluan, assalamualaikum." Rahmi naik ke atas motornya, dijalankan dengan pelan saja. Meski rasa patah hati itu masih terasa, namun Rahmi berusaha untuk ikhlas menerima takdirnya. Fardan yang ia cinta bukanlah jodohnya. 'Entahlah, siapa orangnya, yang sudah Allah persiapkan untuk menjadi jodohku. Aku tidak ingin mencari untuk saat ini. Aku yakin, Allah punya caraNya sendiri untuk mendekatkan aku dengan jodohku.' * Siang ini, empat nenek berkumpul di rumah keluarga Ramadhan. Asifa, Asma, Ziah, dan ibu Al. "Allah Maha baik pada kita. Kita dianugerahi usia yang panjang," ucap ibu Al. "Diantara kita siapa yang paling tua? Kak Zi berapa usianya?" Tanya Asifa. "Tujuh puluh sembilan," jawab Ziah. "Kak Asma?" Ibu Al menatap Asma. "Sama dengan Zi, tujuh puluh sembilan," jawab Asma. "Usia kita sama, menikah juga bersamaan, melahirkan juga waktunya berdekatan." Ziah tersenyum pada Asma, wanita yang dulu sempat membuatnya cemburu, karena ia tahu, Asma adalah cinta pertama suaminya. Dan suaminya adalah cinta pertama Asma. Saat mereka menikah, Ziah masih melihat ada percik cinta di antara mereka berdua. Sedang dirinya adalah gadis yang menikah dengan Wira, karena gadis yang dijodohkan, dan akan menikah dengan Wira, membatalkan pernikahan, Ziah adalah mempelai pengganti bagi Wira. Meski menikah tanpa ada cinta, mereka berdua ikhlas menjalani, sehingga tercipta rasa cinta pada akhirnya. "Iya, benar," sahut Asma seraya tersenyum. Mengingat masa lalu membuat Asma tersenyum, karena terasa sangat lucu saat dikenang. Tindakan bodohnya kabur ke Jakarta agar tidak melihat pernikahan Wira, berujung ia bertemu jodoh di pesawat, Ombang tersayangnya. Mengingat suaminya yang sudah tiada, mata Asma jadi berkaca-kaca. "Ibu Al, berapa usianya, Bu?" Tanya Asifa. "Enam puluh sembilan, kalau Nini Aya berapa?" "Lebih tua saya satu tahun, Bu. Saya tujuh puluh." "Sudah sangat tua kita semua ini. Bersyukur kita masih sehat. Sifa, Asma, dan aku sudah punya cicit, dan Ibu, sudah punya cucu," ucap Ziah. "Keinginanku ingin melihat Ardan, atau Andra menikah. Ardan usianya sudah tiga puluh tiga, Andra sudah dua puluh tujuh." "Aku juga ingin punya cicit. Yang diharap bisa cepat menikah Ami. Kalau si kembar, masih lama." Ibu Al tertawa pelan. "Aamiin, semoga keinginan nini-nini ini terkabul semua," ujar Ziah. "Di antara kita, cuma Sifa yang masih punya suami. Itu Bang Aska, meski sudah delapan puluh tahun, masih kelihatan energik, masih bisa bekerja." "Alhamdulillah, Kak Zi. Abang itu orangnya periang, suka bercanda, mungkin itu yang membuatnya masih penuh semangat," sahut Asifa. "Kalau teringat, sudah begitu banyak keluarga Ramadhan yang berpulang, rasanya sedih sekali. Ingat Kai Raka, dan Nini Tari. Ingat Abba, dan Amma, ingat Paman Arka. Ingat Ombang juga ...." Asma mengusap matanya yang basah, begitu juga Asifa, dan Ziah. "Semoga sikap baik, dan dermawan yang diturunkan oleh Kai Raka, dan Nini Tari, akan terus berlanjut kepada semua keturunannya, aamiin," doa Asma. "Aamiin." Semua ikut mengaminkan doa Asma. "Semoga pria-pria bujang di keluarga kita, Aay, Aan, Ardan, Andra, segera mendapat jodoh, biar kita bisa melihat mereka menikah, sebelum kita pergi untuk selamanya, aamiin." Doa Asifa juga. "Aamiin." Yang lain kembali ikut mengaminkan. "Doakan juga, semoga Ami bisa segera menemukan jodohnya, aamiin," ujar Ibu Al. "Aamiin." Sekali lagi doa diaminkan oleh semuanya. Doa nini-nini itu didengarkan oleh dua orang yang tengah berdiri di dekat pintu samping rumah. Mereka saling tatap, urung untuk melangkah masuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD