Ziah berjongkok di samping pusara, bersama Razzi, Rara, Aya, Al, Aan, dan Aay.
Dipegang nisan yang bertuliskan nama Wira.
'Terima kasih, Aa, sudah memberikan warna yang begitu indah dalam hidupku. Aku yang yatim piatu, bersamamu merasa begitu dicintai. Aa satu-satunya pria yang aku cintai. Aa sudah pergi meninggalkan aku, namun masih akan terus hidup di dalam hatiku. Selamat jalan, Aa. Ya Allah, ampuni dosa suamiku, terima amal ibadahnya, tempatkan dia di tempat terbaik di sisi Mu, aamiin.'
Ziah menoleh ke arah Razzi. Tampak kepala putra tunggalnya itu tertunduk dalam. Putra yang sudah memberinya tiga cucu. Putra kebanggaannya.
Razzi berusaha menahan air mata.
'Abah ... aku bersyukur memiliki orang tua seperti abah, dan mama, yang selalu mendukung aku. Ucapan terima kasih tak akan cukup untuk kalian. Abah ayah yang sempurna, tak ada cela. Mengajarkan aku banyak hal lewat tindakan, bukan hanya sekedar ucapan. Itulah yang kini aku lakukan pada putra, dan putriku. Selamat jalan, Abah. Surga menantimu, aamiin.'
Razzi mengusap wajah dengan satu telapak tangannya. Rara menolehkan kepala untuk menatap Razzi. Lalu Rara mengusap lembut punggung suaminya.
"Waktunya kita pulang," ujar Ziah, yang sangat tegar menerima kenyataan. Ziah bangkit dibantu Aan yang setia di samping nininya. Yang lain ikut bangkit juga.
Sekali lagi mereka menatap pusara Wira, sebelum melangkah pergi berjalan beriringan. Aan membimbing nininya. Rara memeluk lengan suaminya. Aay melangkah di sisi Asifa. Aska bersisian dengan Aya. Rahmi dengan Al. Semua keluarga Ramadhan beranjak meninggalkan pusara Wira.
*
Waktu berjalan begitu cepat. Usia Rahmi kini sudah mendekati sembilan belas tahun, dan sudah menjadi mahasiswi di perguruan tinggi. Usia si kembar sudah hampir tiga belas tahun, kini sudah kelas 7 di salah satu SMP.
Setiap pagi, di rumah Aya selalu ramai dengan suara Rahmi, dan si kembar. Rahmi cukup tegas pada kedua adiknya itu. Aya, Al, dan ibu Al senang, karena Rahmi sangat perhatian dalam segala hal. Kalau urusan adiknya, dia lebih cerewet dari Aya. Untungnya si kembar tidak pernah protes, menurut saja pada aturan yang diterapkan sang kakak sepupu. Aya sendiri sekarang membantu di pabrik keripik yang semakin modern, dan semakin maju. Karena sudah punya merek, dan sudah dipasarkan secara nasional.
Ibu Al sangat menikmati hari tuanya, tak ada lagi rasa cemas untuk masa depannya. Melihat anak, menantu, dan cucunya hidup bahagia. Ia merasa tak ada lagi yang ingin dicari dalam hidupnya.
Seperti pagi ini.
Semua sudah siap di ruang makan, untuk menikmati sarapan masakan Aya, yang menuruni bakat masak keluarganya.
"Naik sepeda jangan ngebut ya. Menyeberang tengok kanan, dan kiri dulu. Pulang dari sekolah pulang ke rumah dulu. Kalau mau main harus ijin dulu. Oke, adik-adikku sayang!" Suara Rahmi terdengar jelas, memberi pesan pada si kembar.
"Oke, Kak Ami!" Si kembar masing-masing mengangkat kedua jempol mereka.
Hal yang sama diulang Rahmi setiap pagi, tapi tidak ada yang protes, karena semua tahu, itu untuk mengajarkan disiplin pada si kembar.
"Kak Ami sudah pantas jadi amma ya, Amma," goda Zizi.
"Amma kandung rasa Amma tiri," sahut El seraya tertawa, menimpali ucapan Zizi.
Mata Rahmi melotot ke arah kedua adiknya.
"Peace, Kak Ami!" seru El mengangkat dua jarinya.
"Habiskan dulu sarapannya, Sayang." Ibu Al menegur ketiga cucunya.
"Iya, Nini," sahut si kembar.
"Kak Ami, boleh tanya tidak?" Tanya El.
"Tanya apa?" Rahmi menatap El.
"Kak Wati'kan punya pacar ya, Kak Ami punya tidak?"
"Tidak boleh pacaran, Abang!" Zizi melotot ke arah abangnya.
"Eh, Om Ardan, dan Paman Aan punya pacar, Zi."
"Siapa?" Tanya Zizi penasaran.
"Tidak tahu namanya, cantik-cantik." El menunjukkan kedua jempolnya, untuk lebih meyakinkan Zizi.
"Cantik-cantik, berarti tidak cuma satu dong!" seru Zizi. Tatapan matanya melebar.
"Ganti-ganti cewek yang dibawa." El tertawa pelan.
"Abang melihat di mana?" Tanya Aya penasaran.
"Di jalan, Amma. Di dalam mobilnya."
"Kalau Paman Aay, pernah lihat tidak, Bang?" Tanya Zizi penasaran.
"Tidak!" Kepala El menggeleng.
"Mungkin cuma teman, Bang, bukan pacar," ujar Aya yang sebenarnya penasaran juga.
"Iya nih, Abang. Eh, Kak Ami belum jawab, sudah punya pacar belum?" Zizi menatap Rahmi.
"Zizi sudah tahu tidak boleh pacaran, kok tanya pacar sama Kak Ami," sahut Rahmi.
"Pujaan hati begitu." Zizi masih ingin jawaban.
"Tidak ada!" sahut Rahmi, tapi wajahnya yang merona jadi perhatian Aya, dan Al. Aya, dan Al saling tatap. Ada rasa cemas di dalam hati Aya, kalau Rahmi menyimpan cinta seperti dirinya dulu. Gadis seusia Rahmi sudah lumrah kalau jatuh hati. Aya tidak ingin, apa yang terjadi padanya dulu, terjadi juga pada Rahmi. Menyimpan cinta, sehingga yang dicintai pergi untuk selamanya.
'Ya Allah, aku mohon, jangan biarkan Ami merasakan sakit, seperti yang dulu aku rasakan, aamiin,' Doa Aya di dalam hati.
*
Aya sedang di pabrik keripik. Rahmi datang bersama dua adiknya.
"Amma, boleh ke kebun tidak? Menyusul Kai." Tanya El.
"Boleh," sahut Aya.
"Kak Ami ikut ke kebun, atau di sini saja?" Tanya Zizi.
"Di sini saja dengan Amma," jawab Rahmi. El, dan Zizi mencium punggung tangan, dan telapak tangan Aya, dan Ami.
"Assalamualaikum." Keduanya memberi salam.
"Waalaikum salam," sahut Aya, dan Ami.
Si kembar pergi. Rahmi duduk di sofa dalam ruangan kantor Aya.
"Ada yang ingin Kak Aya tanyakan." Aya duduk di sebelah Rahmi.
"Apa, Kak Aya?" Rahmi menatap Aya yang duduk di sebelahnya.
"Soal pacar."
"Pacar? Ami tidak punya pacar, Kak Aya." Kepala Rahmi menggeleng.
"Tidak punya pacar, bukan berarti tidak ada pria yang Ami sukai'kan. Pasti ada seseorang yang Ami sukai, yang Ami impikan, akan jadi suami Ami nantinya." Aya menatap gadis cantik di hadapannya.
"Ami belum berpikir sampai ke situ, Kak Aya." Wajah Rahmi merona.
"Benar?" Aya belum percaya dengan jawaban Rahmi.
"Iya."
"Jangan simpan apapun dari Kak Aya. Kak Aya ingin Ami selalu bahagia. Kak Aya tidak ingin Ami terluka. Ami pasti paham maksud Kak Aya." Suara Aya bergetar saat mengucapkannya. Aya takut Rahmi mengalami terluka hatinya.
"Iya. Terima kasih, Kak Aya sudah jadi kakak Ami, sudah jadi mama Ami. Ami sayang sekali dengan Kak Aya."
"Kak Aya juga sayang Ami."
Aya menggenggam jemari Ami. Aya sangat berharap, Rahmi bahagia selalu.
'Dia sudah besar, Paman. Mungkin tak akan lama lagi dia akan menikah. Paman akan memiliki cucu. Terima kasih, sudah memberi kepercayaan padaku untuk bersamanya. Aku akan menjaganya, sampai seorang pria datang, dan mengambil alih tanggung jawab, untuk membuatnya bahagia.'
*