Chapter 22

1952 Words
"Rani ... meninggal dunia."   Mata Alana sontak terbelalak lebar. "Rani? Meninggal?" Alana menutup mulutnya dengan tangannya. Ia menatap Lita tidak percaya. "Lo jangan bercanda deh, Ta!"   "Gue serius!"   "Kemarin gue sama Deon masih ngobrol dengan dia  dan dia baik-baik aja kok." Alana menatap Lita dengan serius. Ia kini membuka resleting tasnya dan mengambil ponselnya. Berniat mengecek grup chat kelasnya. Dan grup OSIS. Ratusan chat masuk ke notifikasinya. Semuanya berisi ucapan belasungkawa untuk Rani.   "Bener kan?" tanya Lita pada Alana yang masih sibuk membaca pesannya. "Gue aja gak nyangka kok awalnya. Tapi sekarang jadi percaya." Lita menunjuk kerumunan di depannya.   Kepala Alana kini terangkat. Tangannya lemas seketika. Ponsel di tangannya ikut terayun seiring tangannya yang terjatuh ke sisi tubuhnya.   "Gak mungkin!"     Rani ... benar sudah meninggal?     Seorang polisi dari dalam sekolah tiba-tiba keluar. Polisi itu berjalan mendekati tempat Alana dan teman-temannya berdiri kini. Polisi itu memberikan sorot mata yang tidak bisa ditebak saat menatap Alana. Deon curiga dengan tatapan itu. Firasatnya tiba-tiba menjadi buruk.   "Ada apa, Pak?" Deon bertanya dengan dagu terangkat. Itu sebenarnya ia lakukan semata untuk tidak takut saat berhadapan langsung dengan polisi itu.   Polisi itu malah mengabaikannya dan mendekati Alana. "Benar adek yang namanya Alana Putri?" tanya Polisi itu saat berhadapan langsung dengan Alana.   Gadis itu yang masih terguncang hanya mengangguk saat ditanyai begitu. Tidak menerka apa yang selanjutnya akan terjadi. Lalu berikutnya polisi itu menatap Deon yang tepat berada di samping kiri Alana.   "Kamu Deon Ribka?" tanya Polisi itu dengan nada datar saat masih bersitatap dengan Deon. Deon hanya mengangguk mengiyakan.   "Kalian berdua ikut saya ke dalam. Kalian akan dimintai keterangan sebagai saksi."   Ucapan Polisi itu membuat beberapa murid yang tepat di sekeliling mereka sontak menoleh. Mereka menatap Alana dan Deon dengan penasaran. Bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.   "Saksi, Pak?" Lagi-lagi dagu Deon terangkat. Ia melangkah ke depan Alana dan menyembunyikan gadis itu di belakangnya. "Kok bisa kami jadi saksi, Pak?" tanyanya lagi.   Polisi itu menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Deon. "Kalian tertangkap kamera CCTV sedang berada dengan korban tepat sebelum kejadian."   Alana dan Deon bersitatap. Semua yang ada di sana terperangah. Kaget mendengar kabar itu. Memang benar kalau Alana dan Deon menemui Rani. Namun siapa yang tahu kalau mereka adalah orang terakhir yang bertemu Rani.   "Ikut kami saja, ya."   Polisi itu menggiring Alana dan Deon ke dalam sekolah. Mendekati tempat kejadian. Dalam hati Alana terus merapal doa agar ia tidak pingsan saat bertemu dengan Rani di dalam. Ia takut, dan sangat takut bertemu dengan Rani yang kini sudah berubah menjadi mayat.     °°°°     Mobil Keano mendekati sekolah. Ia melihat dari kaca mobilnya bahwa di depan gerbang sudah ramai sekali orang. Warga sekitar pun turut memadati. Bahkan ada garis polisi yang terpasang di sana. Matanya terbelalak saat melihat seorang Polisi sedang berbicara dengan Alana dan teman cowoknya itu. Dahi Keano berkerut dalam. Apa yang sebenarnya terjadi?   Ia memarkirkan mobilnya lalu bergegas turun. Langkahnya terayun cepat mendekati sekolah. Berharap tidak terjadi sesuatu yang sangat serius. Ia berharap kalau hanya ada kasus perampokan atau pencurian yang tidak menimbulkan korban. Ia sudah cukup trauma dengan kejadian mengenaskan dalam hidupnya.   "Ada apa ini, Pak?" Keano bertanya pada salah satu Polisi yang tengah berjaga. Lalu tatapannya tertuju pada Alana dan Deon yang tengah digiring masuk ke dalam sekolah.   "Ada yang meninggal, Pak. Sepertinya bunuh diri," kata Polisi itu. Ia memandang Keano dengan serius. "Kasihan korbannya masih muda banget."   "Terus kenapa mereka digiring masuk ke dalam?" Keano menunjuk Alana yang berjalan kian menjauh ke dalam sekolah.   Polisi itu mengikuti arah tunjuk Keano. "Oh itu ... mereka saksi."   "Saksi?" Keano terkejut. Apa yang mereka lakukan hingga menjadi saksi peristiwa naas ini? Keano tidak bisa diam begitu saja jika menyangkut Alana. Ia harus bertindak. "Pak, izinkan saya masuk ke dalam. Saya guru murid yang meninggal itu." Keano membuat-buat alasan. Bahkan ia tidak tahu siapa yang meninggal. Namun yang ia tahu semua ini pasti ada kaitannya dengan Alana ... dan Robi.   "Tidak bisa, Pak. Yang tidak berkepentingan dilarang masuk." Polisi itu menghalanginya. Tangannya merentang saat Keano hendak menerobos.   Keano mendorong tubuh Polisi itu dengan keras. Dan ia berhasil masuk ke dalam sekolah. Ia berlari dengan kencang memasuki sekolah. Langkahnya bergema di koridor sekolah. Begitu sampai di dalam, ia melihat Alana tengah ditanyai berbagai macam pertanyaan. Namun hal yang membuat Keano terusik adalah, ransel hitam milik korban ternyata sama dengan milik Alana. Dan dengan mudah ia menebak siapa dalang dibalik semua ini.   Ini semua pasti ulah Robi.   Ponselnya bergetar. Ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Dengan cepat Keano mengangkatnya.   "Halo."   "Bagaimana dengan acara hari ini? Asyik, kan?"   Rahang Keano mengeras mendengar perkataan orang di sebrang sana. Keano mengedarkan tatapannya. Tidak ada Robi di dalam sekolah.   "Di mana kamu?"     °°°     Tangan Alana reflek menutupi mulutnya yang menganga saat menatap tubuh Rani sudah tergeletak tak berdaya di lantai dingin koridor. Mayat itu ditutupi koran di sekujur tubuhnya. Darah yang tadinya berwarna merah kini sudah berubah menjadi keunguan di lantai. Setetes cairan tiba-tiba mengalir begitu saja di pipinya. Alana menangis. Sesenggukan menyaksikan Rani yang meninggal dengan mengenaskan. Bagaimana bisa orang sebaik Rani harus meninggal seperti itu?   Langkah Alana makin mendekat ke depan garis polisi yang terpasang di sekeliling tempat kejadian. Semakin dekat langkah kaki Alana dengan tempat kejadian itu, tangisnya semakin kencang. Ia sedih, sangat sedih melihat Rani. Hatinya bagai disayat pisau. Sakit sekali.     "Ini kasus bunuh diri, Bu."   Alana melihat Polisi yang tadi menggiringnya ke dalam sekolah sedang berbincang dengan Mama Rani. Tangisan sejak tadi tak henti reda. Sapu tangan yang tadinya kering bahkan kini sudah basah.   "Anak saya gak mungkin bunuh diri, Pak." Mama Rani berseru di hadapan beberapa polisi itu. Tangisannya masih bersautan dengan tangisan teman Rani dan Alana. "Dia anak yang ceria, gak mungkin bunuh diri."   "Tapi tidak ada bukti pembunuhan, Bu. Dari hasil tim forensik tanda mata terbuka dan lidah terjulur itu mengindikasikan bunuh diri."   "Gak mungkin!" Tangis Mama Rani kian kencang.   Alana jujur tidak tega melihatnya. Ia mendekati Mama Rani dan mengelus bahunya. "Tante ..."   Mama Rani kini bersandar di bahu Alana, sambil terus menangis. Napasnya bahkan tersendat tangisnya. Suaranya sesenggukan. "Malang sekali kamu, Nak." Ia menatap tubuh tergeletak Rani.   "Coba kamu ceritakan apa yang terjadi kemarin." Polisi itu kini mendekati Alana. Ia memerintahnya dengan nada serius.   "Saya dan Deon kemarin hanya bertemu karena searah pulang ke gerbang sekolah, Pak. Hanya bertemu, setelah itu saya dan Deon pulang duluan. Rani bilang dia ada janji dengan temannya." Alana menjelaskan. Nadanya tersendat, namun masih lancar menjelaskan. Rasanya ia ingin pingsan saja sekarang.   "Ada yang bilang kalian satu organisasi."   "Iya, Pak. Betul. Kami memang sesama anggota OSIS. Dan kemarin sebelum jalan bareng ke arah gerbang, kami memang pulang telat karena ada rapat." Alana lagi-lagi menjelaskan. Polisi itu hanya mengangguk-angguk paham.   "Kamu gak curiga kalau Rani kenapa-napa?" Mama Rani menyela omongan Polisi, ia menatap Teman Rani yang sejak tadi berada di sana.   Teman Rani -yang Alana tidak tahu namanya-  itu hanya menggeleng bingung. "Saya mikirnya Rani pulang ke rumah, Tante. Saya gak bisa hubungi ponselnya, ditelfon juga gak diangkat, jadi saya pikir akhirnya Rani pulang karena sudah lama menunggu." Teman Rani itu memberi alibi.   Tangisan Mama Rani makin kencang. "Ya ampun, anakku, Rani. Maafin Mama, nak. Ini semua salah Mama."   Deon mendekat ke arah Alana, mengelus pundaknya. "Udah, Na. Tenang, ya." Jujur Deon sedih melihat bagaimana tubuh Rani sudah tergeletak tak bernyawa. Namun ia lebih sedih melihat Alana menangis dalam diamnya. Alana adalah gadis yang kuat. Bahkan saat ia terjatuh, Alana tidak pernah menangis. Alana jarang menangis. Dan kini gadis kuat itu menangis setelah sekian lama.   "Ini indikasi bunuh diri, Bu." Polisi yang berdiri di samping Alana menjelaskan. "Ditemukan potongan tali tambang dan silet kecil di tasnya."     "Gak! Rani gak mungkin bunuh diri." Alana berseru. Tetesan airmata sedari tadi tak kunjung berhenti mengalir. Ia menatap Deon. "De, Rani gak mungkin bunuh diri, kan?"   Deon mengangguk. "Iya, Na. Rani gak mungkin bunuh diri." Hanya itu kalimat yang bisa Deon katakan. Deon berharap dengan begitu Alana bisa lebih tenang. Tiba-tiba Deon teringat satu hal. "Na, lo bilang aja ke mereka tentang mimpi lo semalam."   "Mimpi apa?" Mama Rani sudah sesenggukan. Ia mengatur napasnya agar dapat berbicara dengan jelas. "Kamu mimpi tentang Rani?"   Alana memandang Deon, cowok itu mengangguk seolah memberi isyarat agar Alana memberi tahu kebenarannya. Lalu tatapan Alana beralih ke Mama Rani. "Alana ... mimpi Rani semalam, Tante."   Semua yang ada di sana terkejut.   "Mimpi apa, nak? Gak pa-pa. Kasih tahu aja ke kita, ya?" Mama Rani mendekat ke Alana. Tatapannya menyorotkan raut sedih yang sangat mendalam.   Alana membuka bibirnya. Sesaat ia ragu. Ragu apakah mereka akan memercayainya ucapannya. "Rani meminta tolong pada Alana di mimpi itu. Setelah itu perasaan Alana jadi cemas, gak enak hati. Seperti ada yang akan terjadi pada Rani. Dan ternyata ... Rani ..." Alana tidak berhasil meneruskan kalimatnya. Gadis itu kembali menangis. Ia sangat terpukul dengan kenyataan kepergian Rani.   "Itu, Pak. Dia mimpi anak saya. Anak saya minta pertolongan. Gimana mungkin seseorang yang minta tolong itu bunuh diri? Pasti anak saya dibunuh, Pak." Mama Rani mendekati kedua Polisi itu. Tangannya terangkat menyentuh lengan baju seragam polisi yang ber-nametag Fauzan itu. "Tolong temukan kebenarannya, Pak."   Kedua polisi itu tampak bersitatap. Lalu setelah menghembuskan napas, ia berujar, "Hanya mimpi, Bu. Mimpi tidak bisa dijadikan bukti. Karena mati listrik saat kejadian, CCTV-nya mati. Sebenarnya kalau CCTV menyala, kami bisa jadikan itu sebagai bukti." Polisi itu menjelaskan. "Namun saya akan cari kebenarannya, Bu. Ibu tidak perlu khawatir." Si Polisi itu, Fauzan, tersenyum. Ia mengambil tangan Mama Rani yang semula di lengannya, lalu menggenggamnya dengan perlahan.   Alana menangis dalam diam. Gadis sebaik dan seceria Rani tidak mungkin bunuh diri. Alana yakin Rani dibunuh. Ada orang yang sengaja membunuh Rani dan membuatnya terlihat seperti bunuh diri. Iya, ia yakin. Satu nama terlintas begitu saja dalam ingatannya.   Robi.     °°°°       Keano mencengkram kerah baju Robi dengan kuat. Mereka saat ini tengah berada di taman belakang sekolah. Sepi. Hanya mereka berdua di sana.   "Ini ulahmu, kan?" tanya Keano dengan geram. Tangannya sejak tadi sudah gatal ingin memukul Robi. Namun masih ia tahan.   "Mana buktinya?" Robi menyeringai. Ditatapnya Keano dengan tatapan mengejek. "Kalau tidak punya bukti, jangan menuduh sembarangan."   Gigi Keano bergemelutuk. "Bukti? Dari tatapanmu saja aku sudah menebak kalau kamu pelakunya."   Robi tertawa sumbang. "Akhirnya anak kecil yang dulu penakut, sekarang semakin berani padaku," ucapnya dengan kekehan di akhir kalimat. Robi melanjutkan, "Awalnya aku ingin bermain-main dengan Alana. Eh ternyata malah temannya yang ranselnya sama. Jadi, ini bukan salahku. Tapi salahmu."   Bug!     Satu pukulan akhirnya berhasil ia layangkan ke wajah Robi. "b*****t! Dasar orang gila!" cemooh Keano. "Gak cukup kamu sudah membunuh Jasmin dulu? Sekarang kamu merenggut nyawa orang tak bersalah." Keano berseru di depan wajah Robi.   Sedangkan pria tambun itu justru terkekeh. "Pukulanmu gak ada rasanya." Ia lagi-lagi mengejek Keano. "Lemah."   "Kurang ajar!" Keano kembali melayangkan satu pukulan di pipi Robi. Dadanya naik turun tidak karuan. "Jangan sekali-kali mendekati orang-orang di sekitarku! Atau aku akan membunuhmu!"   "Silakan! Aku malah menantikan anak kecil sepertimu membunuhku. Agar kamu dapat merasakan bagaimana gelapnya sel penjara." Robi menantangnya.   Keano tersulut amarah. Tangannya terayun hendak melayangkan sekali lagi pukulan. Namun ada orang yang lewat di taman belakang. Beberapa orang itu adalah warga sekitar yang sering berseliweran di sekitar sekolah. Keano melepaskan cengkeramannya pada kerah baju Robi. "Urusan kita belum selesai."   Setelah mengucap itu, Keano melangkah meninggalkan Robi sendirian. Ia masuk kembali ke dalam sekolah.   Robi menyeringai menatap punggung Keano yang semakin menjauh. Kini niatnya membalas dendam sudah berganti. Ada ide baru yang melintas di pikirannya.     °°°°     Keano melangkah masuk ke dalam sekolah. Namun ia tidak menemukan Alana atau orang-orang yang tadi berkumpul di sekitar mayat tadi. Jadi ia putuskan keluar sekolah, ia berlari keluar dari gerbang. Tatapannya mengedar.   "Pak Keano?"   Sebuah suara menginterupsinya. Keano membalik badan dan menemukan Alana berdiri di depannya. "Alana ..."   Keano mendekati Alana. "Kamu gak apa-apa, kan?" tanyanya.   Alana mengangguk. "Aku baik-baik aja, kok."   "Alana ..." panggil Keano. Alana yang sejak tadi menatapnya kini semakin menatap Keano dengan serius. "Aku tahu Rani gak bunuh diri."   Alana mengernyit. "Hah?"   "Rani ... dibunuh."   Perkataan Keano mengejutkannya. Mata Alana membelalak.     °°°°                        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD