Chapter 18

1280 Words
"Minta maaf, buruan!"   "Cepetan!"   "Lama banget sih!"     Aku menggelengkan kepalaku sambil berdecak menyaksikan Deon dan Lita yang tengah memarahi beberapa murid kelas sepuluh. Murid-murid itu tidak semata-mata dimarahi. Melainkan mereka adalah murid yang kemarin berlarian kesana kemari dan menganggap koridor lantai atas selayaknya taman bermain, dan justru menyenggol pot bunga. Iya, pot bunga itu hampir membuat kepalaku terluka kan. Jadi artinya mereka sudah membuatku celaka. Kurasa itu yang dipikirkan Deon dan Lita. Buktinya sejak tadi mereka bersikeras mengajakku untuk membuat perhitungan dengan murid-murid itu. Namun aku yang malah malu. Aku malu karena kini Deon dan Lita sok-sokan membuat wajah mereka terlihat sangar dan menakutkan. Sedangkan adik kelas kami hanya menunduk takut. Aish... hal ini justru membuatku malu.   "Buruan!"   Kini aku mendengar Deon membentak satu siswa yang mengenakan seragam OSIS yang mencuat keluar dari celananya. Siswa itu bahkan berjengit setelah dibentak. Lalu ia maju perlahan mendekatiku.   "Maaf ya, Kak," katanya. Ia memandangku dengan mata berkedip lucu. "Gue janji gak akan lari-larian gitu lagi."   "Iya lah janji. Orang ini bukan lapangan, kok malah lari-larian." Itu bukan jawabanku. Namun jawaban Deon. Rupanya ia benar-benar masih marah karena peristiwa yang terjadi kemarin.   "Udah, Deon," kataku pada Deon. Aku memelototinya dan menyuruhnya diam.   "Iya, dimaafin kok. Tapi lain kali, jangan lari-lari lagi, ya. Coba kalau beneran kena kepala orang itu pot? Gawat kan urusannya?" Aku hanya meengucap itu sambil tersenyum. Sebenarnya aku juga sama marahnya dengan Deon dan Lita. Tapi bagaimana lagi, itu sudah kejadian lampau. Tidak perlu diingat-ingat lagi.   Cowok di depanku itu mengangguk cepat. "Iya, Kak."   Aku melirik nametag-nya, "Ghiffari" tercetak di sana dengan jelas. Sepertinya ia anak IPS. Tidak heran.   Setelah itu mereka semua bergantian meminta maaf padaku. Total ada lima anak yang meminta maaf padaku. Selanjutnya aku menyudahi prosesi meminta-maaf itu. "Udah, yuk. Ke kantin." Aku memandang Deon dan Lita bergantian.   Iya, sejak bel istirahat berbunyi tadi, bukannya langsung bergegas mengisi perut di kantin, Deon malah memasuki kelasku dan menggeretku untuk menemui adik kelas itu. Hal ini benar-benar mengurangi waktu istirahatku.   Setelah itu gantian aku yang menyeret mereka dengan antusias. Deon dan Lita ketika kuseret masih menghadap ke belakang untuk sekali lagi memelototi adik kelas itu. Huft. Dipikir tubuh mereka enggak berat apa!     °°°°     Alana dan Lita fokus mengerjakan soal kuis yang diberikan oleh guru Akuntansinya. Mereka seperti biasa mengerjakan soal dengan serius sehingga tidak mengalami kesalahan. Alana menopang dagunya sambil tangan kirinya menulis jawaban. Begitu salah ia mencorat-coret jawaban itu dan menggantinya dengan yang menurutnya benar.   "Na, yang tanggal lima Desember itu jadi piutang kan? Satu juta jadinya kan?" Lita berbisik pada Alana. Cewek itu mendekatkan bibirnya ke telinga Alana. Takut-takut ia sesekali memandang Bu Afni, Guru Akuntansinya yang killer itu. Ia benar-benar takut pada guru cantik nan tegas itu. Lita pernah mendapat hukuman harus mengerjakan soal akuntansi tambahan karena tidak membawa buku PR.   Alana hanya mengangguk mengiyakan. Masih menunduk mengerjakan soalnya. Selanjutnya ia mengedarkan tatapannya. Biasanya jika mengedarkan tatapan ke sekeliling maka akan mendapat ilham atau biasanya wangsit sehingga bisa menjawab soal. Namun yang ada malah Bu Afni yang justru memelototinya. Alana hanya meringis dan kembali menunduk. Ia mengumpat dalam hati.   "Waktunya tinggal lima menit lagi!"   Bu Afni sudah memberi peringatan sekarang. Guru cantik itu mengedarkan tatapannya ke seluruh kelas. Setelahnya ia melirik jam tangannya. "Sisa empat menit."   Alana panik. Masih ada dua soal lagi yang belum ia selesaikan. Begitu juga dengan Lita. Jika sudah diawasi Bu Afni, seisi kelas tidak bisa berkutik. Sekali menengok dan meminta jawaban, maka ia akan mendapatkan nilai nol secara langsung. Jadi Alana dan Lita kini hanya menjumlah dengan asal dan berharap jawabannya benar. Soal Akuntansi itu jika salah hitung satu angka pun maka akan salah semua.   "Waktu habis! Kumpulkan sekarang juga!" Bu Afni berseru di depan kelas. Ia mengedarkan seluruh tatapannya ke seisi kelas. Namun belum ada satu pun yang maju untuk menumpuk kertas jawaban. Guru cantik itu menghela napas. "Kalau tidak ada yang mengumpulkan, siap-siap dapat nilai E ya!" peringatnya.   Dan begitu ia beranjak hendak bangkit dari duduknya, siswa di kelas langsung berbondong maju untuk mengumpulkan kertas jawaban. Mereka berdesakan demi mencapai meja guru. Lalu Bu Afni melangkah perlahan ke ambang pintu kelas sambil menunggu beberapa siswa yang masih mengerjakan. Alana dan Lita berlari ke ambang pintu menyusul guru itu.   "Bu, Bu, tungguin!" Alana berlari mengangsurkan kertas jawabannya.   "Ayo buruan! Kalau Ibu jalannya udah sampai kelas sebelah, kalian yang telat bakal dapet E ya!" Bu Afni berseru di ambang pintu. Serentak beberapa siswa itu langsung berlari menyerbu Bu Afni sambil menyerahkan kertas jawaban itu.   "Ini, Bu!" "Bu!" "Tungguin, Bu!"   Alana yang baru saja dari ambang pintu bahkan sampai tersenggol beberapa kali oleh teman kelasnya yang panik berlari itu. Alana hampir terhuyung namun ia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, jadi ia tidak terjatuh. Teman kelasnya yang tadi menyenggolnya langsung menanyakan keadaan Alana sambil memasang wajah penyesalan. "Lo gak pa-pa, Na?" tanyanya.   "Gak pa-pa, kok." Alana tersenyum maklum. Laalu kembali berjalan ke bangkunya. Ia melihat Lita yang tengah mengemasi tempat pulpen dan buku besarnya.   "Lo tadi-"   "Jangan tanya, plis!"   Alana yang hendak menanyakan tentang soal kuis tadi tiba-tiba terpotong ucapannya. Lita mengangkat tangannya dan mengarahkan telapak tangannya ke depan bibir Alana. Alana terkekeh.   "Iya deh, gak jadi tanya."   Lita menghembuskan napas kasar. "Gue gak ngerti bener jawabnya atau gak. Mau nangis sumpah." Cewek itu memanyunkan bibirnya. "Jadi gak usah dibahas deh, ya." Lalu dengan cepat ia mengubah ekspresi wajahnya dan meringis.   "Iya, udah lupain deh. Ibaratnya tuh kerjakan lalu lupakan. Gak usah diinget-inget lagi ya. Sorry." Alana menyengir lebar. Ia ikut mengemasi peralatan tulisnya ke dalam tas. Masih sibuk mengemasi peralatan tulisnya, Alana tiba-tiba teringat tentang Robi, Si Pembunuh itu. Ia jadi ingat kalau sekarang Robi ada di dekatnya dan berkeliaran di sekelilingnya. Meskipun Alana tahu mungkin Robi belum mengetahui tentang Jasmin yang bereinkarnasi, namun apa yang dikatakan Keano ada benarnya. Alana harus berhati-hati dan selalu waspada.   "Ta, hari ini kita makan di kelas aja gimana?" tanya Alana. Gadis itu memasang raut tidak enak pada Lita. Sebenarnya ia tidak ingin memaksa Lita jika cewek itu ingin ke kantin, namun jujur Alana masih ingin menenangkan dirinya setelah peristiwa lusa lalu.   Lita menatapnya dengan alis bertaut. "Kenapa?" tanyanya. Pasti Lita akan bertanya kan.   "Eng- gue lagi pengen makan di kelas aja. Lagian pasti rame banget. Gue masih pengen nenangin diri." Alana memberi alasan.   Lita nampak mengerti. Ia mengangguk kecil sambil tersenyum. "Oke."   "Gue chat Deon biar dia yang bawain kita makan," tawa Alana. Ia langsung menghubungi Deon setelah mengatakan itu. Setelah itu ia kembali menatap Lita. Jujur bibir Alana sudah gatal sekali ingin menceritakan tentang Robi itu. Namun ia bingung bagaimana awalnya ia harus bercerita pada Lita. Namun ia tetap memutuskan untuk memberitahu Lita. Jadi kini sembari Lita tengah mengotak-atik ponselnya, Alana memanggilnya. "Ta."   "Iya?" Lita menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari ponselnya.   "Lo tahu bapak-bapak cleaning service yang baru itu?" Alana membuka suaranya. Ia melirik Lita yang masih diam belum merespon pertanyaannya.   "Emang gue harus tahu?" Lita menjawab dengan sarkas. Ia menghentikan jemarinya yang tengah memainkan ponsel. Kemudian menatap Alana. "Lo kenapa jadi tiba-tiba ungkit cleaning service itu?" tanyanya bingung.     Alana memutar bola mata jengah. "Iya harus tahu."   "Emang ada cleaning service yang baru? Gue gak tahu deh." Lita kembali menatap ponsel dan memainkannya.     Alana lagi-lagi memutar bola matanya. "Ada, tau."   "Oh."   Alana menghembuskan napasnya dengan keras. "Lo harus tahu deh, Ta. Dia itu orang yang berhubungan dengan Jasmin."   Mendengar itu, jemari Lita kembali terhenti meng-scroll layar ponselnya. Ia sontak menatap Alana. "Wait, Jasmin? Masa lalu lo itu?"   Alana mengangguk mengiyakan. "Iya. Gue pernah liat mukanya. Makanya sejak awal gue gak asing sama dia."   "Emang dia itu siapa?" tanya Lita penasaran. Dahinya berkerut memandang Alana.   "Tapi lo jangan kasih tau siapa-siapa, ya?"   Lita mengangguk yakin dan berujar, "Iya.   Alana mengedarkan tatapannya ke sekeliling kelasnya. Hanya ada mereka berdua di kelas. Meski begitu, Alana kembali mendekatkan tubuhnya pada Lita. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Lita dan membisikkan sesuatu yang membuat Lita berseru kaget.   "Dia itu pembunuh Jasmin," lirih Alana.   "What!"     °°°°                      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD