Cuaca panas disiang hari ini tak menyurutkan semangat Zee untuk meneruskan pekerjaannya. Setelah selesai mengajar disebuah taman kanak-kanak dan memastikan semua muridnya telah dijemput oleh orangtuanya, Zee bersiap untuk pergi ke tempat bimbingan belajar yang sudah setahun ini ia kelola.
Zee memang gadis yang energik, tak kenal lelah, semangat dalam menebar manfaat dengan mengamalkan semua ilmu yang ia miliki. Perangainya yang baik, santun dan supel membuatnya begitu dikagumi oleh banyak orang.
"Saya pamit dulu ya, Bu Ningsih, Bu Rini?" Zee berpamitan dengan kedua perempuan separuh baya yang merupakan kepala taman kanak-kanak dan juga teman mengajarnya. Ada lima orang yang mengajar ditempat yang sama dengan Zee. Dua orang lainnya usianya hampir sama dengan Zee. Tapi mereka sudah meninggalkan sekolah sejak pagi karena harus mengikuti seminar.
"Hati-hati, Bu Zidni. Langsung ke tempat bimbel?" Tanya Bu Ningsih dengan senyuman yang mengembang.
"Iya, Bu. Mari, Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam."
***
Sebelum ke tempat bimbel, Zee mampir ke sebuah rumah makan yang menjual ayam geprek yang menjadi makanan favoritnya. Memesan beberapa bungkus untuk teman-temannya yang mengajar di tepat bimbel. Waktu masih menunjukkan pukul 12.30. Zee akan sampai ditempat bimbelnya sekitar jam 11.45 karena perjalanannya dari rumah makan ke tempat tujuannya hanya membutuhkan waktu lima belas menit.
"Assalamualaikum," Zee mengucap salam saat kakinya melangkah masuk ke dalam tempat bimbel. Tempat bimbel milik Zee berdiri di atas tanah milik ayahnya. Dibangun membentuk persegi panjang, didalamnya di sekat menjadi beberapa ruangan. Masing-masing ruangan digunakan untuk belajar sesuai kelas murid-muridnya.
"Waalaikumsalam," jawab salah satu rekannya dengan sedikit berteriak dari dalam ruangan yang dijadikan sebagai kantor. Kemudian diikuti beberapa orang lainnya yang juga berada didalam ruangan itu.
"Udah dateng, Zee? Bawa apa tuh?" Kayla berbinar melihat dua buah plastik berisi makanan yang dibawa oleh Zee. Kayla memang bertubuh lumayan gemuk. Jadi tak heran kalau soal makan dia selalu terdepan.
"Bawa ayam geprek, Kay. Sholat dulu, yuk."
"Aku lagi haid," Riska menyahut.
"Aku juga," ucap Mila cepat.
Tak lama, suara adzan mulai berkumandang. Entah kenapa, suara merdu sang Mu'adzin begitu menggetarkan hatinya. Zee begitu hafal siapa pemilik suara tersebut.
"Ciye.. yang adzan itu siapa, Zee?" Laras menggoda Zee. Hal itu membuat pipi Zee memerah, merona.
"Apaan, sih!? Udah yuk ke masjid. Keburu Iqamah nanti," Zee mengalihkan pembicaraan menghindari godaan teman-temannya.
Zee dan kedua temannya, Laras dan Kayla, berjalan menuju masjid yang berjarak sekitar dua puluh meter dari tempat bimbelnya. Sangat dekat. Oleh sebab itu Zee tidak membangun musholla ditempat bimbelnya. Karena sudah ada masjid yang jaraknya sangat dekat.
Setelah mengambil wudhu, Zee dan kedua temannya menuju lantai dua tempat jama'ah putri. Jama'ah disini tergolong banyak, karena masjid ini dekat dengan sekolah SMA dan juga sebuah universitas yang berjarak sekitar seratus meter.
Tak lama setelah itu, Iqamah mulai dikumandangkan pertanda akan dimulainya sholat.
"Zee?" suara seseorang memanggil nama Zee saat Zee berjalan menuruni tangga masjid. Dan itu membuat Zee menolehkan kepalanya ke arah suara. Ada Rayhan disana ada Rayhan, sang pemilik suara merdu yang mampu menggetarkan hati Zee. Zee tersenyum ke arah Rayhan. Hal itu membuat kedua teman Zee dan seorang lagi teman Rayhan, Danu, berdehem menggoda mereka berdua.
"Apaan, sih, kalian?" Zee yang merasa malau seketika salah tingkah dibuatnya.
"Sudah datang?" tanya Rayhan.
"Iya. Tadi sekolah pulang lebih awal, jadi bisa kesini lebih cepat," jawab Zee dengan pipi yang memerah. Bukan hal yang rahasia lagi kalau Zee dan Rayhan ternyata saling menyimpan perasaan. Sebenarnya Rayhan sudah ingin melamar Zee, hanya saja orangtua Rayhan belum mengijinkannya untuk menikah.
Rayhan mengangguk mengerti menanggapi jawaban Zee.
"Ya sudah, kita balik, yuk. Zee tadi bawa makan siang buat kita," ajak Laras. Rayhan dan Danu juga mengajar di tempat bimbel milik Zee.
"Yuk, ah," Kayla menanggapinya dengan cepat.
"Gercep, ya, Bu, kalau mau makan!" Laras meledek Kayla disusul tawa dari Zee, Rayhan dan Danu.
Laki-laki bertubuh tinggi dan juga memiliki badan yang atletis itu berulang kali meneguk air minum dari botolnya untuk meredakan haus yang ia rasakan.
Kekesalan hatinya dan juga lelahnya pikiran ia lampiaskan dengan berlari mengelilingi taman komplek yang sangat luas di sore hari yang lumayan terik.
Ucapan kedua orangtuanya dan melihat mata terluka istrinya, serasa beban berat ditimpakan ke pundaknya.
Anak, anak, anak dan anak.
Siapa yang tak menginginkan hadirnya seorang anak didalam kehidupan rumah tangga?
Siapa yang tak ingin ada tangis dan tawa seorang anak didalam rumahnya?
Begitupun dengan seorang Azzam Mahendra. Ia tidak munafik. Ia juga menginginkan hadirnya seorang anak. Sama halnya dengan Farida, istrinya. Tapi kenyataan bahwa istrinya tidak bisa mengandung karena penyakit yang ia derita, membuat Azzam harus mengubur dalam-dalam keinginannya untuk menjadi seorang ayah dari anak yang berasal dari rahim istri yang sangat Azzam cintai.
Memiliki anak dari rahim wanita lain? Bagaimana mungkin Azzam akan melakukan hal itu? Mencumbu wanita lain yang tidak Azzam cintai sama sekali. Bahkan melihatnya pun belum pernah.
Ya. Ibunya berencana untuk menjodohkannya lagi dengan seorang gadis dari kampung yang juga merupakan tempat tinggal Azzam dan keluarganya dulu tinggal sebelum memutuskan untuk pindah ke Semarang.
Azzam berfikir siapa gadis desa itu yang mau dijadikan istri kedua. Apalagi hanya untuk mengandung anaknya. Yang akan dijadikan pewaris tunggal kekayaan milik kedua orangtuanya.
Awalnya, Azzam mengatakan bahwa akan mengadopsi anak dari panti asuhan. Tapi ibunya menolak dengan keras. Ibunya hanya menginginkan seorang cucu yang mewarisi darah keturunannya.
"Mas, sudah pulang?" Farida menyambutnya didepan pintu rumahnya. Senyum manis yang menambah kecantikannya terukir di bibirnya meskipun wajahnya terlihat pucat karena sakit.
Azzam berlalu tanpa menanggapi pertanyaan istrinya. Azzam masih merasa marah dan kesal dengan Farida yang juga ikut memaksanya untuk menikah lagi.
Farida menghembuskan napas pasrah. Ia tahu suaminya butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Jika tidak karena paksaan dari kedua orangtua Azzam, Farida juga tak ingin suaminya menikah lagi. Tapi Farida juga tak ingin bersikap egois. Farida juga menginginkan seorang anak. Tapi Farida juga menyadari kekurangannya dalam hal memberikan keturunan.
Wanita mana yang tak menginginkan untuk bisa hamil, melahirkan, dan juga merawat anaknya sampai dewasa?
Farida juga ingin merasakannya. Ia juga ingin merasakan bagaimana rasanya melahirkan. Orang bilang, orang yang melahirkan adalah pahlawan kehidupan. Mereka adalah seorang ibu yang rela bertaruh nyawa demi bisa melahirkan kehidupan baru ke dunia.
Namun semua akan terbayar lunas saat tangis melengking seorang bayi mulai terdengar. Tuhan, betapa bahagianya mereka yang dapat merasakannya.
***
Farida masuk kedalam kamar. Suaminya tak ada disana. Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi. Tak lama kemudian, Azzam keluar dengan handuk yang melilit pinggangnya dan menampakkan tubuhnya yang atletis.
Farida menahan napas. Merona melihat tubuh sang suami yang sudah lama tak ia nikmati karena tubuhnya yang begitu lemah.
Azzam berjalan menuju lemari untuk mengambil kaos dan celana tanpa memperdulikan Farida yang terus memperhatikannya.
Tak tahan melihat sang suami yang mendiamkannya dan tak memperdulikannya, Farida berjalan mendekati Azzam kemudian memeluk tubuh kekar Azzam dari belakang. Dan membuat aktifitas Azzam dalam memilih kaos terhenti.
"Jangan diamkan aku seperti ini, Mas," suara Farida terdengar parau. Azzam masih terdiam tak ingin menanggapinya. Azzam ingin tahu apa yang selanjutnya akan dikatakan Farida.
Tapi dugaan Azzam keliru. Bukan melanjutkan ucapannya, Farida justru mengelus perut dan d**a kekarnya. Hal itu membuat Azzam mengerang tertahan. Membuat tubuhnya mendamba akan sentuhan Farida yang telah lama tak ia rasakan.
Selama ini Azzam begitu menahan diri agar tak menyentuh Farida karena keadaan Farida yang semakin hari semakin melemah. Azzam tak ingin bersikap egois dengan melampiaskan hasratnya disaat sang istri tak mampu melayaninya.
Azzam berbalik dan menatap mata sayu Farida. Dapat Farida lihat pancaran mata Azzam yang sudah menahan sesuatu. Tak ingin menunggu, Farida mengecup bibir suaminya pelan. "Aku mencintaimu, Mas. Sangat," bisiknya lirih.
Azzam meraih tengkuk Farida dan mengulum bibir Farida rakus. "Aku juga begitu mencintaimu," ucap Azzam disela ciuman mereka dengan nafas yang terengah.
Sore itu, terjadilah sesuatu yang sudah lama sepasang suami istri itu tak melakukannya. Azzam dibuat mabuk kepayang oleh tubuh istrinya. Azzam seakan lupa kalau Farida tidak bisa terlalu lelah.