Azzam menghentikan mobilnya dihalaman sebuah rumah minimalis yang berlantai dua. Hari sudah gelap karena waktu sudah menunjukkan pukul 21.15. Azzam menyeret dua koper besar milik Zee dan berjalan masuk ke dalam rumah. Sedangkan Zee masih sibuk mengamati isi rumah yang terasa begitu nyaman.
"Ini rumah kita," ucap Azzam. "Kamar kita dilantai atas. Ayo, kamu butuh istirahat."
Tanpa banyak bertanya, Zee mengikuti langkah kaki Azzam yang berjalan menaiki tangga. Kemudian membuka salah satu pintu dan berjalan masuk kedalamnya.
Kamar berukuran 5x5 meter yang didominasi warna krem dan coklat, ranjang king size berada ditengah ruangan. Ada dua lemari besar, TV LED, meja rias dan kamar mandi dipojok ruangan.
"Ini kamar kita."
Kamar kita? Hati Zee menghangat. Senyumnya mengembang sempurna. Itu berarti Azzam akan tidur bersamanya dalam satu ranjang karena tidak ada sofa dikamar ini.
"Kamu bersih-bersih dulu, lalu istirahat, ya? Aku keluar sebentar," ucap Azzam yang langsung berjalan keluar tanpa menunggu jawaban Zee.
***
Azzam mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumahnya bersama yang berjarak enam kilometer. Perasaan rindu dan khawatir bercampur menjadi satu. Azzam tak dapat lagi menunggu sampai besok pagi.
Azzam mengetuk pintu rumahnya berkali-kali. Merasa tidak sabar karena pintu tak kunjung dibukakan.
"Mas?" Azzam yang berdiri membelakangi pintu pun langsung berbalik dan tersenyum senang melihat pujaan hatinya berdiri didepan pintu. Tanpa berpikir panjang, Azzam memeluk erat Farida.
"Aku kangen banget sama kamu," ucap Azzam sambil membenamkan wajahnya di ceruk leher Farida.
Farida yang masih terkejut pun belum bisa mencerna apa yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa Azzam berada disini sedangkan seharusnya dia menikmati malam pengantin bersama istri mudanya.
"Kenapa Mas disini?" Tanya Farida setelah Azzam melepaskan pelukannya.
"Kamu tidak suka aku ada disini?"
"Bukan begitu, Mas. Tapi, bagaimana dengan Zidni?"
Azzam menarik tangan Farida untuk masuk kedalam rumah. Menutup pintu kemudian menguncinya. Angin malam tak baik untuk kesehatan Farida. "Jangan sebut wanita lain saat kita sedang bersama. Aku hanya ingin bersamamu sekarang," ucap Azzam sambil menatap lekat mata Farida.
"Tapi... Emmhh,"
Ucapan Farida terputus karena Azzam yang menciumnya tanpa permisi. Farida dibuat tak berkutik sama sekali. Semakin lama, Farida turut hanyut dalam ciuman Azzam yang begitu memabukkan. Tangannya kini sudah memeluk leher Azzam posesif.
Azzam tak tahan lagi. Ia mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke kamar. "Aku kangen kamu," bisik Azzam parau.
Malam ini, Farida dan Azzam larut dalam kenikmatan surgawi yang begitu memabukkan bagi keduanya. Tanpa memikirkan seseorang disana yang begitu khawatir menunggu Azzam.
***
"Enghhh.." Farida menggeliat didalam pelukan hangat Azzam. Selimut tebal menutupi tubuh polos mereka berdua. Waktu menunjukkan pukul 03.00 pagi.
Azzam yang merasa terusik dengan gerakan lembut Farida membuka mata pelan. Yang pertama Azzam lihat saat membuka mata adalah wajah cantik Farida yang sedang tersenyum menatapnya.
"Masih sakit?" Ada nada khawatir dengan pertanyaan Azzam. Semalam, Farida merasa begitu nyeri di bagian bawahnya seusai percintaan panas mereka.
"Sudah lebih baik. Maaf ya, Mas. Aku enggak bisa maksimal dalam memenuhi kebutuhan kamu," Farida berucap lemah. Membenamkan wajahnya di d**a telanjang Azzam.
"Kamu ngomong apa, sih? Semalam kamu sudah begitu hebat. Aku saja sampai dua kali," goda Azzam yang membuat pipi Farida merona.
"Mas?" Panggil Farida.
"Iya sayang?" Jawab Azzam pelan.
"Zidni gimana?"
"Astaghfirullah. Mas lupa, sayang. Semalam Mas cuma pamit sebentar," Azzam terbangun dari tidurnya dan segera meraih ponselnya. Terdapat puluhan panggilan dan pesan dari Zee. Azzam mengusap wajahnya kasar. Alasan apa yang akan ia katakan pada Zee?
"Kita mandi dulu," Azzam menggendong Farida dan membawanya ke dalam kamar mandi.
***
Azzam membuka pintu rumah yang ditempati oleh Zee. Untung saja Azzam membawa kunci duplikatnya, jadi Azzam tak perlu mengetuk dan menunggu Zee membukakan pintu.
Rasa bersalah menggelayuti pikiran Azzam. Semalam pasti Zee sangat mengkhawatirkannya.
Azzam membuka pintu kamar dan mendapati Zee meringkuk diatas ranjang. Tubuhnya tertutup selimut. Terdengar isakan lirih dari bibir wanita malang itu.
"Zee?" Panggil Azzam pelan sambil menyentuh bahu Zee lembut membuat Zee terbangun dan mengubah posisinya menjadi duduk diatas ranjang. Terkejut.
"Mas Azzam? Ya Allah.. Mas kemana saja? Zee takut," sejujurnya Zee ingin memeluk Azzam. Tapi Zee tak ingin melampaui batas. Zee merasa masih ada jarak yang terbentang di antara dirinya dengan Azzam. Zee hanya bisa memeluk kedua kakinya yang tertekuk.
"Maaf, ya? Semalam ada masalah di kantor, jadi Mas harus segera selesaikan. Ponsel juga dalam mode silent," Azzam terpaksa berbohong. "Kamu kenapa?" Tanya Azzam khawatir karena melihat Zee yang terlihat seperti menahan sakit. Satu tangan Zee meremas perutnya.
"Magh ku kambuh, Mas," keluh Zee sambil menggigit bibirnya menahan sakit. Perutnya terasa seperti ditusuk-tusuk jarum.
"Kamu belum makan?" Zee menggelengkan kepalanya.
"Enggak ada bahan makanan yang bisa dimasak, Mas. Zee juga belum tahu daerah sini. Apalagi sudah malam. Zee cuma memasak air sedikit untuk diminum," tutur Zee yang membuat Azzam dilanda rasa bersalah yang begitu besar. Belum genap dua hari menjadi suami Zee, Azzam sudah berbuat dzolim dengan membiarkan Zee kelaparan. Apalagi sekarang magh Zee kambuh.
"Kamu sudah sholat subuh?"
"Zee sedang berhalangan, Mas."
"Kamu tidur lagi saja dulu. Mas keluar sebentar membeli sarapan dan obat buat kamu."
Zee menurut, dengan dibantu Azzam, Zee merebahkan tubuhnya kembali diatas ranjang. Azzam menyelimuti tubuh Zee sebatas d**a.
"Kamu biasa minum obat apa?" Tanya Azzam sebelum keluar dari kamar.
"Ada tulisannya di tas, Mas. Zee bawa bungkus obatnya karena kebetulan obatnya juga sudah habis."
Azzam mengangguk paham. Segera merogoh tas Zee dan mencari bungkus obat yang dimaksud Zee. Setelah menemukannya, Azzam keluar dan pergi membeli makanan dan obat untuk Zee.
***
Azzam meminta Zee untuk kembali tidur setelah selesai sarapan dan meminum obat. Awalnya Zee menolak karena merasa tak enak hati, tapi Azzam memaksanya. Mau tak mau, Zee menurut.
Tak lama kemudian, Zee tertidur dengan lelap. Selain karena sakitnya yang kambuh, semalam Zee juga tidak bisa tertidur karena memikirkan Azzam.
Semalam, mendapati suaminya yang tak kunjung kembali ke rumah, membuat Zee merasa begitu khawatir. Berkali-kali mencoba menghubungi tapi Azzam tidak mengangkat teleponnya ataupun membalas pesannya. Zee bingung, Zee tak tahu kepada siapa dia harus menanyakan keberadaan Azzam. Kedua orangtua Azzam masih berada di Karanganyar. Zee hanya bisa berdoa dan menangis. Berharap suaminya segera kembali dalam keadaan yang baik-baik saja.
Satu jam, dua jam, Azzam tak juga kembali. Zee semakin kebingungan dibuatnya. Apalagi setelah itu perutnya terasa begitu melilit. Zee teringat bahwa terakhir ia makan adalah satu jam sebelum mereka berangkat ke Semarang.
Zee mencoba mencari bahan makanan di dapur. Nihil. Tak ada apapun yang bisa dimasak. Hanya ada air yang bisa dimasak. Dan Zee memutuskan untuk memasaknya, menunggunya sampai hangat lalu meminumnya.
Air mata Zee mengalir deras meratapi nasibnya. Baru saja dibawa ke Semarang, tapi sudah ditinggal tanpa kabar apapun.
Zee merasakan semakin lama perutnya semakin sakit. Zee merintih memanggil ibunya. Ingin berada dalam pelukan ibunya. Zee menangis sampai tertidur.
___
Azzam menatap lekat wanita yang kini tengah tertidur. Keringat mulai membasahi dahi Zee. Sesekali Zee mengerutkan keningnya seperti menahan sakit.
"Zee, kita ke dokter, ya?" Azzam mencoba membujuk. Merasa takut kalau sampai sakit yang dirasakan Zee bertambah parah.
"Enggak perlu, Mas. Ini sudah lebih baik, kok," Zee menolak dengan suara serak, khas seperti orang menahan sakit.
"Beneran enggak apa-apa?" Tanya Azzam meyakinkan. Zee hanya mengangguk dan kembali memejamkan mata.
Azzam memutuskan untuk keluar kamar setelah memastikan Zee sudah terlelap kembali. Duduk diruang tamu dan membuka laptopnya untuk mengerjakan pekerjaan yang beberapa hari ini terbengkalai.
Usaha orangtua Azzam bergerak di bidang kontraktor yang sudah dipercaya di berbagai tempat. Tidak hanya di Semarang saja, tapi juga luar kota bahkan luar Jawa. Azzam sendiri sedang merintis usaha pribadinya dengan membangun beberapa villa, resort, dan hotel di wilayah Sarangan, Magetan.
Tak heran kalau keluarganya begitu mementingkan adanya keturunan untuk meneruskan usaha mereka kelak.
Entah kapan rahasia besar yang mereka sembunyikan dari Zee akan terungkap. Cepat atau lambat, Zee pasti akan mengetahuinya.
"Mas?" Suara Zee membuyarkan lamunan Azzam yang tadinya berniat untuk menyelesaikan pekerjaan justru larut dalam lamunan.
"Sudah bangun?" Azzam berbasa-basi. "Mas sudah pesan makan siang buat kita. Kamu makan dulu aja. Kalau kamu sudah sehat, kita bisa belanja kebutuhan rumah," Zee menuruti ucapan Azzam. Berjalan ke meja makan berniat untuk mengambil makanan untuk dirinya dan juga untuk Azzam.
"Mas Azzam mau makan disini apa di meja makan?" Tanya Zee pelan.
"Mas nanti aja. Kamu makan dulu," ucap Azzam datar. Zee mengangguk lemah dan segera memakan makanannya. Sebenarnya perut Zee masih sedikit terasa perih. Tapi harus dipaksakan untuk makan. Ia tak ingin merepotkan Azzam jika ia tak kunjung sembuh juga.
***
Mobil yang dikendarai Azzam berjalan dengan kecepatan sedang membelah kota Semarang. Tujuan mereka adalah supermarket untuk membeli segala kebutuhan rumah. Zee yang masih terlihat pucat memaksakan diri untuk pergi. Bagaimana lagi? Zee juga perlu melengkapi kebutuhannya.
Azzam mendorong troli dan Zee berjalan didepannya. Zee mengambil beberapa sabun mandi, deterjen, pewangi pakaian, pasta gigi, sikat gigi, dan juga shampo. Bergeser sedikit mengambil sekotak pembalut untuk siang dan malam.
"Sekalian yang besar aja Zee," usul Azzam.
"Eh? Iya, Mas," Zee merasa sungkan. Mengembalikan sekotak pembalut kecil, lalu mengambil kotak yang besar.
"Yang ini enggak beli?" Azzam menunjukkan beberapa merk sabun sirih untuk kewanitaan. Seingatnya, Farida selalu memakai barang seperti itu.
Pipi Zee memerah menahan malu. Tak menyangka Azzam akan mengurus sampai hal seperti itu. "Zee enggak pakai yang begituan, Mas," jawab Zee seraya memalingkan wajahnya. Malu.
Setelah urusan kamar mandi selesai, Azzam dan Zee berjalan menuju tempat sayur, buah, dan lauk pauk.
"Zam? Lagi belanja?" Azzam begitu terkejut melihat Dimas, sepupunya, ternyata juga berada di tempat yang sama.
"Kamu? Kapan pulangnya?" Azzam menyalami Dimas dengan hangat. "Sama siapa disini?" Lanjut Azzam bertanya.
"Kemarin. Aku nganterin ibu belanja. Eh? Kamu sama siapa?" Dimas bertanya balik.
"Aku sama__"
"Mas?" Suara Zee memotong ucapan Azzam.
"Dia siapa, Zam?" Tanya Dimas penasaran. "Farida mana?" Tanyanya tanpa peduli keadaan. Azzam salah tingkah. Zee sudah menatapnya dengan tatapan penuh tanya.
"Aku pamit dulu ya, Dim. Besok kita lanjut ngobrol lagi," pamit Azzam pada Dimas.
Mau tak mau, Zee mengikuti langkah suaminya. Melanjutkan belanja dalam keadaan diam, tak seperti saat Azzam belum bertemu dengan Dimas.
Ada banyak pertanyaan yang berputar di kepala Zee. Siapa Dimas? Dan siapa Farida?
Zee ingin bertanya, namun sepertinya Azzam sedang tidak ingin berbicara. Wajahnya datar dan begitu dingin.
Zee biarkan Azzam dengan sikapnya. Dia juga yakin, cepat atau lambat, Zee akan tahu perihal Farida yang membuat Azzam berubah sikap.