Hari demi hari pun berlalu. Tanpa terasa sebentar lagi Ujian Nasional tingkat SMA akan segera berlangsung. Seluruh siswa kelas XII kini fokus menyiapkan diri mereka. inilah akhir perjuangan setelah tiga tahun bergumul dengan kehidupan putih abu-abu. Semua belajar lebih rajin dari biasanya, termasuk Daffa dan Mita. Mereka berdua sepakat untuk menunda segala macam agenda pacaran hingga Ujian Nasional selesai. Tidak ada lagi jadwal menonton ke bioskop, tidak ada lagi agenda jalan-jalan ke mal, tidak ada lagi acara pergi bersenang-senang berdua. Semua agenda itu mereka ganti dengan kegiatan yang selalu sama, yaitu belajar.
Jam istirahat sudah berdentang keras, tapi Daffa dan Mita sama sekali tidak keluar dari ruang kelas. Mereka masih sibuk membahas materi pelajaran Fisika yang sukses membuat wajah Daffa mengkerut. Namun kali ini Daffa tidak mau menyerah. Dia terlihat serius sekali. Perlahan tapi pasti, dia pun mulai mengerti dan memahami semua penjelasan Mita.
“Ooh jadi begini, ya... oke. Aku mengerti sekarang.” Daffa tersenyum senang.
“Iya... kalau konsep dasarnya sudah dipahami, semua jadi terasa gampang kok,” ucap Mita.
Daffa mengangguk tanda mengerti dan mencoba menyelesaikan sebuah soal dengan kasus yang sama. Setelah menyelesaikannya dia pun memperlihatkannya kepada Mita.
“Seperti ini kan, Ta?” tanya Daffa.
“Iya seperti itu.”
Daffa pun tersenyum bangga. Mita juga merasa lega karena berhasil membantu Daffa dalam belajar.
“Sekarang kita makan ke kantin dulu yuk! Aku laper nih,” ajak Daffa.
Mita menggeleng pelan. “Aku nggak mau ke kantin... karena aku udah bawa bekal buatan aku sendiri dari rumah.”
Daffa menatao tak percaya. “Kamu bikin sendiri?”
Mita mengangguk seraya mengeluarkan sebuah kotak bekal dari dalam ranselnya. “Ini dia nasi goreng spesial buatan aku untuk kamu.”
“Waaah... ini kamu serius? Kamu yakin kalau kamu yang masak sendiri?” Daffa masih tidak percaya.
“Ih... kamu! Aku beneran masak sendiri tau! Kok nggak percayaan banget, sih?” Mita mulai merajuk.
“Hehehe... iya-iya. Aku cuma becanda kok. Oh iya tapi kok cuma satu aja? untuk kamu mana?”
Mita menyeringai, lalu mengeluarkan kotak bekal lain yang berisi salad dari campuran sayur dan buah.
Daffa mendesah pelan. “Jangan bilang kalau kamu diet lagi.”
“Yah... aku pengen hidup sehat aja. Tadi pagi aku juga udah makan berat.” Mita kembali beralasan. “Udah... sekarang ayo cicipin nasi gorengnya.
Daffa pun kembali beralih menatap kotak bekal makanan berwana merah muda itu. Dia sudah membayangkan bahwa itu adalah nasi goreng yang bisa menggoyang lidahnya. Daffa sudah tidak sabar dan langsung membuka kotak itu dan seketika terkejut melihat isinya.
Deg.
Daffa menatap nanar pada isi kotak bekal itu. “I-ini apa, Ta?”
“Kan, aku udah bilang tadi. Itu nasi goreng,” jawab Mita.
Daffa menelan ludah. Sepertinya yang ada di dalam kotak bekal itu bukan nasi goreng, tetapi nasi ternado. Karena bentuk nasi goreng itu terlihat hancur sekali. Telur ceplok separo matang yang ada di sana bahkan juga terlihat hancur diantara butiran nasi. Kotak bekal itu seperti habis diterjang goncangan hebat. Daffa mencoba memikirkan berbagai alasan kenapa nasi goreng buatan Mita terlihat hancur seperti itu. Kehancuran yang dialami nasi goreng itu sungguh tidak manusiawi. Apa Muta membawanya naik roller coaster terlebih dahulu? Atau jangan-jangan dia memang sengaja mengguncang-guncangkannya?
“T-tapi, Ta... kenapa nasi gorengnya seperti ini? Apa tadi ini jaroh atau gimana?” tanya Daffa.
Mita menjentikkan jarinya. “Oh iya... jadi tadi itu aku lupa kasih kecap. Jadinya aku kasih kecap belakangan dan aku goyang-gotamg deh kotaknya supaya kecapnya merata.”
“Hehehehe....” Daffa tertawa canggung. Hatinya meringis, tapi dia tidak ingin membuat Mita merasa kecewa.
“Ayo dicicipin! Pokoknya di jamin uenaaaaaak... soalnya aku masaknya pake cinta,” bisik Mita seraya tersenyum malu.
Daffa menelan ludah. Dia bahkan mengambil sendok dengan jari bergetar.
“Nah lho... kok kamu gemetaran? Pasti kamu kelaperan ya? abisin deh... kamu harus abisin pokoknya,” ucap Mita lagi.
Daffa memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Dia mulai menyendok nasi itu perlahan. Jantungnya berdetak lebih cepat saat sendok berisi nasi goreng itu ke mulutnya. Padahal Daffa sedang tidak jatuh cinta, tetapi kenapa dadanya berdebar sangat kencang.
Hap.
Daffa terkejut. Semua saraf lidahnya kini menjerit. Nasi goreng buatan Mita benar-benar sebuah tragedi. Nasi goreng itu terasa sangat asin sekali. Tubuh Daffa pun reflek menggelinjang karena sensasi keasinan itu.
“Gimana? enak kan?” tanya Mita.
Daffa tersenyum dengan bibir bergetar. Kedua bola matanya menyiratkan rasa tersiksa yang tidak bisa diungkapkan.
“Ayo suap lagi nasinya!” perintah Mita.
“I-iya,” jawab Daffa dengan mulut yang masih penuh.
Daffa berusaha menelan nasi goreng itu sekiat tenaga. Setelah itu dia kembali menyuapnya kembali. Rasa asin yang dirasakan kali ini bahkan semakin parah. Sepertinya Mita tidak merata dalam mengaduk bumbunya. Daffa mengunyah pelan dengan jemari yang kini mengepal kuat. Gerakan gerahamnya pelan sekali. Dia bahkan menahan napas saat mengunyah agar indera perasanya tidak terlalu bekerja.
“Enak kan?” tanya Mita lagi.”
“I-iya enak.”
Mita pun terus memerhatikan Daffa, Sementara Daffa kini semakin kesulitan untuk menelan nasi goreng itu.
“K-kamu nggak pengen ke toilet gitu?” tanya Daffa.
Mita menggeleng cepat. “Nggak!”
Deg.
Daffa tersenyum dengan mata meringis. “Kenapaaaa? Kenapa kamu nggak ke toilet, ha?”
“Kenapa aku harus ke toilet?” Mita menatap heran.
_
Semua murid menyimak pelajaran sejarah yang sedang diterangkan oleh Pak Santoso dengan baik. Sosok guru sejarah yang satu itu memang terkenal dengan gaya mengajarnya yang santai, namun tetap bisa menyampaikan semua materi dengan baik. Mita yang memang menyukai pelajaran sejarah tampak menyimak sambil sesekali membuat catatan-catatan kecil di bukunya.
Sedangkan di sudut kelas, sosok Daffa tampak meringis sambil memegangi perutnya. Lama kelamaan rasa sakit itu kian terasa menyiksa sampai akhirnya Daffa mengangkat tangannya dan seluruh perhatian kelas pun langsung tertuju pada sosok casanova itu.
“Ada apa Daffa?” tanya Pak Santoso.
“S-saya ijin ke UKS, Pak... perut saya sakit sekali,” jawab Daffa.
Deg.
Mita pun menatap kaget. Dia menatap kepergian Daffa dengan wajah rusuh. Sosok Daffa sudah menghilang di luar pintu kelas, tapi Mita masih saja menatap nanar ke arah pintu. Pak Santoso pun kembali melanjutkan kegiatan mengajarnya, tapi kali ini Mita tidak bisa lagi menyimak pelajaran itu. Seluruh pikirannya kini terpusat pada Daffa. Mita pun tak henti memandangi jarum jam dinding yang kini terasa pelan. Mita ingin jam pelajaran itu segera berakhir.
“Kenapa Daffa tiba-tiba sakit perut seperti itu?” tanya Mita dalam hatinya.
Setelah lama menunggu, akhirnya bel pulang pun berdentang keras. Pak Santoso belum menutup pelajarannya, tapi Mita sudah berkemas, berlari ke meja Daffa untuk mengambil tasnya dan segera berlari keluar kelas. Aksinya itu pun membuat Pak Santoso dan murid-murid lainnya tercengang.
Mita berlari sekuat tenaga menuju UKS, setiba di sana dia langsung mendorong pintu itu dengan kasar hingga membuat Daffa yang sedang tiduran itu terkejut.
“M-Mita....”
“Kamu kenapa? kok bisa tiba-tiba sakit perut?” Mita langsung menghambur mendekati Daffa.
Daffa memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “A-aku nggak apa-apa kok.”
Mita menatap rusuh. “Kamu nggak biasanya kek gini? Kenapa kamu bisa sakit perut? Apa jangan-jangan kamu salah makan? memangnya apa yang kamu makan sa—”
Deg.
Ucapan Mita terhenti saat dia teringat bahwa Daffa memakan nasi goreng buatannya untuk makan siang. Mita pun menatap Daffa dengan raut wajah bersalah.
“A-apa jangan-jangan kamu sakit karena memakan nasi goreng buatan aku?” tanya Mita lirih.
Daffa menggeleng cepat hingga bibirnya ikut bergetar. “Nggak kok! masa iya aku sakit gara-gara makan nasi goreng buatan kamu.”
Mita meneguk ludah. Dia kembali mengeluarkan kotak bekal yang masih menyisakan sedikit nasi goreng di dalamnya.
“A-aku udah nggak kenapa-napa kok,” ucap Daffa yang mulai khawatir.
Mita pun mencicipi nasi goreng buatannya. Sementara itu Daffa kini menelan ludah. Daffa kemudian memilih memejamkan mata. Bersamaan dengan itu Mita meringis dan memuntahkan kembali nasi gorengnya itu. Mita pun menatap nanar. Rasa nasi goreng itu benar-benar mengerikan. Hanya terasa asin dan juga pedas dari lada hitam yang terlalu banyak.
“M-Mita...” panggil Daffa pelan.
Mita beralih menatap Daffa dengan raut wajah sendu. “Kenapa kamu nggak bilang kalau rasa nasi gorengnya seperti itu, ha?”
Hening.
Daffa hanya terpekur diam.
Mita pun semakin merasa bersalah. “Kanapa kamu malah menghabiskannya?”
Daffa mengangkat wajahnya perlahan, lalu tersenyum lemah dengan wajah yang masih pucat. “Karena aku nggak mau kamu merasa kecewa.”
Mita terhenyak Sebutir bening pun kini menetes di pipinya. Setalah itu Mita langsung memukul pundak Daffa pelan. “Bodoh... kamu benar-benar bodoh!”
Daffa hanya diam. Sedangkan Mita masih memukul pundaknya berulang-ulang, sampai kemudian Daffa menangkap tangan itu dan meremasnya pelan.
“Maafin aku, ya,” ucap Daffa kemudian.
Mita pun semakin meradang. “Kenapa kamu yang minta maaf sih... yang salah itu aku! kamu ngebikin aku semakin merasa bersalah tau nggak.”
Daffa tersenyum lembut. “Ya udah sih... yang penting sekarang aku udah baikan. Kamu juga udah bawain tas aku, iya kan? kita pulang sekarang yuk!”
“T-tapi hari ini aku ada janji sama Ocha. Aku mau nemenin dia nyari kado ulang tahun buat orang tuanya,” ucap Mita.
Daffa mengangguk pelan. “Hmmm gitu ya... kalau gitu ya udah. Kamu harus cepet-cepet samperin dia. Pasti dia udah kelamaan nunggunya.
“T-tapi....” Mita terlihat ragu.
“Aku nggak apa-apa kok. Udah... pergi sana! kasihan Ocha nungguin kamu.”
“Beneran nggak apa-apa?” Mita masih meragu.
“Iya bawel!” Daffa tertawa pelan.
Mita pun bangun dari duduknya. “Ya udah... kalau gitu aku duluan ya! nanti aku akan telpon kamu kalo aku sudah sampai di rumah.”
Daffa mengangguk. “Oke siap Boss!”
Mita pun bergegas pergi karena Ocha memang sudah menantinya. Setelah kepergian Mita, Daffa pun kembali meringis karena rasa sakit diperutnya belum sepenuhnya reda. Daffa bangun dengan sangat hati-hati sambil memegangi perutnya. Dia mengambil ranselnya tang tadi dibawakan oleh Mita dan juga bergegas keluar dari ruang UKS itu.
Daffa pun terkejut saat tiba di luar. Suasana sekolah sudah benar-benar lengang. Daffa berjalan pelan sambil sesekali mengelus perutnya. Ketika sampai di gerbang, Daffa pun terkejut melihat sosok mama Mita yang sedang berdiri di depan sana sambil melipat tangannya di d**a.
Daffa menelan ludah. Setelah itu dia berlari mendekat dan menunduk sebentar memberi hormat.
“S-siang Tante,” sapa Daffa dengan suara gugup.
Mama Mita hanya mengangguk seraya tersenyum tipis.
Daffa pun kini menjadi salah tingkah. Dia menggaruk leher belakangnya sebentar, lalu kembali tersenyum canggung. “T-tante mau jemput Mita, ya? tapi dia tadi sudah pergi duluan. Katanya dia mau nemenin Ocha membeli kado untuk orang tuanya.”
Mama Mita mendesah pelan, lalu emnatap Daffa lekat-lekat. “Saya ke sini bukan untuk menjemput Mita.”
Daffa menatap bingung. “T-terus Tante kenapa....”
“Saya datang untuk berbicara dengan kamu!”
Deg.
Daffa meneguk ludah. Seketika tungkai kakinya langsung terasa melemah.
“T-tante mau bicara sama aku?” Daffa menunjuk dirinya sendiri.
Mama Mita menatap tajam. “Iya. Saya datang untuk berbicara dengan kamu...”
_
Bersambung...