Too Young To Marry – 12

1296 Words
Mita berdiri nanar di tengah-tengah jembatan gantung yang melintasi sebuah sungai yang besar di bawahnya. Dia tidak peduli pada langit yang sudah menggelap. Dia juga tidak takut pada air sungai yang kini terlihat menghitam. Suasana di sana begitu sepi. Bahkan sangat lengang sekali. Desau angin malam yang dingin pun bahkan tidak mengganggu Mita sama sekali. Suara desiran air sungai di bawah sana terdengar menyeramkan, tapi Mita pun juga tidak peduli. Sesekali air matanya kembali menetes pelan. Mita benar-benar syok mengetahui fakta bahwa sang mama adalah penyebab semua kekacauan itu terjadi. Segala keanehan yang dia rasakan terhadap perubahan Daffa pun kembali teringat. Bagaimana dia mulai berubah malam itu, sampai akhirnya dia mengatakan kata putus sebagai akhir dari segalanya. Mita benar-benar tidak mengerti kenapa sang mama ikut campur dalam urusan yang menurutnya bersifat pribadi itu. Padahal selama ini Mita dan Daffa tidak pernah berbuat yang aneh-aneh. Mereka tidak saling merusak satu sama lain. Mereka juga tidak larut dalam euforia pacaran seperti pasangan muda lainnya. Daffa sendiri tetap fokus pada pendidikan dan juga karirnya dalam menulis komik di webtoon. Sedangkan Mita juga tetap mempertahankan prestasinya di sekolah. Apakah semua itu tidak cukup membuktikan bahwa hubungan mereka sejatinya tidak menganggu apa-apa? Menikah... Ya sepertinya keinginan itulah yang membuat Mama Mita menjadi kalang kabut hingga akhirnya nekad menemui Daffa seperti itu. Memangnya apa salahnya? Apakah menikah muda adalah sebuah dosa? Apakah mempunyai keinginan untuk menikah adalah sebuah kesalahan? Mita benar-benar tidak mengerti. "Sekarang aku harus bagaimana?" Bisik Mita lirih. Mita lalu mengeluarkan handphone-nya dan mencoba menghubungi Daffa. Panggilan itu tersambung, namun Daffa tidak menjawab panggilan itu sama sekali. Mita pun akhirnya mengirim pesan teks melalui w******p, tapi Daffa hanya membacanya dan tidak membalasnya juga. Mita mendesah kesal seiring dengan bola matanya yang kembali terasa panas. Dia kemudian memejamkan matanya sebentar, membiarkan angin malam menyapu wajahnya. Setelah mengatur napas sejenak, Mita pun kembali menatap layar handphone-nya, lalu mulai mengetikkan sebuah pesan. AKU AKAN BUNUH DIRI! Mita mengirim pesan itu seraya tersenyum. Dia tentu saja tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu. Tidak hanya mengirimkan pesan, Mita juga mengirimkan rekaman video yang menampakkan di mana dia berada sekarang. Mita pun mengangguk pelan seraya memeluk handphone-nya itu di d**a. "Dia pasti akan datang. Dia pasti akan datang kali ini," bisik Mita pelan. _ Sementara itu di tempat lain, Daffa baru saja menyelesaikan makan malamnya. Perutnya sudah terasa kenyang dan sekarang matanya mulai mengantuk. Daffa beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Bersamaan dengan itu notif handphone-nya kembali berbunyi. Daffa menghela napas panjang. Dia tahu itu pasti pesan dari Mita. Karena memang tidak ada yang mengetahui kontak w******p-nya selain Mita. Dulunya bahkan Daffa sama sekali tidak ingin menggunakan handphone android. Dia juga tipikal manusia unik yang anti dengan sosial media. Daffa sangat tertutup dan tidak peduli pada perkembangan trend terkini. Dulu di awal-awal berpacaran dengan Mita pun mereka berkomunikasi melalui SMS dan panggilan telepon biasa saja. Sampai akhirnya Mita memaksa Daffa untuk memakai handphone android. Namun tetap saja, Daffa hanya menginstal aplikasi w******p dan hanya menyimpan kontak Mita sebagai satu-satunya penghuni di aplikasi itu. Setelah selesai mencuci muka, Daffa beranjak ke dalam kamarnya. Dia menyalakan komputer dan bersiap untuk menggambar komik. Daffa meletakkan handphone-nya di atas meja tanpa memeriksa pesan yang tadi masuk. Dia kemudian mengambil kacamata anti radiasinya dan bersiap untuk bekerja. Jemarinya mulai sibuk menggeser kursor dengan sigap. Daffa terlihat sangat serius, namun tak lama kemudian dia kembali mencopot kacamata, mematikan komputernya dan mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Belakangan ini dia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Seakan seluruh kemampuan dan semangatnya menguap hilang begitu saja. Daffa menghela napas gusar seraya menutup matanya menggunakan lengan. Tak lama setelah itu dia kembali bangun dan meraih handphone-nya. Daffa meneguk ludah. Itu memang pesan dari Mita lagi. Sejenak dia terlihat ragu hendak membuka pesan itu atau mengabaikannya, tapi akhirnya Daffa membuka pesan itu dan kedua matanya langsung melotot kaget. Deg. Handphone itu menggelinding di lantai. Daffa lekas mengambilnya dengan jemari bergetar dan langsung menghubungi Mita. Tut...  Tut.... Mita menolak panggilan itu. Daffa menjadi kian gelisah. Dia mencoba mengirimi pesan, tapi Mita tidak membalasnya. Dengan wajah panik Daffa pun terus menerus mencoba melakukan panggilan. Setelah percobaan yang kesekian kali, akhirnya Mita menjawab panggilan itu. "H-halo kamu di mana, Ta?" Tanya Daffa setengah berteriak. Hening. Mita sama sekali tidak bersuara. "Ta! Kamu dengerin aku kan? Kamu di mana? Jangan sekali-kali bertindak bodoh!" Pekik Daffa lagi. Sunyi. Mita tetap saja diam membisu. Daffa semakin panik. Dia kemudian menajamkan pendengarannya. Suara aliran air itu masih terdengar jelas. Daffa pun mengangguk pelan. Itu berarti Mita masih ada di sana. Daffa buru-buru meraih jaket denimnya dan segera bergegas pergi untuk menyusul Mita. "Kamu mau ke mana malam-malam begini, ha?" Sergah sang ayah saat Daffa memasang sepatunya dengan tergesa-gesa. Daffa tidak menjawab dan segera berlari pergi. _ Daffa tiba di jembatan itu dengan napas yang tersengal-sengal. Keringat deras kini mengucur di tubuhnya. Daffa berlari sejauh 3 kilo meter untuk mencapai tempat itu. Pemandangan di depan sana terlihat temaram karena lampu penerangan jembatan yang redup. Daffa pun melangkah pelan seraya terus menatap ke sekitarnya. Kosong. Tidak ada siapa pun di jembatan itu. Daffa terus melangkah sampai akhirnya derap langkah kakinya terhenti saat dia melihat sepasang sepatu yang tidak asing. Ya, itu adalah sepatu Mita yang Daffa belikan saat Mita berulang tahun ketika itu. Deg. Daffa menatap sepatu itu dengan perasaan yang berkecamuk. Dia sontak menatap pada aliran yang sungai yang gelap dan dalam di bawah sana. Helaan napasnya yang tadi mulai tenang, kini kembali terdengar sesak. "Nggak... Ini nggak mungkin!" Ucap Daffa seraya menggeleng pelan. Daffa kembali melongokkan wajahnya ke bawah jembatan itu. Bola matanya menatap liar dengan napas yang sangat memburu. "Ta... Mitaaaaaaaa...!!!" "Mitaaaaaaaaaaaaa....!!!" "Mitaaaaaaaaaaaaa....!!!" Daffa berteriak keras memanggil Mita. Suaranya itu bahkan terdengar menggema dalam kegelapan. Lama kelamaan suara teriakan itu terdengar semakin melemah bahkan kini terdengar seperti berbisik. "Mita....." Daffa mengempaskan lututnya ke lantai jembatan itu dengan perasaan kacau. Dia benar-benar bingung dan tidak bisa berpikir jernih saat ini. Matanya masih terpaku pada sepasang sepatu yang kini ada di depannya. Beberapa detik kemudian sepatu itu mulai di tetesi air mata Daffa yang menitik pelan. "Ta ... Kamu tidak mungkin melakukannya kan?" Bisik Daffa dengan suara serak. "Tentu saja! Aku tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu." Deg. Daffa terkejut mendengar suara itu. Daffa pun menoleh pelan ke belakang dan melihat Mita yang kini berdiri sambil berkacak pinggang. "K-kamu...." Daffa tidak bisa berkata-kata. Dia segera bangkit sambil menyeka air matanya, lalu menatap Mita dengan sorot mata tajam. "Apa kamu pikir ini lucu, ha...!?" Teriak Daffa murka. Mita hanya menatapnya lekat-lekat di bawah lampu jembatan yang redup. Tatapannya lalu beralih pada jemari Daffa yang masih bergetar. Mita menelan ludah, lalu kembali menatap Daffa perlahan. "Kamu bener-bener gila! Apa kamu puas melakukan hal konyol seperti ini?" Daffa masih merasa emosi. Diam. Mita tetap membisu. Daffa pun menatap kesal, lalu berbalik hendak pergi dari sana. "Sebenarnya apa alasan kamu memutuskan aku?" Tanya Mita. Langkah Daffa terhenti. "Jangan lagi menanyakan pertanyaan yang sama. Aku sudah jelas-jelas menjawabnya waktu itu."   "Apa kamu benar-benar tidak mencintai aku lagi?" Mita kembali bertanya. Daffa mengepalkan tangannya kuat-kuat dan menjawab tanpa menoleh ke belakang. "Tidak!" Mita mendesah pelan. "Lalu kenapa kamu masih peduli dan datang ke sini?" Daffa terdiam. Dia kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu. "A-aku...." Daffa berujar terpatah-patah. Mita tersenyum lemah. "Semua karena Mama aku, kan?" Deg. Daffa terkesiap. Dia membeku dengan napas tertahan di tenggorokannya. Tak lama kemudian dia pun berbalik menatap Mita. "Kenapa kamu tidak berkata jujur sama aku!?" Sekarang giliran Mita yang membentak Daffa. Hening. Daffa terpekur diam. "Bagaimana bisa kamu mengambil keputusan seperti itu, ha?" Teriak Mita. Daffa menelan ludah. "Maafin aku, tapi aku rasa... Semua itu memang yang terbaik untuk kamu." "Kata siapa...!?" Suara Mita melengking keras. Daffa menatap Mita perlahan. "Aku juga bingung. Aku tidak tahu harus berbuat apa...." "Dan kamu akhirnya memutuskan untuk bersikap bodoh seperti itu?" Mita memukul pundak Daffa perlahan.  Daffa terdiam. Dia kini kehabisan kata-kata dan hanya bisa menerima setiap pukulan Mita itu dengan tenang. "Bodoh...! Kamu bener-bener bodoh!" Pekik Mita. Daffa membiarkan Mita terus memukulnya, sampai kemudian Daffa menangkap tangan itu dan menarik Mita dalam pelukannya. "Maafin aku, Ta... Maafin aku." _   Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD