Too Young To Marry - 10

1269 Words
Sendu itu belum usai. Sudah seminggu lamanya Daffa bersikap cuek dan tidak lagi berbicara lagi kepada Mita. Beberapa hari terakhir Mita sudah berusaha keras untuk mengajak Daffa berbicara, tapi dia selalu saja menghindar dan menghilang. Sosok Daffa kini menghilang dan tak lagi bisa dijangkau. Mita benar-benar tidak tahu lagi harus berbuat apa. Hari ini Mita merasa penat dan lelah. Dia tidak lagi menunggu Daffa di gerbang sekolah pada pagi hari. Dia juga tidak lagi mengejar Daffa saat jam istirahat. Dia juga sudah berhenti menunggu Daffa sepulang sekolah.  "Mita ... Kamu belum mengumpulkan tugas kamu?" Tanya Pak Hasan sembari mengecek kembali tumpukan buku di depannya. Seluruh penghuni kelas pun langsung menatap heran pada Mita. "M-maafkan saya, Pak," ucap Mita seraya tertunduk malu. Pak Hasan menurunkan kacamatanya, lalu menatap heran. "Buku tugas kamu ketinggalan atau bagaimana?" Mita meneguk ludah. Dia bisa saja berbohong seperti dugaan Pak Hasan, tapi Mita memilih untuk berkata jujur. "T-tidak, Pak. Saya memang tidak mengerjakannya?" Jawab Mita. Seisi kelas pun mendadak ribut. Semua orang tentu saja tidak percaya mendengar pengakuan itu. Bagaimana mungkin seorang Mita Andriani tidak mengerjakan tugasnya? Itu adalah sebuah hal yang mustahil. Semua anak-anak kelas kini sibuk berbisik pelan mengungkapkan keheranannya. "K-kamu tidak mengerjakannya?"  Pak Hasan sepertinya juga tidak memercayai pendengarannya. Mita adalah salah satu murid kesayangannya. Selama ini Mita tidak pernah mengecewakan pak Hasan. Dia juga selalu membuat pak Hasan merasa bangga dengan hasil belajarnya. Namun sekarang Mita tidak mengerjakan tugasnya? Pak Hasan masih menatap heran. Dia juga merasa sedikit bingung harus berbuat apa. Tapi kemudian Pak Hasan tetap bersikap profesional sebagai tenaga pendidik. Dia berdehem pelan, lalu kembali menatap Mita yang masih tertunduk diam di bangkunya. "Kamu tahu kan, apa hukumannya bagi anak yang tidak mengerjakan tugas?" Tanya pak Hasan. Mita meneguk ludah dan segera bangun dari duduknya. Dia pun melangkah pelan menuju koridor di depan kelas untuk berdiri di sana hingga jam pelajaran usai.  "Beneran dia nggak bikin tugas?" "Ya ampun... Kok bisa, sih?" "Masa iya Mita nggak bikin tugas?" Bisik-bisik dari murid yang lainnya pun mengiringi langkah kaki Mita. Sebagian dari mereka bahkan mengintip ke kaca jendela untuk melihat Mita yang berdiri di luar sana. Pak Hasan pun sejenak ikut terpaku dan bertanya-tanya kenapa Mita tiba-tiba seperti itu. Hingga kemudian pak Hasan tersadar dan menepuk meja di depannya cukup keras. "Heh kalian! Ayo kembali duduk ke bangku masing-masing," sergah Pak Hasan. Semua murid-murid itu pun kembali duduk di kursinya masing-masing. Di pojokan sana, Daffa terlihat menatap rusuh. Dia menjadi gelisah seiring dengan rasa bersalah yang mulai tumbuh di hatinya. Daffa pun tidak lagi bisa berkonsentrasi menikmati pelajaran. Matanya terus saja melirik jarum jam yang terasa bergerak pelan. Hingga kemudian Daffa tidak tahan lagi menunggu dan mengangkat tangannya. "Ada apa Daffa?" Tanya Pak Hasan. "Saya ijin ke toilet, Pak!"  Pak Hasan hanya mengangguk dan Daffa pun segera bergegas keluar kelas. Saat sudah melewati ambang pintu, langkah Daffa pun melambat saat melihat sosok Mita yang berdiri dengan tatapan kosong di ujung sana. Daffa menelan ludah, lalu mulai melangkah pelan. Saat lewat di depan Mita, Daffa sempat sedikit menoleh, tapi Mita hanya menatapnya sebentar, kemudian kembali menundukkan wajahnya. Deg. Daffa cukup terkejut. Dia sempat mengira kalau Mita akan mencegatnya. Dia mengira Mita akan berbicara padanya. Daffa pun melanjutkan langkahnya dengan gamang. Sekarang dia mengerti bagaimana perasaan Mita. Sekarang dia tahu bagaimana rasanya tidak diacuhkan. Daffa pun menyandarkan punggungnya pada dinding toilet dengan suara embusan napas yang terdengar berat. "Maafin aku, Ta... Maafin aku," bisiknya lirih. _ Bel pertanda pulang sekolah berdentang keras. Daffa sengaja berkemas dengan sangat lambat seraya sesekali melirik Mita yang juga sedang berkemas di ujung sana. Sebagian besar murid yang lain pun sudah keluar. Kelas itu kini sudah menjadi sepi. Satu persatu yang tersisa juga mulai berlarian pergi hingga akhirnya hanya menyisakan Mita dan Daffa saja di kelas yang kosong itu. Mita mengemasi buku-buku dan peralatan tulisnya dengan lesu. Setelah semuanya selesai, Mita pun menyandang ranselnya dan bersiap untuk pergi dari sana."Ta ...!"Panggilan itu membuat langkah kaki Mita berhenti. Daffa pun segera mengejar Mita dan berdiri tepat di depan Mita yang kini menundukkan wajah. Hening. Mita bahkan tidak menatap Daffa sama sekali. Daffa sendiri juga terlihat kesulitan untuk mulai berkata-kata. Cukup lama mereka berdua membisu dalam posisi seperti itu. Sampai akhirnya Mita mengangkat wajahnya dan menatap Daffa perlahan. "Ada apa?" Tanya Mita dengan suara lirih.Daffa terlihat gugup. "A-aku....""Aku capek! Aku ingin segera pulang dan istirahat," potong Mita.Deg.Daffa terdiam, Mita pun segera berlalu pergi dari sana. Sekitar beberapa detik termangu, Daffa pun segera mengejar Mita keluar kelas."Ta, tunggu Ta!" Panggil Daffa.Mita terus berjalan. Daffa pun kini ikut melangkah mengiringi Mita di sampingnya."Aku mau ngomong sebentar sama kamu, Ta!" Ucap Daffa.Mita bergeming dan terus melangkah."Ta ... Please dengerin aku sebentar saja!"Mita tidak peduli. Dia bahkan tidak menganggap keberadaan Daffa yang masih mencoba mengajaknya berbicara itu. Daffa mulai kewalahan. Langkahnya pun kini terhenti."Aku ingin putus!" Teriak Daffa.Deg.Kalimat itu akhirnya menghentikan langkah Mita. "A-apa?" Mita berbalik pelan.Daffa melangkah mendekat dan menatap Mita lekat-lekat. "Aku rasa kita harus mengakhiri hubungan kita sampai di sini saja."Mita menatap nanar. "Setelah satu minggu kamu nggak berbicara sama aku... Dan sekalinya berbicara kamu malah meminta putus?"Daffa meneguk ludah dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Maafin aku, Ta... Tapi aku rasa inilah yang terbaik untuk kita berdua."Mita menggeleng pelan dengan bola mata yang sudah terasa panas. "Demi kebaikan kita?"Daffa mengangguk. "Iya... Setelah aku pikirkan lagi, sepertinya kita terlalu cepat dalam mengambil keputusan. Belakangan ini aku menghabiskan waktu untuk merenung. Aku akhirnya sadar bahwa aku belum sanggup untuk melakukan apa yang sudah kita rencanakan."Mita terhenyak. "Yang merencanakan semua itu kamu, Daffa! dan sekarang kamu juga yang mengatakan bahwa kamu...." Mita tidak bisa meneruskan kalimatnya."Ya, karena itulah maafin aku. Maaf dan terima kasih untuk segalanya." Daffa berkata tanpa menatap mata Mita sedikitpun.Bibir Mita bergetar menahan tangis. "Kamu bener-bener jahat!"Maafin aku." Daffa berkata pendek, lalu segera pergi meninggalkan Mita begitu saja. _ Mita menatap langit-langit kamarnya dengan kepala yang masih terasa pusing karena terlalu banyak menangis. Langit dibalik jendela sudah menggelap. Mita tertidur dari pulang sekolah hingga malam ini. Dia bahkan belum mengganti baju seragamnya. Sepatu sekolahnya juga masih melekat dikakinya. Mita mendesah pelan, lalu memijit batang hidungnya perlahan. Semua yang terjadi hari ini bagai sebuah mimpi buruk bagi Mita. Jikalah ini memang sebuah mimpi, maka dia berharap untuk bisa lekas terbangun. Putus?Mita masih tidak percaya pada kenyataan yang kini harus dia terima. Rasanya baru kemarin Daffa menyatakan cinta padanya saat dia tampil di ajang Sea Games waktu itu.Ingatan Mita pun kembali melayang mengingat masa itu. Saat itu Daffa tengah melakukan wawancara secara ekslusif dan juga ditayangkan secara langsung oleh salah satu stasiun televisi. Awalnya mereka hanya membahas seputar performa Daffa sebagai pemain tim basket Nasional. Mulanya obrolan Daffa dan reporter televisi itu hanya seputar hal-hal biasa saja. Mita masih mengingat semuanya dengan jelas. Saat itu dia sedang menonton siaran itu bersama keluarganya. Tiba-tiba saja Daffa menyebut nama Mita dalam sesi wawancaranya dan ketika reporter itu bertanya siapa itu Mita, Daffa pun menjawab...Mita adalah seorang perempuan yang dia sukai.Pengakuan Daffa itu pun sontak membuat topik wawancara itu menjadi ricuh. Para pemain basket yang lain bahkan juga melontarkan pertanyaan silih berganti. Sementara Mita yang menonton melalui layar televisi pun tak kalah shock. Apalagi saat Daffa menyatakan cintanya melalui siaran yang disaksikan oleh jutaan orang di seluruh negeri itu. Ya, di akhir wawancara Daffa memang diberi kesempatan untuk menyampaikan pesan kepada perempuan yang dia sukai itu. Itu adalah saat-saat paling membahagiakan dalam hidup Mita. Kegilaan Daffa benar-benar membuatnya larut dalam lautan asmara yang melambungkan hatinya ke udara. Selama berbulan-bulan semua teman-teman di sekolahnya terus saja membahas fenomena yang luar biasa itu. Banyak yang menjadikan Mita dan Daffa sebagai pasangan kekasih yang menjadi panutan. Daffa dan Mita memang seakan menjadi sebuah legenda dengan semua cerita manis, namun... Semua itu kini sudah berakhir. Sirna sudah segala harap. Hilang sudah semua mimpi yang telah mereka rajut bersama. Cinta muda itu usai sudah. Selamat jalan cinta dan selamat datang untuk luka.  _ Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD