Too Young To Marry – 02

1579 Words
Di tempat yang berbeda, sosok Daffa tampak masih asyik dengan komputer dan perlatan gambar elektroniknya. Selama enam bulan belakangan ini dia memang mulai serius menggeluti dunia komik. Bahkan terakhir kali Daffa juga sudah mencoba peruntungan dengan menerbitkan komik miliknya di salah satu platform yang cukup terkenal. Hasilnya pun cukup memuaskan. Komik hasl karya cukup digemari dan itulah yang memotivasinya untuk meraih pencapaian yang lebih tinggi lagi. Cowok yang memiliki lesung pipi di sebelah kanan itu tampak fokus sekali saat menggores pena elektronik untuk mewarnai gambar buatannya itu. Suasana kamarnya sepenuhnya temaram. Hanya ada secercah cahaya layar komputer dan perangkat elektronik miliknya itu saja. Saat sedang menggerakkan pena elektronik itu, tiba-tiba Daffa tidak sengaja menyenggol sebuah gelas berisi kumpulan pena. Glek. Pena-pena itu pun jatuh ke lantai dan menimbulkan suara yang cukup bising. “Mampus...,” bisik Daffa sambil menggaruk kepalanya. Daffa pun menatap panik. Bersamaan dengan itu dia mendengar suara derap langkah kaki yang terdengar semakin dekat. Dengan cepat Daffa menutup komputernya itu menggunakan selimut. Setelah itu dia langsung berbaring di ranjangnya dan menutup wajahnya dengan selimut. Hening. Tak lama setelah itu terdengar suara knop pintu yang dibuka. Klik. Cahaya dari luar kamar pun kini menerobos ke dalam kamar yang gelap itu. Daffa pun semakin cemas dibalik selimutnya. Dia berharap bagian komputernya itu tidak diterpa cahaya dari luar itu. “Kamu masih bangun?” terdengar suara lelaki yang terdengar berat. Daffa meneguk ludah dan menautkan kelopak matanya rapat-rapat. Di celah pintu sana terlihat seorang lelaki paruh baya dengan kacamata tebal dan kumis yang meliuk-liuk. Sosok itu menatap kamar yang gelap itu sebentar, kemudian menarik pintu itu kembali. “Haaaah....” Daffa pun membuka selimutnya dan kembali menghela napas. Untunglah dia tidak ketahuan. Jika sang ayah mengetahui dia masih bangun dan sibuk membuat komik, pasti Daffa akan dimarahi. Kedua orang tua Daffa memang menentang hobinya itu. Karena hal itu jugalah Daffa terpaksa memakai nama pena dan menyembunyikan identitas aslinya. Itu juga alasannya Daffa bekerja dalam gelap seperti ini. Jika lampu kamarnya masih menyala di tengah malam, bisa dipastikan ayah atau ibunya akan langsung memeriksa. Mengunci pintu kamarnya bahkan lebih buruk lagi. Karena dengan begitu mereka akan langsung tahu bahwa Daffa sedang mengerjakan komiknya. Daffa kembali bangun dan menyingkirkan selimut yang menutupi komputernya. Dia menggerakkan kursor perlahan dan seketika terperanjat kaget. “A-apa...?” Daffa menggerak-gerakkan mouse di tangan kanannya dengan gusar. “Sial... aku lupa nge-savenya... padahal tadi tinggal sedikit lagi,” ringis Daffa. Daffa menggaruk-garuk tengkuknya dengan wajah kesal. Bibirnya kini berubah manyun dengan tatapan mata yang berkaca-kaca. Padahal dia sudah mengerjakan gambar itu kurang lebih selama tiga jam, namun karena lupa menyimpannya, semua yang sudah dikerjakan Daffa itu pun menjadi sia-sia. Daffa pun menatap layar itu seraya meringis. Kedua bahunya bahkan kini bergetar bersamaan dengan suara rengek-annya yang terdengar lirih. Dia mendesah pelan, lalu membenturkan kepalanya ke meja berulang-ulang. Setelah itu dia menatap layar itu kembali, lalu berbisik pelan. “Kalau begini bagaimana caranya aku bisa menikah....?” Cowok penyuka bakwan dan kue klepon itu pun mematikan komputernya dengan gusar. Dia beranjak duduk di tepi ranjang dan mulai sibuk dengan handphone-nya. Saat ini Daffa hanya mengenakan celana boxer berwarna hitam dan atasan baju tanpa lengan dengan warna yang sama. Walaupun masih duduk di kelas tiga SMA, Daffa sudah mempunyai bentuk tubuh yang bagus. Dadanya terlihat bidang dengan otot lengan yang sesuai untuk proporsi tubuhnya. Selain itu otot perutnya juga tercetak jelas karena baju yang dikenakan Daffa itu lumayan ketat. Wajar saja, Daffa memang pecinta segala jenis olah raga. Dalam tujuh hari dalam seminggu, dia selalu mempunyai jadwal olah raga yang penuh. Di sekolah sendiri Daffa juga menjadi kapten dari tim basket. Kemampuan bermainnya jangan ditanyakan lagi. Bahkan pada ajang Sea Games yang digelar tahun lalu, Daffa berkesempatan untuk menjadi bagian atlit nasional yang bertarung atas nama negara dalam cabang olahraga basket. Saat itu kedua orang tuanya menyarankan agar Daffa serius dengan profesinya sebagai atlit basket dan tetap bergabung dalam tim nasional, tetapi Daffa bukanlah tipikal orang yang bisa dikekang dengan segudang peraturan. Dia juga tidak suka melakukan satu hal yang monoton. Banyak orang yang menyayangkan keputusannya, tapi Daffa tetap pada keputusannya dan keluar dari barisan atlit nasional kala itu. Daffa membuka pesan dari Mita, kemudian tersenyum senang. Dia tidak membalas pesan itu melainkan langsung saja melakukan panggilan. “Semoga dia belum tidur,” bisik Daffa sambil mencari posisi yang enak baginya untuk menelepon. “Halo....” suara Mita terdengar jelas di seberang sana. Daffa sontak tersenyum lebar. “Kamu belum tidur, Ta?” “Aku baru habis cuci muka, gosok gigi, make skincare dan sekarang baru aja rebahan,” jawab Mita. “Mmm... perasaan akhir-akhir ini kamu rajin banget perawatan. Biasanya kucel juga cuek aja,” sergah Daffa. “Ish... kamu nggak tahu aja gimana susahnya jadi cewek seorang Daffa Septian. Banyak tahu yang ngatain kalau aku itu nggak cocok sama kamu.” “Terus kamu lebih dengerin omongan mereka semua?” tanya Daffa. “Ya... aku cuma ini... apa itu namanya... aku hanya mencoba memantaskan diri aja” Daffa menghela napas panjang. “Dengerin aku ya, Ta... aku itu suka sama kamu apa adanya kamu. Karena yang membuat aku jatuh cinta sama kamu itu bukan rupa, aku jatuh cinta sama attitude kamu. Sama kepribadian kamu.” Mita terkikik di seberang sana. “Halah...  kamu bisa aja. Terakhir waktu kita nonton ke bioskop kamu malah jelatatan ngeliatin cewek yang ramping, putih dan cantik.” Daffa menutup mulutnya menahan tawa, “Eh... kamu ternyata maish inget aja. Hm... memori cewek memang luar biasa, ya.” “Inget dong.” “Hmmm... by the way maaf ya kalo aku ngomongnya bisik-bisik, takut ntar ketahuan sama Ayah dan Bunda,” Daffa berbisik dibalik selimutnya. “Aku juga bisik-bisik kok... ini aja aku lagi ngumpet dibalik selimut.” Daffa terkikik pelan. “Kok sama? Apa jangan-jangan kita jodoh?” Mita terdengar menahan tawa. “Kamu udah makan malam?” tanya dia kemudian. “Aku tadi makan sate madura sama nasi goreng yang dicampur jadi satu,” jawab Daffa. “Iuuuh... rasanya jadi gimana tu? Selera makan kamu emang aneh banget ddari dulu.” “Enak kok! kamu sendiri udah makan?” “Aku Cuma minum protein shake aja, soalnya lagi nyobain dietnya IU....” Daffa menepuk jidatnya sendiri. “Buat apa sih, Ta... nanti kamu sakit lagi loh! Terakhir kamu udah ke maag karena diet-diet ekstrim kayak gitu. Nggak... nggak! aku gak suka kalau kamu kayak gini. Benaran gak like aku!” Suara desahan Mita terdengar jelas. “Kamu inget foto kita waktu nanjak gunung yang aku post ke i********:?” “Iya aku inget,” jawab Daffa. “Kamu tau nggak sih... banyak yang komen katanya wajah aku keliatan lebih gede dari wajah kamu.” “Ta... hauskah aku mengulangnya seribu kali. Kenapa kamu selalu peduli sama apa yang dikatakan orang lain. Kamu hanya perlu mencintai diri kamu sendiri aja, Ta... dan aku juga udah ribuan kali mengatakan kalau aku tidak peduli sama itu semua. Kamu sadar nggak sih, kalau kita sering berantem gara-gara masalah seperti ini. Problem kita selama pacaran itu kebanyakan bukan datang dari internal hubungan kita, tapi dari  faktor luar. Kamu selalu aja peduli sama omongan orang lain,” Daffa berceramah panjang lebar. Hening. Mita tidak menjawab dan Daffa kini mulai gelisah dan merasa bersalah. “A-aku ngomong begitu agar kamu lebih dewasa aja. Aku nggak ada maksud untuk marahin kamu atau gimana... sekarang coba... untuk apa kamu diet-diet seperti itu?” “Aku hanya takut kamu ninggalin aku....” Deg. Daffa terdiam sejenak mendengar jawaban itu. Tidak lama kemudian dia tersenyum lembut. “Ta... aku sayang sama kamu melebihi apapun di dunia ini. Kamu adalah orang ketiga yang paliiiiing aku sayangi di dunia ini. “Ketiga?” suara Mita sedikit berteriak. “Iya... Kamu adalah orang ketiga yang paliiing aku sayangi setelah Ayah dan Bunda,” Hening. “Hmmm... kamu itu beneran?” tanya Mita kemudian. “Iya, Ta... aku beneran. Sekarang pasti kamu laper, iya kan?” “I-iya... aku laper.” “Makan dulu sana! pokoknya kamu harus makan sekarang juga. Ambil makanan keluar habis itu kita VC-an biar aku bisa mastiin kalau kamu bener-bener makan,” ucap Daffa/ “Iya deh iya... aku matiin telponnya dulu sebentar ya.” “Nggak usah! Biarin aja.” Beberapa menit setelah itu Daffa dan Mita pun akhirnya melanjutkan obrolan mereka via video call. Mita mengobrol ringan sambil menyantap makan malamnya. Sedangkan Daffa kini memerhatikan setiap suapan Mita dan sesekali tersenyum kecil. “Kok kamu ketawa mulu dari tadi sih?” sergah Mita yang mulai merasa risih dan malu. “Aku itu paling seneng liatin kamu makan tahu nggak. Kesannya apapun yang kamu makan itu keliahatan lezat dan bikin pengen,” jawab Daffa. “Kamu laper juga kan? tanya Mita. Daffa mengangguk malu. “Bentar ya, aku keluar dulu buat ngambil makanan di dapur.” Daffa pun membuka pintu kamarnya sepelan mungkin. Suasana di luar sana sangat gelap dan hening. Daffa pun menjinjit langkah pelan menuju dapur, tapi saat akan menuruni anak tangga langkahnya sekertika terhenti. Bersamaan dengan itu dia mendengar suara hardikan yang keras di bawah sana, “Istri macam apa kamu yang pulang tengah malam seeprti ini, ha!? itu suara ayah Daffa. Deg. Daffa pun melayangkan pandangannya ke lantai bawah. Di sana terlihat sang Ayah yang sedang berkacak pinggang dan juga sang Bunda yang sepertinya baru pulang ke rumah. “Apa yang kamu kerjakan di luar sana  hingga larut malam seperti ini?” tanya ayah Daffa lagi. “Mas... aku itu kerja! Kamu ngerti nggak sih! Aku capek-capek banting tulang dan kamu malah seperti ini?” “Halah... siapa yang bekerja hingga larut malam seperti ini, ha!? ayah Daffa masih tidak percaya. “Orang yang tidak bekerja seperti kamu tidak akan pernah tahu, Mas...!” Bunda Daffa kini balas membentak suaminya itu. Hening. Ayah Daffa tidak bisa lagi berkata-kata. Dia mencopot kacamatanya, lalu memijit batang hidungnya perlahan. Sementara itu bunda Daffa terlihat melemparkan tasnya ke sofa sambil terus mengomel. “Kalau kamu tidak mau melihat istri kamu seperti ini, cari kerja sana! sebenarnya ini tanggung jawab kamu sebagai suami!” “Jadi sekarang kamu menyalahkan aku?” tanya ayah Daffa. “Tentu saja!” Perang mulut itu pun semakin menjadi-jadi. Daffa hanya bisa menghela napas. Perutnya yang tadi terasa lapar mendadak kenyang karena pertengkaran kedua orang tuanya itu. Daffa pun masih menatap nanar menyaksikan pertengkaran mereka. Kali ini sang ayah membanting sebuah vas bungga hingga pecah berkeping-keping dan menimbulkan keributan. Sang bunda juga berteriak lebih keras lagi menghardik suaminya itu. Daffa hanya berdiri tenang,  sedetik kemudian dia pun berbisik pelan. “Aku tidak boleh seperti mereka....” _ Bersambung....    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD