Kedua mata yang di lapisi kaca mata itu menyipit dengan senyum lebar. Kedua tangannya memegang selembar uang berwarna biru yang baru saja di kasih oleh bu Sulis.
“Makasih ya, buk.” Ucapnya dengan membungkuk.
Buk Sulis tersenyum, bahkan sampai tertawa kecil karna tingkah Selly. “Sama-sama, Sel. Besok bantuin ke sini lagi ya. Kalau bisa, sebelum jam tujuh kamu udah di sini. Ikut siapin bumbu-bumbunya juga.”
Selly ngangguk dengan senyum sumringah. “Aku akan usahakan, buk.”
“Yaudah, pulang. Kasihan, pasti udah nunggu lama bapakmu. Nanti langsung tidur, jangan banyak begadang. Ingat, besok pagi harus bantuin ibuk lagi.”
“Iya, buk. Kalau gitu aku pulang dulu. Makasih ya, buk.” Kembali ia membungkuk sebagai tanda terima kasih.
Selly menyimpan uang itu ke dalam tas. Berjalan menyusuri trotoar untuk kembali ke rumah. Bibirnya tak henti mengulas senyum kala kembali menatap tentengan plastik warna hitam yang ada di tangan kirinya. Isinya cukup sederhana sih. Cuma dua nasi bungkus dengan lauk ati ampela dan tumis kacang. Kebetulan banget, warung makan bu Sulis ada sisa lauk dan sedikit nasi, makanya dia di kasih jatah juga.
Dia berhenti kela melihat toko hape yang ada di sebrang jalan. Di sana, konter yang biasa menjadi tempatnya membeli pulsa. Nomornya udah masuk masa tenggang karna terlalu lama tak di isi pulsa. Berhubung ada uang lebih, kali ini ia berniat untuk berbagi rejeki ke hapenya juga.
Menoleh ke kiri kanan, setelah yakin jika sepi kendaraan, Selly segera menyabrang jalan. Konter hape yang udah sangat lama berdiri, dia pun udah sering beli pulsa di sini.
“Nyari apa, mbak?” tanya si penjaga konter, yang tentu Selly tau siapa dia.
‘Dia kan … kakak kelas. Kenapa sekarang dia yang jaga konter?’ batin Selly.
Tangannya bergerak, membenarkan kaca mata. “Uumm, mau bel—beli pulsa.” Ucapnya sedikit grogi.
Pasha, cowok yang tentu tampan dan udah sering Selly liat di sekolah SMA dulu, tersenyum manis. Kedua mata menyipit menatap wajah malu Selly. “Eh, gue keknya pernah liat lo deh. Tapi di mana ya? Bentar, gue ingat-ingat dulu.”
Selly menggigit bibir bawah, dia menunduk untuk menyembunyikan rasa gugupnya. Tak mau terlalu menanggapi Pasha, dia memilih mengambil buku dan pena, lalu menulis nomor hapenya disana. Tak bicara apa pun, hanya sedikit mendorong buku yang udah ada nomor dia.
“Ini, kak. Lima ribu aja.” Ucapnya, ketika ternyata Pasha tetap diam menatapnya terus.
Pasha malah tersenyum lebar, dan itu membuat Selly tambah malu. Gadis mungil itu memalingkan wajah, membuang nafas panjang dengan begitu pelan.
“Eh, serius deh. Ini gue inget kalo pernah liat lo sebelumnya. Tapi gue lupa, gue ketemu sama elo dimana ya?” ngomongnya lagi.
Selly mengangkat kepala, mencoba menatap Pasha yang ternyata menatapnya terus. Akhirnya kembali menunduk dengan memainkan tali tasnya.
“Lo pernah liat gue nggak?” tanyanya, menunjuk ke wajahnya.
Selly ngangguk samar.
“Nah.” Pasha menjentikkan tangan dengan sumringah. “Lo kenal sama gue?”
Kembali Selly ngangguk, pelan ia melirik Pasha. “Kak—kakak itu … kakak kel—kelasku, dulu.” Jawabnya terbata.
Pasha diam, kembali mengingat. Sampai Selly menyerahkan selembar uang warna biru yang tadi di dapat dari bu Sulis.
“Ak—aku nggak populer, kak. Ja—jadi wajar kalo kakak nggak kenal sama aku.”
Pasha kembali tersenyum, meraih uang dari Selly. “Gue inget. Lo yang pernah nabrak gue karna ngejar angkot pas di halte itu kan?”
Selly merem, mengalihkan wajah. Tangannya bergerak menggaruk leher yang jadi gatal dengan tiba-tiba. ‘Yaampun, malu banget.’ Batinnya.
“Siapa nama lo?” tanya Pasha, yang tentu sengaja belum ngasih uang kembalian.
Selly menelan ludah lebih dulu, kembali ia menatap Pasha yang … iya, dia memang tampan lho. “Sel—Selly, kak.” Jawabnya masih dengan malu.
Pasha mengulurkan tangan, masih dengan senyum manisnya. “Aku Pasha.” Ucapnya, mengajak kenalan.
Selly mengerjab, menatap tangan besar yang terlihat begitu lembut. Tangannya menggenggam erat, lalu mengelapnya lebih dulu ke celana yang ia pakai. Detik kemudian menerima uluran tangan besar itu, hingga tangannya yang kecil berada di genggaman tangan besar Pasha.
“Pasha Elgion Missyel. Kalo nama panjang lo, siapa?”
Kembali Selly menelan ludah untuk yang kebeberapa kali. “Ak—aku … Selly, Selly Puspita.”
**
Selly menaruh plastik hitam itu diatas meja kecil yang ada di samping pintu. “Assalamu’alaikum, pak.” Serunya setelah melepas tas yang sejak tadi melingkar di bahu.
Membuka gorden yang menjadi penutup pintu kamar bapaknya. Namun, pak Rusdi tak ada di dalam sana. Kembali Selly melangkah masuk. “Pak!”
“Iya, bapak di sini, Sel!”
Tersenyum kala panggilannya mendapatkan jawaban. Ia melangkah, membuka pintu belakang rumahnya. Kedua mata melotot ketika melihat ada tumpukan kayu, terlebih bapaknya yang kembali memasukkan kayu kedalam tatanan batu yang menjadi kompor alami disana.
“Bapak lagi apa?”
“Ini, bapak masakin air buat mandi kamu. Nggak baik, Sel. Kalau kamu harus mandi malam terus. Pakai air dingin pula. Kamu nanti bisa sakit.” Menoleh, tersenyum menatap anak gadisnya yang begitu ia sayang.
“Yaampun, pak. Aku nanti bisa masak air sendiri lho. Kasihan tangan bapak, kan belum benar-benar sembuh.”
Pak Rusdi berdiri, melangkah mendekati anaknya. “Tadi pak er-te abis bongkar kandang ayam. Kan mubazir kalau kayu bekas kandangnya Cuma di bakar percuma. Makanya tadi bapak kesana ambil kayu.”
Dengan sangat khawatir Selly memeriksa tangan kanan pak Rusdi. “Yakin, tangan bapak nggak apa-apa?”
Tersenyum, sampai tertawa kecil, ia mengelus kepala Selly dengan sayangnya. “Bapak baik-baik aja, Sel. Tadi bapak bawanya sedikit-sedikit, nggak langsung banyak. Bapak jenuh kalau hanya diam terus di dalam rumah.”
Selly berhambur, memeluk bapaknya. “Pokoknya aku nggak mau kalau sampai bapak sakit. Bapak harus sehat ya. Nggak boleh kecapekan.”
Kembali pak Rusdi tertawa kecil. Di khawatirkan oleh anaknya, di sayangi sampai seperti ini, orang tua mana yang nggak bahagia? Ia mencium puncak kepala Selly. “Airnya udah panas. Kamu mandi gih. Bauk banget keringatnya.” Ledek pak Rusdi.
Selly tersenyum, mendongak untuk bisa menatap wajah bapak yang rambutnya sudah mulai sedikit memutih. “Aku tadi di kasih nasi bungkus sama buk Sulis, pak. Bapak makan aja dulu. Bentar, aku ambilin.”
Segera ia bergegas menuju ruang depan. Mengambil plastik berwarna hitam tadi, membawanya ke dapur. menaruh isi makanan itu kedalam piring, lalu menyajikan di depan bapaknya yang udah duduk di karpet lantai.
“Aku buatin teh anget ya,” tawarnya.
“Eh, nggak usah, Sel. Bapak mau banyakin minum air putih aja. Kata dokter, bagusan juga air putih. Nggak bagus kebanyakan minum teh.” Tolaknya, mendongak, menatap Selly yang masih berdiri di dekatnya.
Selly ngangguk. “Oh, iya. Aku ambilin air putih.”
Dia kembali masuk ke dalam. Mengambil gelas, lalu menuangkan air putih ke gelas beling. Ia membuang nafas kasar ketika tau jika toples di samping teremos telah kosong. ‘Pantesan bapak nggak mau minum teh, ternyata gulanya udah habis.’ Keluhnya dalam hati.
Usai mandi dan makan, ia langsung masuk ke kamar. Mengistirahatkan tubuh yang benar-benar sangat lelah. Tatapannya menerawang, menatap atap rumahnya yang terbuat dari seng. Nggak mewah memang, tapi bisa tetap berlindung dari panas dan hujan, itu sudah sangat bersyukur banget.
Klunting!
Bunyi notofikasi sms dari ponselnya telah membuyarkan lamunan. Cepat Selly bangun, meraih tasnya, lalu mengambil ponsel jelek itu. Satu pesan di terima, dan itu dari Awan.
[udik]
“Yaampun, si Awan ngapain kirim pesan kek gini?” gumamnya.
Klunting!
Kembali pesan masuk, dan itu dari Awan lagi.
[lo nggak mau bilang makasih ke gue?]
“Astaga … huhh!” Selly membanting ponsel ke kakinya sendiri, tentu pelan-pelan. “Beneran orang nggak mutu!”
[iya tadi lupa. Makasih ya Awan, udah mau repot banget nganter aku. Padahal aku juga nggak minta kamu antar. Besok lagi, nggak usah antar!]
“Nawarin diri, tapi nggak ikhlas! Orang ganteng tapi ngeselinnya parah banget!” ngomel sendiri setelah mengetik pesan balasan.
Klunting!
[cckk, pasti belum punya pulsa.]
“Yaampun, aku udah ada pulsa ya, Wan! Dasar orang aneh!” kesal Selly.
Tangannya kembali ke pesan yang udah ia tulis tadi, masuk ke daft penyimpanan. Lalu sibuk mengirim pesan itu ke nomor Awan.
Klunting!
[Kartu anda dalam masa tenggang. Segera lakukan pengisian ulang]
Pesan yang di kirim dari operator membuat kedua mata Selly membulat. “Aku kan abis beli pulsa.”
Tangannya menekan beberapa tombol di hape. Ia mendengus kasar ketika disana tertulis jumlah pulsa yang belum nambah. Itu artinya, pulsa yang tadi ia beli belum sampai, atau malah belum di kirim.
Dengan bibir mengerucut, ia membuka selimut yang tadi udah sempat menutupi kaki. Kembali memakai kaca matanya, lalu meraih jaket yang ada di atas meja.
**
Selly telah berada di depan konter lagi. Mengambil kursi dan duduk, menanti untuk di layani. Tatapannya meneliti, mencari kebaradaan Pasha, dan sepertinya cowok itu sudah tak ada di konter lagi.
“Eh, Sel, mau beli pulsa?” tanya Kleve yang udah biasa sama Selly.
“Uumm, tadi aku udah beli pulsa, kak. Tadi beli sama … sama kak Pasha. Tapi pulsanya belum sampai.” Jelas Selly.
Kleve tertawa kecil, menatap pintu belakangnya yang sedikit terbuka. “Sha! Nih, cewek yang tadi. Nyariin elo!”
Kedua mata Selly melotot, terkejut tentunya. Merasa ada yang aneh di sini.