Awan meletakkan selembar kertas formulir pendaftaran masuk ke universitas UP yang akan menjadi tujuannya menuntut ilmu. Menutup pena, lalu menyimpannya kedalam tas selempang yang selalu ia bawa ke sekolah. Beranjak dari duduknya, menjatuhkan tubuh ke kasur dengan tengkurap. Lalu menggelinding, mengubah posisi tidur menjadi terlentang. Diam ketap-ketip ngebayangin suasana bangku kuliah yang sepertinya akan sangat membosankan. Bolos kuliah, pasti nggak akan se-seru seperti bolos saat masih duduk di sekolah SMA dulu.
“Cckk, Yuda kuliah di PN, Mico ambil di hukum. Pangeran ambil di manajemen, Yuna … heemm … pasti juga ambil di jurusan yang sama. Dia kan cemburuannya dah kelewat batas.” Terkekeh sendiri mengingat seperti apa kedua temannya yang telah resmi menyandang status suami istri itu.
“Nggak asik banget nggak ada temennya.” Sedikit manyun, menit kemudian ia tertawa sendiri saat ingatan tentang kejahilannya di sekolah dulu. Ah, rasanya sangat malas beranjak dewasa.
Awan meraih ponsel, mengusap layar tipis itu. Tangannya masuk ke menu kontak, nomor pertama yang muncul disana, di urutan paling atas adalah nomor milik Selly. Bukan tanpa alasan, ini dia lakukan saat dia masih sakit dulu. Hanya ingin mempermudah saat dia membutuhkan bantuan Selly.
“Asik kan, kalo satu kelas sama si udik. Ada yang di kerjain lagi.” Gumamnya dalam kesendirian.
[lo jadi masuk ke IT, kan?]
Keningnya berlipat membaca pesan yang udah ia tulis. “Masa’ gue sms dia duluan sih? Atas dasar apa coba? Kesepian? Kangen? Butuh? Cckkk, nggak ah!”
Kembali jarinya menghapus yang sudah ia tulis itu. Pindah posisi jadi tengkurap lagi, mengacak rambut yang memang udah jadi acak-acakkan sejak tadi.
[jadi di IT]
Tangannya kembali bingung, mau ngirim sms apa? Padahal udah hitungan bulan, mereka berdua nggak pernah komunikasi lewat ponsel. Masa’ iya, tetiba Awan sms kek gitu. Malu ah!
Klunting!
Di tengah kebingungannya, dengan sangat tiba-tiba ponselnya berbunyi disertai getaran. Tertera nama Mico si pengirim pesa wa. Pesan yang muncul di notifikasi atas layar. Tanpa sengaja, ia menekan tombol kirim, lalu keluar dari menu pesan. Masuk ke aplikasi hijau untuk membalas chat dari Mico. Kedua mata melotot saat melihat ada notifikasi jika pesannya sudah terkirim. Dengan cepat tangannya keluar dari aplikasi hijau itu, kembali masuk ke menu pesan.
“Anjiir! Sms gue ke kirim!” dia bangun, duduk dengan wajah panas. Malu, gengsi dan … harga dirinya jatooh!
[sorry, salah kirim] send tanda koma (,). Jadi di kontak Awan tuh nomor Selly dikasih nama (tanda koma).
Kedua mata itu masih diam menatap layar di tangan. Serius deh, dia malu banget karna ngirim sms ini lebih dulu. Semenit, dua menit, lima menit …. Tujuh menit. Si hape masih diam, nggak ada pesan balasan.
“Astaga, ini si udik sombong bener. Nggak bales sms gue! Sok cantik!” akhirnya ngomel karna pesannya nggak ada balasan.
**
Pagi menyapa.
Memperbaiki tampilan rambutnya yang kini sudah agak panjang. Aturan di kampus nggak se-ketat SMA. Rambut panjang nggak ada larangan, terlebih dia yang masuk ke fakultas IT. Tersenyum sendiri saat melihat tampilannya di depan cermin.
“Cckk, ganteng gini, di tolak sama Yuna. Ini si taii masih ngegelinding nyari tempat labuhannya. Menyusuri sungai nil dari Ethiopia sampai ke Mesir. Bahkan jika si nil di perpanjang sampai ke Eropa, gue akan tetap jadi taii yang ngegelinding dengan santuy. Behahha … astaga … mit amit jadi taii. Jadi orang ganteng aja belom laku, masa’ gue jadi taii. Ogah!” ngomel, ngedumel, curhat sama bayangannya di cermin.
Menyambar tas selempang yang udah ia siapkan sejak semalam, tak lupa memasukkan ponselnya. Meraih kunci motor yang ia taruh di atas meja, lalu melangkah keluar dari kamar. Menuruni tangga dengan bersenandung lirih, kedua tangannya ada didalam saku celana.
“Bik, punya karet?” tanyanya pada pembantu yang memang bekerja di rumahnya.
Bik Atik menoleh, menatap Awan dengan kening berlipat. “Karet gelang?” tanyanya, ingin lebih jelas.
“Yuhuuii, buat kuncir rambut.” Menarik kursi di meja makan, lalu mengambil segelas teh hangat yang udah di siapkan sama bik Atik untuknya.
Ah, iya, Awan memang sejak kecil nggak suka minum s**u. Udah gede juga kan sekarang, masa’ masih minum s**u? Malu lah sama si upin. Behahah ….
Setelah sarapan, ia segera melangkah keluar dari rumah besarnya. Pamitan? Duuh, dia udah biasa hidup sendirian sedari dulu. Lalu … mau pamit sama siapa? Bik Atik? Pak Sardi? Cckk!
Menit berlalu, dia telah sampai didepan kampusnya. Tepatnya di gedung yang kini di penuhi oleh banyak calon mahasiswa. Usai memasukkan formulir yang udah ia isi, ia kembali duduk di jok motor. Menatap beberapa anak yang masih berlalu lalang masuk kedalam ruang pendaftaran. Satu orang yang udah sangat jelas ia tunggu kedatangannya, tapi … sampai hitungan jam, orang yang ia tunggu tak juga kelihatan.
Kembali Awan menatap jam yang melingkar di lengan kirinya. Memang sudah satu jam lebih ia ada diatas motor, tapi si Selly tak juga kelihatan. Sampai keadaan kampus telah sepi.
‘Apa mungkin dia udah masukin formulirnya dari kapan hari ya?’ tanyanya dalam hati, yang tentu nggak akan dapat jawaban.
Menarik tas yang melingkar di tubuh, membuka resretingnya, lalu mengambil ponsel. Menatap layar yang sepi, tak ada pesan atau chat wa yang masuk. Tak ingin terlalu memikirkan Selly, ia memilih memasukkan ponsel ke dalam tas lagi, lalu mulai menyalakan mesin motor dan pergi meninggalkan kampus.
**
Di tempat yang berbeda, Selly sibuk memasukkan beberapa barang milik Langit. Memang tak banyak, tapi dia bisa kena omel kalau sampai ada secuil barang yang tertinggal. Dengan di bantu oleh satpam yang berjaga, Selly mendorong kursi roda, lalu masuk kedalam lift. Tanpa obrolan apa pun, hanya hening, kadang terdengar suara dari ponsel Langit, terlihat jika dia tengah menghubungi seseorang, tapi diabaikan, karna tak sekali pun mendapatkan respon. Sampai akhirnya dia berdecak kesal beberapa kali.
“Uumm, kit—kita nanti naik taxi at—”
“Nanti sopir saya akan jemput.” Ucapnya, memotong pertanyaan Selly.
Selly hanya ngangguk dengan patuh. Lalu kembali mendorong kursi saat pintu lift telah terbuka. Kembali hening, Langit pun memilih menggenggam ponsel, tak lagi sibuk memainkannya.
“Kita tunggu disini saja.” Perintahnya saat mereka sudah sampai dilobby rumah sakit.
Tak menjawab, tapi ia berhenti mendorong kursinya. Diam berdiri dibelakang Langit dengan pandangan menerawang jauh. Ah, andai dia tau, betapa saat ini perasaannya tengah hancur berkeping. Dia benar-benar dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
Menit berlalu, sebuah mobil berwarna silver memasuki halaman rumah sakit. Berhenti tepat didepan lobby. Pak Sardi yang telah lama bekerja di rumah Langit keluar. Tersenyum sopan dengan bunggukan kecil.
“Maaf, pak, harus menunggu. Tadi saya mampir ke pom dulu.” Ucapnya, meminta kursinya, menggantikan Selly.
Selly diam untuk sesaat, merasa pernah bertemu, pernah berinteraksi beberapa kali dengan pak Sardi, tapi dia lupa dimana tempatnya. Memilih mengikuti langkah kedua lelaki itu, setelah pak Langit duduk dengan nyaman di kursi penumpang, ia pun masuk di kursi depan, samping kursi kemudi.
Tak banyak bertanya, bahkan Selly benar-benar tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hingga menit berlalu, mobil yang di kendarai pak sardi telah sampai di halaman rumah mewah berlantai dua. Rumah yang dulu kerap Selly datangi setiap hari. Dia juga pernah lebih dari sekali bermalam di rumah besar ini.
Seketika itu, ia mengepa erat. Diam tak berkedip menatap rumah besar yang menjadi tempat tinggal Awan. Jantung langsung berdebar tak karuan setelah menyadari sesuatu.
“Neng Selly. Ayo turun. Atau mau didalam mobil saja?” sapaan Pak Sardi dari luar telah membangunkannya dari keterkejutan.
Tak menjawab, ia tersenyum canggung, lalu turun dengan hati-hati. Membantu pak Sardi mendudukkan Langit di kursi. Dengan pelan ia mendorong kursi itu, sementara Langit mengambil tas berisi baju kotor yang masih tertinggal di mobil.
Selly mendorong kursi menuju teras, sempat melirik garasi yag ada disamping rumah. Di sana tak terlihat ninja putih yang biasa Awan pakai. Itu artinya, cowok jutek itu sedang tak ada di rumah.
“Lho, neng Selly,” seru Bik Atik saat membukakan pintu depan.
Langit menatap kedua wanita yang saling tatap dengan tersenyum kalem. Terlihat jika mereka ini sudah saling mengenal.
“Saya udah siapkan kamar tuan, jadi bisa langsung dipakai untuk istirahat.” Bik Atik menerima tas yang di ulurkan oleh pak Sardi.
“Saya kangen lihat halaman belakang. Bawa saya ke halaman belakang rumah dulu.” Tolak pak Langit.
“Oh, iya. Uumm, mau teh hangat, pak? Atau … minuman yang lainnya?” bik Atik menawarkan.
Hanya menggelengkan kepala. “Awan dimana?”
Mendengar nama itu di sebut, Selly menelan ludah yang terasa mampet di tenggorokan.
“Mas Awan pergi sejak pagi tadi, tuan.”
Menyentak nafas kasar melalui hidung. Ada yang nyeri saat anak sendiri begitu tak mempedulikannya. Bahkan selama dia ada di rumah sakit, tak sekali pun ia melihat Awan datang menjenguknya. “Yasudah, bawa saya ke halaman belakang.”
“I—iya, pak.” Jawab Selly sedikit gagu.
“Sini, tas kamu biar bibi bawa ke dapur aja.” Bik Atik meminta tas selempang selly yang masih nyampir di bahu.
Tersenyum kecil, lalu melepaskan tasnya dan memberikannya ke bik Atik. Setelahnya, dia segera membawa Langit ke belakang rumah. Berhenti tepat disamping meja kecil yang memang tersedia disamping gazebo. Bunga angrek yang terawat itu terlihat begitu indah. Kolam kecil yang saat ia tinggal dulu tak ada penghuninya, kini sudah disulap dengan hadirnya beberapa macam ikan yang lari-larian didalam air. Lalu di samping rumah, yang bisa di lihat dari taman belakang, ada lapangan basket kecil. Ia masih ingat, tiga tahun lalu, pak Sardi meminta ijin padanya untuk membuat lapangan basket itu. Tentu atas permintaan Awan.
Astaga … ayah macam apa sih dia ini? Satu tahun. Ya, sudah selama itu dia tak melihat wajah anaknya secara langsung. Awan selalu menolak saat dia melakukan panggilan vidio call. Dan selama setahun itu, baru kali ini dia pulang, itu juga belum sekali pun bertemu dengan Awan.
“Kamu istirahat sana. Saya mau di sini sendiri.” Usirnya.
Patuh, Selly membungkukkan sedikit badannya, lalu melangkah masuk kedalam rumah. Melangkah dengan santai, sesekali ia merentangkan tangan yang terasa pegal, lalu menggerakkan kepala kekiri kanan untuk sedikit menghilangkan capek.
“Sel, ini kubuatkan the hangat.” Bik Atik memanggilnya dari arah darpur.
Gadis mungil itu tersenyum, melangkah masuk ke dapur. Lalu duduk di kursi panjang yang ada disana. “Yaampun, angetnya kerasa sampai ke perut.”
Bik Atik terkekeh melihat tingkah Selly yang menurutnya lucu. “Kamu kok bisa kesini sama tuan Langit?”
Selly manyun, membuang nafas kasar, kembali ia meneguk minuman yang masih ia genggam. “Jadi … aku harus rawat pak Langit sampai sembuh, bi.”
Keduanya saling bercerita, Selly pun ikut membantu pekerjaan bik Atik selama Langit masih belum membutuhkan bantuannya. Terhitung setengah hari, Selly ijin pulang, karna dia masih harus mengambil uang titipan penjualan pisang dan mengurus rumah.
Pamit ke bik Atik dan pak Sardi, lalu melangkah keluar dari halaman rumah Awan yang memang luas. Ia melangkah pelan menyusuri jalanan aspal searah. Dia nggak punya hape yang bisa pesan ojol. Ah, buat makan aja susah, masa’ iya malah mau naik ojol, yang tentu bayarnya nggak Cuma dua ribu. Uangnya Cuma bisa dia gunakan untuk naik bajaj atau angkot saja. Itu juga harus jalan sedikit jauh dari rumah Awan ini.
Dari arah belakang, Awan melambatkan laju, membuka kaca helm, menajamkan penglihatannya. Menyungging saat tau jika gadis yang berjalan di trotoar itu adalah Selly.
Tin!
Membunyikan klakson tepat dibelakang Selly. Tak menoleh, gadis itu menggeser langkah, hingga dia benar-benar jalan di pinggiran.
Tin!
Selly membenarkan kaca mata lebih dulu, lalu menoleh. Kedua mata sedikit melotot saat tau jika yang tengah iseng itu adalah Awan.
“Lo dari mana?” tanyanya, terdengar jutek banget.
“Uumm, bel—belakang.” Jawaban cepat Selly.
Kedua alis Awan bertaut, menoleh, menatap arah belakangnya. “Cckk, nggak jelas banget.” Gumamnya lirih. “Yaudah, gue mau ke depan.” Kembali ia menutup kaca helm.
“Uumm, Wan!” seru Selly, dan itu membuat Awan urung menjalankan motor. Selly menggigit bibir bawah, mengerjab beberapa kali ketika tatapan mereka saling bertemu. “Maaf, aku nggak ada pul—pulsa.”
“Nggak nanya.” Sahut Awan.
Mendengar tanggapan cuek begitu, Selly menelan ludah, mengeratkan cengkraman di tali tasnya. “Aku … aku nggak jadi … nggak masuk IT.”
“Oh,”
Selly menggigit bibir lagi, dia udah mati-matian ngumpulin kekuatan buat ngomong lho ya. “Kamu … kamu … jadi ambil di IT?”
“Kepo!” jawabnya cuek, tapi dia tak juga menjalankan motor, malah sekarang dia memutar kunci, membuat mesin motornya mati.
Menit berlalu, keduanya saling diam. Bingung juga selly mau ngajakin ngomong apa. Awan keliatan nggak mau diajakin ngomong sih.
“Uumm, yaudah. Aku … aku harus pulang.” Mengingat masih banyak yang harus dia lakukan, dia memilih menyudahi mematung di pinggir jalan.
“Hhmm,”
Singkat kan, dan keliatan males ngomong. Tapi dia natap kearah Selly terus. Gimana si Selly nggak grogi coba?
Selly sedikit tersenyum, membungkukkan badan, lalu melangkah pelan meninggalakan Awan.