05 - Penerus

1974 Words
           Syville langsung menyipitkan kedua matanya karena sinar matahari yang terasa menusuk pada bola matanya. Entah sejak kapan ia melamun menatap langit. Hari ini sangat terik, tidak ada sedikit pun awan yang menutupi birunya langit. Sinar matahari rasanya menusuk kulitnya dengan tajam.            Seketika, badannya terasa sangat kelelahan. Keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Tidak hanya itu, napasnya juga mulai tersengal. Akhirnya ia sadar, kalau saat ini ia sedang berada dalam posisi berbaring di atas tanah.            Seorang lelaki dengan potongan rambut pendek dengan warna rambut yang hampir sama dengannya tiba-tiba muncul dalam penglihatannya. Dengan senyuman yang tidak kalah cerah dari sinar matahari saat itu, ia berkata, “Sudah menyerah?”            Kepala Syville entah kenapa langsung berdenyut menyakitkan. Rasanya ada sesuatu yang sangat penting yang ia tinggalkan … tapi seberapa keras pun ia mencoba untuk mengetahui hal itu, ia tidak bisa mengingatnya. Ia menghembuskan napasnya beberapa kali, kemudian berkata, “Aku hanya sedikit kehilangan keseimbangan tadi. Ayo kita mulai lagi dari awal, kakak.”            Seseorang yang Syville panggil kakak terkekeh pelan, sambil membantu Syville berdiri, ia berkata, “Baiklah. Lagi pula waktu latihan kita belum selesai.”            Mendengar hal itu, sisa kekuatan yang ada di tubuh Syville rasanya menghilang seketika. Yang paling mengetahui tubuhnya sendiri adalah dirinya sendiri, dan ia tahu bahwa ia tidak cocok melakukan hal ini. Tetapi karena ‘tugasnya’ sebagai salah satu anggota dari keluarga Lyttleton, ia harus melakukannya meski pun ia menolak hal itu dengan keras.            Sambil mengerang pelan, Syville menerima uluran tangan kakaknya dan memaksa tubuhnya untuk berdiri. “Ah, aku tidak ingin melakukan hal ini lagi …”            “Nona Syville, Tuan Vayre, apa anda butuh istirahat sebentar?” Seorang wanita paruh baya mendekat ke arah mereka berdua sambil membawa dua buah handuk kecil. Di tangannya yang lain ada sebuah nampan dengan dua buah gelas berisi minuman yang sangat terlihat segar.            “Nanny! Kau penyelamatkuu!” sahut Syville senang sambil berlari menuju Nanny, pengasuhnya sejak ia masih kecil. Dengan mata yang bersinar, ia mengambil dua buah gelas yang ada di atas nampan itu. “Ini, kakak.”            Vayre mendesah pelan sambil menggelengkan kepalanya. Meski begitu, Syville bisa melihat bahwa ujung bibirnya sedikit terangkat. “Setidaknya, pakai handuk ini terlebih dahulu untuk membersihkan keringatmu itu.”            Tentu saja, Syville tidak mendengar perkataan Vayre, dan dengan senang hati meminum cairan dingin dengan rasa melon dari dalam gelas yang baru saja ia terima dari Nanny. Di sebelahnya, Nanny terkekeh pelan sambil mengusap wajah Syville dengan handuk kecil untuk membersihkan keringatnya.            “Nanny, kau terlalu memanjakan Syville. Lihat bagaimana sifatnya saat ini!” protes Vayre.            “Tuan Vayre, biarkan aku membersihkan keringatmu juga,” balas Nanny.            “Tunggu, aku protes bukan karena aku ingin kau memerhatikanku juga, Nanny …”            “Ah~ jadi kau iri, ya? Kau juga ingin dimanja oleh Nanny? Hm?” goda Syville.            Vayre mengerutkan dagunya dalam, kemudian berkata, “Latihan selanjutnya ayo saling tukar serangan sebanyak seratus kali.”            “Hii! Aku hanya bercanda! Kakak, kenapa kau sangat marah?” protes Syville. “Lagi pula, kemampuan bertarungmu lebih hebat dari padaku! Kau pikir aku bisa menyerangmu sebanyak seratus kali?”            “Ayolah, jangan merendah seperti itu. Meski kau baru berumur empat belas tahun … tapi kemampuan bertarungmu itu sungguh luar biasa,” kata Vayre.            “Justru karena aku baru berumur empat belas tahun, seharusnya kau tidak terlalu menyiksaku, bukan?” timpal Syville mencoba untuk membuat alasan yang lain.            Vayre terkekeh pelan. “Jika kau ingin protes, bicaralah pada ayah.”            “Uh, aku lebih baik berlatih denganmu, kakak. Padahal kau tahu aku tidak ingin menjadi seorang petarung …”            Senyum di wajah Vayre langsung menghilang. Dengan suara yang terdengar sedikit sedih, ia berkata, “Tentu aku tahu. Seorang wanita berada di dalam medan perang sudah cukup aneh menurutku. Apalagi seseorang yang seusiamu …”            Nanny yang ada di samping mereka juga terlihat sedih. Dengan suara yang sedikit pelan, ia berkata, “Aku hanya bisa berharap bahwa Nona Syville hanya perlu latihan sebagai keturunan Lyttleton. Bukan karena latihan untuk ikut menuju medan perang …”            Kening Syville sedikit berkerut. Dengan senyuman yang dipaksakan, ia berkata, “Tenang saja, Nanny. Aku yakin kerajaan ini tidak akan berperang dengan kerajaan lain dalam waktu yang dekat.”            “Kuharap juga begitu,” gumam Vayre pelan. Bahkan Syville dan Nanny yang berada di dekatnya tidak mendengar perkataan itu.            Awalnya Syville ingin protes lagi. Tetapi, ia langsung menutup mulutnya dengan rapat ketika melihat sosok seseorang yang sangat ia kenal dari sudut matanya. Dengan sedikit kaku, perlahan-lahan Syville menengokkan wajahnya.            Jauh di ujung lapangan tempatnya berlatih, seseorang bertubuh tegak dengan wajah yang tidak memiliki sedikit pun senyuman sedang berdiri memerhatikan mereka bertiga. Matanya yang berwarna biru sedikit perak menatap mereka dengan tajam. Rambutnya yang sedikit berubah warna akibat faktor umur tidak melunturkan karismanya sebagai pemimpin sedikit pun.            Ayahnya, Watson d’ Lyttleton merupakan pemimpin dari kepala keluarga Lyttleton, dan seseorang yang mengurus semua wilayah milik keluarga Lyttleton.            Merasa wajah Syville sedikit berubah, Vayre menengokkan wajahnya melihat ke arah yang sama dengan Syville. Sadar ayahnya sedang memerhatikan mereka, Vayre bergeser sedikit, lalu membungkuk hormat padanya.            Syville yang melihat Vayre membungkuk hormat, ikut melakukannya. Tentu saja, Nanny lebih cepat dibandingkan dengan Syville dalam melakukan hal itu. Dengan suara yang sangat pelan, ia berbisik pada Syville untuk diizinkan pergi ke kamarnya terlebih dahulu. Syville menganggukkan kepalanya untuk mengizinkan Nanny.            Karena pekerjaannya yang sangat sibuk untuk mengurus seluruh wilayah yang dimiliki oleh keluarga Lyttleton, ayahnya selalu berpergian untuk melakukan pengawasan secara langsung dan melakukan pekerjaannya. Setiap kali ia pulang, Syville dan Vayre harus ikut makan malam bersamanya.            Seperti biasa, hari ini pun pasti Syville harus ikut makan malam bersama ayahnya … satu hal lain yang tidak membuat dirinya begitu senang.            Di sampingnya, Vayre tersenyum pada Syville. Ia menganggukkan kepala mengajaknya berjalan mendekati ayahnya. Tentu saja, tanpa senang hati Syville menerima uluran tangan dari Vayre.            Sang Ayah masih berdiri tegak dengan tangannya yang dilipat di d**a. Semakin dekat, tatapannya terlihat semakin mengerikan. Setelah Syville dan Vayre mendekat, ia berkata, “Kulihat kau masih harus berlatih dengan keras, Syville.”            Syville menggigit bagian dalam pipinya. Sejak kapan ia memerhatikan mereka? Apa sejak ia terjatuh di atas tanah? Sungguh bukan waktu yang tepat untuk ayahnya melihat hasil latihannya. Meski begitu, ia tetap mengangguk kaku mendengar perkataan ayahnya, kemudian berkata, “Aku akan terus berlatih, Ayah. Selain itu, keahlian Vayre dalam bertarung—“            “Terus latih Syville, Vayre,” kata Sang ayah sambil mengalihkan pandangannya pada Vayre. “Temui aku saat makan malam, aku akan membicarakan suatu hal yang cukup penting,” lanjutnya. Tanpa membicarakan hal yang lain sedikit pun, ia membalikkan tubuhnya dan meninggalkan Syville dan Vayre.            Vayre langsung menghela napas lega setelah ayahnya pergi menjauh. Sedangkan Syville langsung mengerutkan bibirnya. “Kenapa dia begitu jahat padamu, sih?”            Vayre hanya bisa tertawa mendengarnya. “Jika ayah jahat padaku, mungkin sudah sejak lama ia mengusirku dari rumah ini.” Sebelum Syville kembali protes, dengan cepat Vayre langsung berkata, “Sebaiknya kita bersiap-siap. Sampai bertemu saat makan malam,” katanya sambil mengelus pelan kepala Syville, lalu ia memutar tubuhnya dan mulai pergi menjauh.            Syville kembali mengerutkan bibirnya, dengan desahan napas panjang, ia berjalan menuju kamarnya.            .            .            Syville berusaha menegakkan tubuhnya ketika ia sedang berjalan menuju ruang makan... lalu menyerah setelah bertahan selama beberapa menit. Memang, ia tidak pernah menyukai ajakan makan malam dari ayahnya. Tetapi bukan karena ia membenci ayahnya, melainkan karena pakaian formal yang harus ia gunakan ketika makan malam bersama ayahnya. Gaun yang sangat panjang dengan aksesori yang menurutnya begitu banyak dan berat. Padahal, ia tidak sedang mengikuti makan malam formal dengan keluarga kerajaan …            Ketika ia memasuki ruang makan, ayah dan kakaknya sudah duduk di tempatnya masing-masing. Syville berjalan menuju kursinya yang berada di sisi kanan ayahnya. Meja makannya terlalu besar dan panjang, kira-kira bisa diduduki oleh dua puluh orang. Sangat disayangkan karena yang menggunakannya hanya tiga orang.            Seorang pelayan membantu Syville untuk menarik kursinya, dan ketika bebberapa saat Syville baru duduk di tempatnya, pelayan rumahnya yang lain langsung menghidangkan makanan pembuka di depannya. Ia makan dalam diam. Takut dengan tatapan tajam ayahnya jika ia memulai pembicaraan pertama kali saat makan malam.            Satu lagi aturan yang harus dipatuhi oleh anggota dari keluarga Lyttleton.            Tiba-tiba saja ia teringat saat dirinya masih berumur sembilan tahun. Saat itu ia mulai menangis ketika mengingat kematian ibunya yang belum lama terjadi. Ayahnya entah kenapa saat itu langsung memukul dirinya. Untung saja ada Vayre dan beberapa pelayan lainnya yang menghentikan perbuatan ayahnya. Sejak saat itu, Syville tidak pernah berani untuk melakukan suatu hal yang kemungkinan besar bisa membuat ayahnya marah. Sejak saat itu pula, sikap ayahnya berubah menjadi sangat dingin padanya … apalagi pada Vayre.            Dehaman pelan dari ayahnya membuat Syville kembali dari lamunannya. Ia langsung menatap kepada sang ayah, menunggunya mengatakan sesuatu.            Setelah meminta semua pelayan yang ada di ruangan itu untuk meninggalkan mereka bertiga, akhirnya ayahnya berkata, “Aku sudah memikirkan hal ini berkali-kali, dan mungkin ini saat yang tepat untuk menjadikanmu sebagai penerus kepala keluarga, Syville.”            Syville mengerutkan keningnya ketika mendengar pernyataan ayahnya. Ia harus melayangkan pandangannya pada Vayre, dan juga pelayan lain untuk meyakinkan diri bahwa apa yang didengarnya tidak salah. “Tunggu ... kenapa aku? Kenapa tidak kakak saja—“            “Vayre bukan kakak kandungmu,” potong ayahnya cepat. “Ibumu membawanya ke rumah ini saat kau belum lahir. Dia menemukannya di pinggir sungai. Awalnya aku menolak untuk mengurusnya. Tapi ibumu tetap memaksa, dan beginilah akhirnya.”            Syville kembali menatap Vayre dengan bingung. Baru kali ini ia mengetahui kebenarannya. Bingung dengan kenyataan bahwa Vayre ternyata … bukan kakak kandungnya. Vayre hanya membalasnya dengan senyuman. Sepertinya ia sudah tahu.            “Aku tidak bisa membuat seseorang yang tidak memiliki ikatan darah denganku menjadi kepala keluarga. Itu berarti, kau yang akan menjadi kepala keluarga selanjutnya,” lanjut ayahnya.            “Meski begitu ... aku  belum berumur enam belas tahun!” kata Syville yang tidak sengaja meninggikan suaranya.            Ayahnya menatap Syville dengan tajam. “Lalu, kenapa? Apa itu alasanmu untuk menghindarinya? Cepat atau lambat, kau akan menjadi kepala keluarga untuk menggantikanku.”            Syville menggigit bagian bawah bibirnya. “Tapi aku belum … siap! Kemampuan bertarungku pun belum semahir kakak. Untuk memimpin pasukan aku tidak—”            “Karena itu, teruslah berlatih!” kata ayahnya sambil memukul meja dengan keras. Ia mendesah keras sambil memijat keningnya pelan. “Nafsu makanku hilang karena hal ini. Keputusanku sudah bulat dan aku tidak akan mengubahnya.” Ia berdiri dari duduknya, lalu menghilang di balik pintu keluar ruang makan.            Mata Syville mulai terasa panas. Ia meletakkan peralatan makannya di samping piringnya. Vayre yang duduk di depannya berdiri, lalu berjalan mendekati Syville.            “Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi, aku akan mendukung dan melindungimu dari apa pun,” katanya sambil mengelus pelan kepala Syville.            “Apa ini? Kenapa ayah tiba-tiba melakukan hal itu? Berbeda sekali dengan ia yang biasanya …” gumam Syville masih kebingungan dengan semuanya.            “Mungkin … ia mendapatkan informasi yang membuatnya memilih untuk melakukan ini, Syville. Percayalah, ayah melakukan hal ini untuk kebaikanmu.”            “Kebaikanku?” tanya Syville sambil tersenyum miris. “Kebaikanku, atau untuk kebaikan keluarga Lyttleton? Bukan … atau untuk kebaikan kerajaan ini? Keluarga kerajaan?”            “Syville …”            “Tentu aku percaya diri bisa mengurus kepentingan ekonomi dan semacamnya untuk wilayah kita, Vayre. Aku sudah membantu ayah dari dulu. Tapi … sebagai kepala keluarga, jika ada perang … bukankah aku harus ikut dalam perang itu? Bukankah aku harus memimpin pasukan?”            Vayre mengerutkan keningnya ketika mendengar perkataan itu, kemudian dengan suara yang pelan, ia berkata, “Syville … apa yang kau pikirkan? Bukankah kau yang mengatakannya sendiri kalau perang tidak akan terjadi dalam waktu yang dekat?”            “Tapi hal itu mungkin saja terjadi!”            Vayre mendesah panjang, berusaha menenangkan Syville dengan mengusap pelan kepalanya. “Syville. Sebagai kakakmu, aku akan berada di pasukan utama keluarga. Jika memang perang akan terjadi … aku tidak akan membiarkanmu terluka sedikit pun.”            “Tapi …”            “Syville. Meski aku bukan kakak kandungmu, tetapi aku sudah mengetahuimu sejak kau baru lahir. Sampai saat ini … aku sudah melihat kau tumbuh menjadi seseorang yang sangat luar biasa. Percayalah pada kemampuanmu sendiri, Syville.” Vayre mendesah panjang, kemudian menambahkan, “Entah itu dalam urusan ekonomi, politik, mau pun taktik perang … aku tahu kau bisa dengan mudah menyelesaikan semua masalah.”            Meski kakaknya sendiri mengatakan hal itu, perasaan tidak nyaman di d**a Syville tidak kunjung hilang. Meski pun ia tidak terlalu ikut campur dalam urusan politik dan peperangan … entah kenapa rasanya ia tahu, bahwa perang akan segera tiba. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD