Malam yang tetap berjalan itu membuat Pratiwi semakin ketakutan. Apalagi, perkataan Dewi mengenai sesuatu yang ada di sana. Rasa penasaran yang sama besarnya dengan rasa takut pun mendorong kedua perempuan itu untuk mendekat ke arah dinding itu. Mereka melihat sekitar, Bram dan Nalendra masih duduk di teras rumah. Setidaknya, itu yang Dewi dan Pratiwi yakini.
Dewi melangkah satu langkah ke arah dinding. Matanya dibuat sipit sembari didekatkan ke dinding yang lubang itu. Tidak terlihat apa-apa, hanya gelap gulita dari arah langit. Tidak ada bintang atau bulan yang terlihat di matanya. Dewi menganggap bahwa semuanya baik-baik saja, tidak ada hal buruk yang akan menimpa. Mereka membalikkan badan untuk kembali istirahat, baru satu langkah menuju ruangan yang digunakan tidur, terlintas ada bayangan putih yang membelakangi mereka. Hal itu terlihat jelas oleh Dewi.
“Tiwi, barusan .... “
“Gue juga ngerasain, ada sesuatu di belakang sana,” jawab Pratiwi yang tengah merinding. Tangannya saja bergetar seperti ngilu memegang es batu. Keringatnya bercucuran membasahi wajahnya. Begitu banyak dan merata, sampai seperti selesai mandi.
“Berpikir positif,” kata Dewi sembari menggandeng tangan Pratiwi agar lebih tenang dan kembali ke ranjang.
Tidak lama kemudian, Bram dan Nalendra telah masuk ke dalam. Mengunci rumah yang terbuat dari kayu, sekaligus kuncinya pun dari kayu. Mereka duduk di bangku yang terbuat dari kayu juga. Nalendra memanggil melihat ada dinding yang berlubang pun tergerak untuk menutupnya dengan jaket miliknya. Dia berpikir dengan adanya lubang itu akan menyebabkan banyak angin masuk ke dalam yang bisa mengakibatkan perut kembung atau masuk angin.
Belum lama, Nalendra menutupnya. Tiba-tiba jaket itu terjatuh dengan sendirinya. Tidak mungkin terjatuh akibat embusan angin. Sebab, jaket Nalendra yang tebal tidak akan terhempas oleh tiupan angin. Nalendra mencoba untuk melihat apa yang ada di luar sana. Ternyata benar dengan dugaannya. Di luar sana ada sosok astral yang suka mengintip melalui lubang itu. Bahkan, dia menjadikan lubang di dinding bambu itu sebagai tempat favoritnya mencari kenyamanan.
Nalendra mencoba untuk mengusirnya. Tapi, sosok itu enggan untuk pergi. Katanya, tempat itu telah menjadi miliknya. Tidak ada siapa pun yang bisa mengusirnya. Memang, sosok itu suka mengintip orang, ketika masih hidup, dulu. Jadi, tidak heran jika lubang itu dijadikannya tempat paling favorit. Nalendra hanya meminta untuk tidak berbuat hal yang membahayakan diri manusia. Kalau sosok itu mencoba untuk mengganggu, Nalendra akan memindahkannya ke tempat lain.
“Ndra, besok mulai saja yang pembuatan penerangan,” kata Bram sembari bersiap untuk tidur.
Nalendra mengangguk sembari berdiri untuk membenarkan jaketnya yang tergeletak di tanah. Lalu menuju pintu ruangan yang digunakan kedua gadis itu. Menutupnya dengan rapat agar tidak diganggu oleh sosok pengintip itu. Walaupun dia hantu, tetap saja berjaga-jaga.
“Lo ngapain?” tanya Bram ketika membalikkan badan ke arah pintu ruangan itu.
“Tadi pintunya kebuka,” jawab Nalendra sembari kembali ke bangku yang akan digunakannya untuk istirahat.
Keesokan harinya, mereka telah selesai menjalankan ibadah subuh dan membersihkan diri serta merapikan tempat tinggal untuk sementara waktu. Setelah itu, mereka bergegas untuk bertemu Pak Arya dan Bu Rahma. Mereka ingin membahas beberapa hal terkait rencana kerjanya selama di desa itu. Kini, mereka telah duduk di teras sembari ditemani teh hangat dan tempe mendoan di piring. Sebuah jamuan dari ibu Rahma yang sangat berarti untuk sarapan pagi. Mereka membahas mengenai penerangan desa dan bak mandi untuk penampungan air. Mereka menyadari bahwa masih banyak warga kesulitan air. Bahkan, masih banyak warga yang mengambil air menggunakan gentong dari sungai.
“Boleh, sih. Tapi, untuk dana saya tidak bisa memberikan seratus persen. Apalagi, pekerjaan warga desa yang sedang mengalami kesulitan. Harga tani yang sedang anjlok, membuat finansial di sini sulit. Jadi, tidak tega untuk meminta sumbangan dari mereka,” kata pak Arya dengan tegas. Dia pun memikirkan warganya, padahal manfaat dari rencana ini pun akan kembali ke warga. Tapi, pak Arya sebagai ketua desa yang baik, beliau tidak ingin merepotkan warganya. “Oh iya, kalian betah, kan? Tidak ada masalah?” tanya pak Arya sembari tersenyum ramah.
“Iya, Pak. Tidak apa, untuk dana penerangan biar kan kami saja. Lagi pula, kita bisa menggunakan lampu yang murah. Asalkan, dipasang dengan benar, Insya Allah akan memberikan manfaat yang baik.” Nalendra memberikan proposal rencana kerjanya kepada pak Arya dalam bentuk softfile. Sebab, jauhnya tempat cetak. Beruntung, pak Arya memiliki laptop, sehingga bisa membuka proposal itu.
“Pak, maaf, rumah yang sebenarnya kami tempati itu ... Apa sebelumnya ditempati?” tanya Pratiwi yang memang membutuhkan jawaban pasti. Sebab, dari pertama kali menempati rumah itu, dia telah merasakan adanya kejanggalan.
“Iya, tadinya di tempati. Tapi, pemiliknya pergi ikut dengan anaknya ke kota,” jawab pak Arya dengan suara yang terdengar lirih dari sebelumnya.
Selama beberapa menit terjadi suasana yang hening. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Apalagi, Pratiwi yang masih teringat dengan kejadian-kejadian aneh. Rasanya, dia ingin pulang ke rumahnya. Dia tidak betah KKN di desa yang sedikit aneh dan jauh dari jalan raya yang ramai. Malahan, desa ini seperti desa di tengah-tengah hutan yang hampir mati. Hal ini dilihat dari total penduduknya yang hanya sekitar delapan puluh kepala. Itu pun terhitung pak Arya dan ibu Rahma.
“Tidak ada apa-apa, kan?” tanya pak Arya memecahkan keheningan yang terjadi.
“Tidak, Pak. Semuanya baik-baik saja,” jawab Nalendra sebelum Pratiwi menanggapi. Nalendra tidak ingin jika Pratiwi dan Dewi berpikir buruk tentang tempat ini. Sebaik mungkin, Nalendra akan mencari tahu tentang desa ini melalui caranya sendiri. Dia tidak akan bertanya banyak hal kepada pak Arya. Sebab, belum tentu, beliau akan menceritakan dengan sesungguhnya.
Tidak lama kemudian, ada beberapa anak-anak yang datang untuk meminta ilmu. Ada yang minta diajari matematika ada pula yang penasaran tentang dunia digital. Mereka mencoba menjelaskan dengan sebaik mungkin apa yang ditanyakan. Tapi, ada beberapa pertanyaan yang terdengar janggal. Ada seorang anak perempuan bertanya tentang ilmu hitam. Apa yang ada dalam pikiran gadis itu? Pertanyaan yang membuat Nalendra merasa bingung untuk menjawabnya. Sedangkan, seumur-umur dia tidak pernah melihat orang belajar ilmu hitam.
“Tidak baik, lebih baik belajar matematika atau belajar laptop,” jawab Nalendra sembari tersenyum manis.
Beberapa jam kemudian, mereka telah selesai mengajar. Mereka lantas pergi ke beberapa titik jalan yang ada di desa. Menentukan beberapa titik yang akan dipasangi lampu. Memang, tindakan ini tidak seberapa, tapi bisa mengubah desa yang gelap gulita menjadi sedikit terang dan nyaman.
Bram, tidak fokus. Matanya menuju pada jalan yang ditutup kain. Entah, kenapa dalam pikirannya, Bram merasa penasaran dan ingin melihat apa yang ada di dalam sana secara langsung. Tapi, tidak mungkin pergi saat ini juga. Apalagi, ada pak Arya yang menemani.
“Bram .... “ Pak Arya memanggil Bram beberapa kali. Tapi, secara mendadak telinganya seakan tuli. Matanya masih saja mengarah ke jalanan yang dilarang untuk dilewati itu.
Bram melihat ada sebuah celah dari palang kayu. Ada sebuah lubang yang lumayan besar untuk digunakan menyusup masuk ke dalam. Bram kira, jika ada manusia datang ke tempat ini, pasti akan merasa heran dengan jalan satu itu. Pasti, akan berpikir nekat hanya untuk melihat isi dalam sana. Sama seperti apa yang ada di dalam pikirannya.
“BRAM!” teriak pak Arya yang telah tidak bisa menahan emosinya.