Hura-hura, Apa Manfaatnya?

1211 Words
Nalendra menggeleng lalu beranjak kembali menikmati tempat wisata pertama yang dikunjungi. Mereka berkeliling selama kurang lebih satu jam. Kemudian, mereka pergi ke tempat ibadah. Sebab, sudah lima menit yang lalu mendengar suara azan. Menjalankan salat empat rakaat lalu mencari sebuah tempat makan. Tidak lupa, mereka juga mengajak sopir angkutan untuk mengisi perut yang telah kosong. “Mang, silakan tulis pesanannya,” kata Wawan yang sedang duduk di bangku panjang. Mereka menikmati makan siang di sebuah warung tepi jalan. Tapi, tetap saja makanan yang dihidangkan terjaga kebersihan dan juara dengan rasanya. “Terima kasih, Nak,” jawabnya dengan menuliskan satu menu makanan yang menjadi andalannya. Hanya seporsi nasi goreng. Di saat Nalendra memberikan catatan pesanan ke pemilik warung, tiba-tiba ada makhluk astral yang mengikutinya berdiri di belakangnya. Hantu itu tidak meminta apa-apa. Katanya, hanya rindu dengan mantan kekasihnya. Sang mantan hantu itu memiliki perawakan yang sama dengan Nalendra. Dasar, hantu labil. Dikata benci laki-laki, sekarang malah rindu dengan sosok mantannya. Nalendra membiarkannya tetap berdiri di belakangnya. Beberapa detik kemudian, dia memutuskan untuk kembali ke tempat duduknya. Menikmati sejuknya Lembang disertai dengan obrolan ringan, yang bermanfaat. “Mang, kalau di sini, cuacanya memang dingin, ya?” tanya Nalendra setelah duduk di tempatnya. “Suasananya enak, adem,” sambungnya. “Ya, beginilah, Nak. Kadang juga tidak menentu,” jawabnya dengan ramah. Satu hal yang Nalendra sukai ketika liburan di kota lain. Apalagi, jika pergi di tempat-tempat yang agak jauh dari perkotaan. Dia akan berjumpa dengan orang-orang ramah, seperti Mang Asep. Selain ramah, Mang Asep dengan sabar membantu keempat anak kota itu untuk mencapai tempat-tempat yang diinginkan. “Mang, kenapa baik sama kami? Padahal, kami ini dari pagi merepotkan,” kata Wawan sembari menerima sebuah nampan dari penjaga warung yang berisi lima gelas es teh manis. “Ya, kalian menyewa jasa saya, jadi sebisa mungkin saya harus melayani dengan baik,” jawabnya sembari meminum satu tegukan teh. Tidak lama kemudian, makanan telah tersaji di meja. Mereka menikmati dengan begitu antusias. Selain makanan yang memang lezat, juga karena perut yang telah meronta-ronta sejak tadi. Mereka memakan pesanan selama kurang lebih lima belas menit, tanpa ada suara yang keluar dari mulut masing-masing. Sebab, makan sembari mengobrol tidak baik. Jadi, Nalendra meminta untuk fokus dengan makanan terlebih dahulu. Baru saja mau kembali ke angkutan, hujan malah melanda. Akhirnya, mereka memutuskan untuk tetap masuk ke angkutan. Tapi, tidak melanjutkan perjalanan. Mereka tidak ingin angkutan Mang Asep mengalami kejadian seperti pagi tadi. Angkutan yang memang sudah tua, akan rentan jika dipaksa jalan kala hujan mengguyur. Takut jika angkutan akan macet. Jadi, mereka berdiam di depan warung. “Mang, kira-kira masih lama tidak ya?” tanya Wawan yang sedang berjongkok untuk membenarkan tali sepatu. Kemudian, kembali menghadap ke arah depan dengan menikmati segarnya air mineral. “Tidak tahu, ditunggu saja beberapa waktu lagi,” jawabnya dengan logat Bahasa Sunda. Tidak lama kemudian, hujan telah mereda. Mereka melihat ke arah kanan kiri, tidak ada angkutan dan juga Mang Asep. Mereka berempat justru sedang berdiri di tengah jalan dengan keadaan basah kuyup. Rambut yang begitu basah dan wajah yang telah memucat. Nalendra mengajak mereka untuk masuk ke warung. Meminta izin untuk berteduh dari hujan yang tinggal gerimis. “Nak, tadi itu kalian pesan lima porsi untuk siapa?” tanya penjaga warung. “Justru saya mau tanya dengan Ibu. Apa Ibu tahu ke mana perginya Mang Asep?” jawab Nalendra dengan bibir yang terus bergerak akibat kedinginan. “Mang Asep? Lah, dari tadi saya hanya melihat kalian berempat.” “Mang Asep ... Sopir angkutan yang kami tumpangi tadi. Saya malah bingung, seingat saya tadi berada di dalam mobil angkutan tua milik beliau. Tapi, kenapa tiba-tiba kami berada di tengah jalan dan tidak ada di dalam angkutan itu,” kata Wawan menjelaskan. “Tidak ada. Kalian tadi ke mari jalan kaki. Makanya saya heran dengan kalian yang rela jalan kaki, padahal banyak angkutan yang melewati jalan ini.” Ibu penjaga warung melangkah kembali ke dapur. Dia beranjak untuk melayani pengunjung lainnya. Nalendra berpikir keras, sebenarnya siapa Mang Asep? Apa Mang Asep itu ... salah satu makhluk astral? Tapi, kenapa Nalendra tidak bisa mengenalinya sebagai hantu? “Ndra, ini aneh, sih. Padahal, jelas-jelas kita naik angkutan Mang Asep dari pagi, loh. Tidak mungkin, kita jalan sejauh ini. Hotel sampai sini ... itu lumayan jauh,” kata Wawan. “Ndra, pantas saja angkutannya itu tua dan terlihat kuno banget. Apa kita tadi masuk ke dimensi lain? Ah, sial sih kita hari ini. Tahu gitu, tadi pakai mobil saja.” Adit—salah satu dari mereka—yang mencoba mengeringkan kaosnya. Lalu beranjak memesan teh hangat empat gelas untuk menghangatkan tubuhnya. “Aneh, sih. Tapi, gue juga enggak tahu. Pantas saja dari awal sebenarnya ada yang janggal. Tapi, gue bingung, sebenarnya ada apa,” jawab Nalendra yang sibuk dengan ponselnya. Dia sedang mencoba untuk memesan taksi online. Tidak lama kemudian, setelah puas dengan teh hangat, mereka pergi ke salah satu pusat oleh-oleh. Mereka ingin membeli beberapa oleh-oleh untuk dibawa pulang ke Jakarta. Mereka pun tahu, bahwa mereka hidup berdampingan dengan hantu. Tapi, mereka mencoba untuk tetap tenang dan segera ingin pulang daripada mendapatkan hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka berkeliling di sebuah toko yang lumayan luas itu, tiba-tiba ada kejadian aneh yang menimpa. Secara mendadak, ada salah satu rak makanan yang ambruk yang mengakibatkan banyak makanan tumpah tidak tersisa. “Astaghfirullah,” kata Nalendra Beberapa waktu kemudian, Anna muncul di hadapan Nalendra. Dia mendekati Nalendra untuk membisikkan sesuatu. Anna ingin agar secepatnya mereka kembali ke Jakarta. Sosok hantu kecil itu tidak ingin jika Nalendra mendapatkan banyak hal yang sial. “Ndra, sebenarnya, kalian itu terjebak di dimensi gaib. Maaf, tadi Anna tidak membantu. Soalnya Anna takut dengan hantu angkutan tua. Dia bapak-bapak, sedangkan Anna takut sama bapak-bapak,” katanya dengan rasa yang tidak enak hati. Nalendra diam. Hanya bisa menjawab perkataan Anna dengan batin. Nalendra merasa takut jika temannya akan menganggap aneh ketika terlihat berbicara seorang diri. Lagi pula, Anna aneh. Hantu begitu takut dengan hantu lainnya. Tapi, secara logika juga bisa saja. Sebab, hantu yang jauh lebih dewasa memiliki energi yang kuat. Sehingga, Anna tidak akan kuat untuk melawannya. “Ndra, balik ke hotel langsung balik, yuk,” kata teman-temannya yang telah selesai membayar tagihan belanja. Sedangkan, rak makanan yang ambruk, mungkin telah dibereskan oleh pegawainya. Kata Anna, ada sosok hantu yang memang mengikuti mereka secara sengaja mendorong rak itu. “Oke,” kata Nalendra sembari melangkah ke arah taksi untuk kembali ke hotel. Beberapa waktu kemudian, mereka memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Mereka berangkat sekitar pukul tujuh malam. Mereka menjalankan ibadah empat rakaat di sebuah masjid terletak di tepi jalan. Kemudian, melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Sepanjang perjalanan, mereka tidak lupa untuk meminta pertolongan dan perlindungan dari Allah. Tidak sampai di situ, mereka pun mengucapkan ayat-ayat suci agar terhindar dari bahaya. “Ndra, jangan lupa istirahat di pom bensin,” kata Wawan sembari memakan camilan. Dia tidak bisa menahan rasa lapar lagi. Nalendra berhenti di pom bensin di tepi jalan. Beristirahat sembari menumpang menyanggupi panggilan alam. Selama tiga puluh menit, mereka beristirahat dan mencoba untuk menenangkan diri. Hari di mana seharusnya senang dan bahagia, justru merasakan pahit. Dari sini, mereka belajar tentang satu hal, bahwa sesuatu yang berlebihan tidak akan baik. Boleh saja, liburan, belanja, atau lainnya. Tapi, tetap harus ingat porsi dan sesuai dengan kebutuhan. Brag!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD