Bildungsroman

1185 Words
“Datang juga kamu.” Shandy menyambut Adelia yang berjalan masuk ke dalam ruangnnya dengan ditemani Cindy.             Adelia hanya melirik sekilas ke arah Shandy kemudian berpaling ke arah gadis berkaca mata yang mengekor di belakangnya, “Ruanganku di mana?”             “Di sini.” Cindy menyahut setengah berbisik.             “Di mana?”             “Di sini!” Kali ini Cindy menekankan suaranya sambil menunjuk dengan lirikan mata sebuah meja di salah satu sisi ruangan.             “Satu ruangan sama dia!?” Adelia terkejut. Refleks menunjuk ke arah Shandy yang juga menjadi terkejut dibuatnya. Jangan ditanya bagaimana ekspresi wajah Cindy. Rasa-rasanya gadis itu ingin menggali lantai marmer di bawah heels yang dia kenakan dan mengubur dirinya di dalam lubang itu. Berani-beraninya karyawan baru ini menunjuk dengan lancang Project Manager perusahaan. Wanita aneh dari mana sih yang Rinai kirimkan padanya ini? Kalau tidak mengingat persahabat yang mereka jalin semasa SMA dan betapa Shandy berkeras agar dia menghubungi Adelia karena anak dari pemilik perusahaan ini tertarik dengan curriculum vitae-nya itu, maka detik ini juga dia akan mengusir Adelia dari perusahaan.             “Ehm!” Shandy berdehem untuk menetralisir suasana.             Merasa tingkahnya di hari pertama kerja sedikit berlebihan, Adelia segera menambahkan, “Maksudku, satu ruangan sama Bapak Shandy?”             “Ya. Ada masalah dengan itu?” Shandy balas bertanya dan seketika membuat Adelia tak bisa lagi berkutik.             “Baik, karena Ibu Adelia sudah tiba di ruangan ini dengan selamat, saya mohon permisi dulu.” Cindy tidak menunda untuk undur diri dari ruangan Shandy Gobel karena feeling-nya mengatakan bahwa keributan besar bisa meledak kapan saja di sana. Dan dia tidak ingin terlibat dalam drama apa pun yang terjadi di antara keduanya.             “Iya. Terima kasih, ya.” Shandy mempersilakan karyawan bagian HRD-nya itu untuk pergi. Setelah hanya tinggal dia dan Adelia saja di ruangan itu, Shandy mengambil berkas dari dalam lacinya dan meletakkan benda itu di atas meja kerja Adelia, “Sampai kapan kamu mau berdiri di sana? Hari ini aku minta kamu menghubungi semua perusahaan yang ada di dalam map itu dan bilang kalau kita open tender untuk spare part TV Led.”             “Eh, i…iya.” Adelia tergesa menghampiri mejanya dan duduk di sana. Dia melihat tumpukan berkas yang Shandy hempaskan. Setelah melewati pergolakan batin yang tidak mudah semalaman tadi dan juga ucapan Rinai tentang pekerjaan ini yang hanya sementara, Adelia memantapkan diri untuk menghubungi Cindy dan mengatakan bahwa dia akan mulai bekerja. Urusannya dengan Shady memang adalah urusan pribadi yang tidak seharusnya dia kaitkan dengan hubungan profesional mereka. Terlebih, Shandy tampaknya tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengungkit kembali rangkaian kejadian tak terduga yang menimpa mereka.             “Kamu sudah tau cara mainnya, kan?” Shandy belum beranjak dari sisi meja Adelia, “Aku rasa ini juga yang kamu kerjakan di perusahaanmu terdahulu. Tambang nikel, kan?”             Adelia terdiam tak menjawab. Apakah itu artinya Shandy benar-benar membaca curriculum vitae miliknya?             “Produk pertama yang akan kita produksi adalah TV Led. Kita akan buka tender untuk pengadaan spare part-nya. By the way, kamu sudah tau profil perusahaan ini, kan?” Shandy kembali bertanya.             Adelia sedikit tersentak. Wah, pemuda ini benar-benar meremehkan dirinya. Siapa yang tidak tahu Galaxy Electric Group? Perusahaan distribusi elektronik terbesar di Indonesia dengan penjualan produk televisi yang mendominasi laporan keuangan tahunan mereka. Mereka bahkan sponsor terbesar ajang pengharagaan tahunan bergengsi untuk acara pertelevisian. Apa Shandy pikir pengetahuannya tentang bisnis sangat kurang? “Tentu saja aku tau!” Saat sadar nada suaranya terlalu tinggi untuk diucapkan pada atasannya, Adelia segera meralat, “Maksud saya, saya tau, Pak.”             “Bagusalah.” Shandy menyahut cuek.                       “Tapi, Bapak bilang kita akan mulai memproduksi TV Led. Maksud Bapak memproduksi atau merakit? Bukankah namanya merakit kalau spare part-nya disediakan oleh vendor?”             Shandy sedikit terkejut dengan pertanyaan Adelia. Tidak menyangka gadis ini akan menanyakan hal itu, “Perusahaan kita hanya memproduksi kabinetnya. Kamu bisa lihat bagian-bagian TV Led di dalam berkas itu.” Shandy menunjuk berkas yang dimaksud, “Pelan tapi pasti kita akan memproduksi seluruh spare part-nya dalam dua tahun mendatang.”             Adelia mengangguk paham, “Okay, saya mengerti, Pak. Perusahaan ini masih butuh waktu untuk mempelajari manufakturnya.”             “Ya. Untuk itulah aku berada di Jepang selama dua tahun belakangan dan akan kembali ke sana lagi dalam waktu dekat setelah memastikan produksi di sini bisa berjalan.” Shandy menyahut sambil berjalan kembali ke meja kerjanya sendiri yang terletak di sisi lain ruangan. “Kalau kamu, apa yang kamu lakukan di Jepang saat itu? liburan?”             “Aku?” Adelia menunjuk hidungnya sendiri.             “Ya.” Shandy duduk tegak pada kursi kerjanya dan menatap lekat ke arah Adelia.             “Bertemu client.” Adelia menjawab singkat.             “Client?”             “Ya, ada seorang penulis terkenal Jepang yang tertarik menggunakan ilustrasi buatanku untuk sampul buku edisi Bahasa Indonesia-nya. Dia mengundangku ke sana untuk membicarakan proyek itu.”             “Jadi, kamu benar-benar seorang ilustrator?” Ada nada kagum di dalam suara Shandy. Tapi yang terdengar di telinga Adelia justru seperti nada tak percaya.             “Ya tentu saja. Kamu pikir aku mengarang saat membuat kartu namaku?” Adelia membantah namun segera meralat, “Eh, maksud saya….”             Shandy mengibaskan tangannya sambil menyela, “Tidak perlu bersikap formal padaku. Aku kan calon suamimu.”             “Apa!?” Adelia terkejut dan wajahnya seketika memanas. Baru saja tadi dia berpikir Shandy tidak akan pernah mengungkit itu lagi, tapi lihat ini apa yang baru saja dia katakan.             Melihat ekspresi wajah Adelia yang berubah segera mendatangkan gelak tawa pada Shandy. Adelia tidak merasa ada yang lucu tapi detik berikutnya Shandy sudah tertawa terbahak-bahak. “Aku bercanda,” ucap Shandy ketika derai tawanya usai. “Kalau boleh tau siapa pengarang Jepang yang kamu maksud itu?”             “Kamu tidak kenal,” tandas Adelia. Buku-buku Mr. Murakami adalah jenis sastra berat yang mungkin tidak semua orang akan menikmati membacanya. Genre yang diusungnya juga bukanlah genre yang popular. Fiksi ilmiah, fantasi, fiksi kriminal dan buku yang sedang Adelia kerjakan sampulnya malah mengusung Bildungsroman, sebuah genre yang fokus pada sisi psikologi dan moral tokoh utamanya.             “Then, try me!” Ayo, coba katakana saja padaku. Shandy tersenyum kecil karena merasa Adelia sedikit meremehkannya. Apa gadis ini berpikir dia tidak suka membaca buku?             “Kaito Murakami.” Adelia menyahut ringkas.             “Ah!” Shandy mendadak tampak antusias. “Dia salah satu pengarang favoritku. Jadi, kamu bertemu dengannya?”             Adelia kini yang berganti terkejut dengan reaksi yang diberikan Shandy. “Ya, aku bertemu dengan Mr. Murakami.”             “Wah! Kamu beruntung sekali. Dua tahun aku di Jepang tapi tidak pernah bertemu dengannya. Buku apa yang sedang kamu kerjakan sampulnya itu? Apakah itu ‘Rare’?”             “Ya! kamu tau buku itu juga?”             “Tentu saja! aku sudah membacanya dua kali. Edisi Bahasa Inggris.”             “Benarkah?”             “Yap! Tentang seorng insinyur kereta api yang mencoba mencari tau apa yang terjadi pada teman-teman semasa sekolah yang menjauhinya. Iya, kan?”             Adelia hanya bisa mengangguk karena sesungguhnya hari ini dia telah dibuat terpana akan dua hal. Tawa Shandy yang ternyata begitu menarik dan pengetahuan Shandy tentang Mr. Murakami yang begitu impresif bagi seorang Adelia.[]                         
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD