Krim beku itu sudah meluruh dari kemeja casual milik Shandy ke atas permukaan tanah. Adelia memasukkan corn es krim yang tadi di genggamnya ke dalam mulut sekaligus hingga pipinya mengembung seperti ikan buntal. “Pegang ini!” Dia menyerahkan buku sketsa ke arah Shandy agar tangannya bebas merogoh tisu dari dalam tasnya. “Maafkan aku! Tapi ini juga salah kamu. Siapa suruh kamu berdirinya terlalu dekat.” Adelia melanjutkan dengan mulut penuh.
Shandy menerima buku sketsa yang disodorkan oleh Adelia dan membiarkan gadis itu mengusapkan tisu berkali-kali ke atas kemejanya yang kini tampak bernoda. Es krim telah menembus lapisan kain dan meninggalkan rasa dingin di d**a Shandy, “Kenapa kamu makan es krim malam-malam?”
“Kamu juga ngapain makan es krim malam-malam?” Adelia balas bertanya, “Aduh! Sepertinya ini harus dicuci. Aku tidak akan lari dari tanggungjawab untuk mencucikan lagi kemejamu kali ini. Ayo ikut pulang denganku ke apartemen.”
“Ada masalah apa?” Melani, entah dari mana dan sejak kapan, muncul di antara mereka. Dia sempat mendengar ucapan Adelia dan menjadi sangat penasaran tentang siapa gadis yang berdiri sangat dekat dengan Shandy ini. Dan apa katanya tadi? Dia mengajak Shandy pulang ke apartemennya?
Shandy jelas tekerjut dengan kehadiran Melani. Namun, belum sempat menyahut, kasir kedai es krim itu bertanya, “Maaf Pak, mau pesan apa?”
Perhatian Shandy teralihkan pada si kasir, “Ah, ya. 2 corn es krim Nutella dan 1 corn es krim coklat.” Dia lalu menatap ke arah Adelia, “Kamu coklat kan?”
“Eh, kamu belikan aku? Nggak usah!” Adelia menyahut.
“Es krim kamu kan sudah tumpah,” Shandy membalas, “Oh, ya. Kenalkan, ini Melani. Melani, ini Adelia.”
Adelia telah meghentikan segala aktivitasnya yang berkaitan dengan noda es krim di kemeja Shandy karena tampaknya sekeras apa pun dia berusaha menghilangkannya dengan tisu, noda itu tetap tidak akan bisa hilang. Untuk itu, Adelia memutuskan mengulurkan tangannya pada Melani, “Hai, Melani. Nice to meet you.”
Namun, di luar dugaan siapa pun, alih-alih menyambut uluran tangan Adelia, Melani justru menatap wanita berambut sebahu dengan kulit kecoklatan itu lekat-lekat. Siapa dia? apa hubungannya dengan Shandy? kenapa mereka tampak begitu dekat sementara Shandy tampak sangat menjaga jarak jika sedang bersamanya? Dan apa kata gadis bernama Adelia ini tadi? Dia mengajak Shandy ke apartemennya? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang mengindikasikan bahwa Melani tampak terancam dengan kehadiran Adelia.
“Oh.” Karena tak kunjung meneriam uluran tangan Melani, Adelia gegas mengalihkan tangannya kepada Shandy, mengambil buku sketsa dari genggaman pemuda itu, “Terima kasih. Kamu yakin tidak mau ke apartemenku?”
“Tidak. Aku harus mengantar Melani pulang dulu.”
“Eh, tapi….”
Shandy tahu Adelia merasa tidak enak akibat insiden es krim itu. Maka, dia segera menyela, “Jangan khawatir. Aku bisa mengurusnya.” Shandy tersenyum sambil meraih es krim dari karywan kedai yang membawanya, “Ambil es krim kamu.” Dia berkata kepada Adelia, “Kamu mau aku antar pulang sekalian atau….”
Adelia gegas menggeleng sambil menjilati es krim coklat yang telah berpindah ke tangannya. Dia tentu saja tidak mau menjadi penganggu pada apa pun yang sedang dilakukan Shandy dengan wanita cantik tapi angkuh bernama Melani ini. Ya, angkuh! Apa lagi sebutan yang pantas untuk orang yang tidak mau menyambut uluran tangan orang lain padanya? “Tidak perlu! Aku ada urusan di tempat lain dulu.”
“Kamu yakin? ini sudah malam.”
“Yakin!” Adelia berseru mantap dan mengambil ancang-ancang untuk pergi dari sana, “Ya sudah, aku duluan, ya.”
Shandy mengangguk, “Hati-hati.”
Sementara itu Melani terus menatap lekat-lekat punggung Adelia hingga gadis itu menghilang di balik bangunan lain sambil dalam hati berjanji bahwa dia tidak akan membiarkan gadis lain mendekati Shandy. Adelia, atau siapa pun itu.
***
“Shandy.”
“Adelia? Kamu sedang apa di sini?” Shandy terkejut mendapati Adelia menyambutnya di lobi apartemen miliknya, “Kamu tau dari mana apartemenku di sini?”
“Kamu pernah bilang padaku apartemenmu di gedung ini. Aku tunggu kamu pulang karena kepikiran terus soal noda es krim di baju kamu.” Mata Adelia mengarah pada kemeja Shandy yang bernoda.
“Kan aku sudah bilang kalau aku bisa mengurusnya.” Shandy berkilah.
“Aku tidak mau berhutang budi padamu.”
“Kamu tidak berhutang budi apa pun padaku.”
“Aku tidak mau menanggung rasa bersalah.”
“Hufftt….” Shandy mengembuskan napas panjang. Percuma rasanya berdebat dengan gadis ini. “Oke, kamu bisa cucikan bajuku.”
“Kamu punya mesin cuci di apartemen kamu?”
Shandy menaikkan kedua belah alisnya yang tebal dan Adelia paham itu adalah jawaban bahwa dia tidak memiliki benda bernama mesin cuci.
“Ayo kita ke apartemenku. Dekat kok. Jalan kaki saja.”
Shandy mengernyitkan kening sambil menatap jam tangannya yang telah menunjukkan hampir pukul 11 malam. Sudah larut dan rasanya tidak pantas dia bertamu ke rumah seorang gadis di waktu seperti ini.
“Tenang saja. Aku tidak tinggal sendirian di apartemen. Sama teman, kok.” Ini sudah menjelang tengah malam. Rinai pasti sudah ada di apartemen.
“Oh….oke.” Shandy pikir rasanya percuma saja membantah lagi untuk itu dia mengikuti langkah Adelia menuju ke apartemen miliknya yang hanya terletak di sebelah gedung apartemen milik Shandy.
“Aku sering ke taman belakang apartemen ini.” Adelia membuka kembali percakapan dalam perjalan mereka menuju flat miliknya.
“Oh, ya? Untuk apa? Ada alasan khusus?”
“Aku menggambar. Penerangan di sana bagus.”
“Oh begitu. Aku juga sering ke taman belakang. Olahraga.”
“Ahhh….”Adelia mengangguk paham. Ada beragam alat olahraga yang di tanam permanen di atas tanah taman apartemen itu. Ternyata Shandy memang melatih otot-otot di tubuhnya dengan baik, “Yang tadi pacar?”
“Hah? Maksud kamu?”
“Cewek yang kamu antar pulang tadi. Pacar, ya?”
“Melani?”
“Ya…Ya… Melani.”
“Bukan. Cuma teman. Kami bahkan baru kenal.” Shandy menyahut cuek.
Pembicaraan mereka terhenti karena tanpa disadari keduanya telah berada di depan pintu apartemen milik Adelia. Gadis itu membuka pintu apartemen dan melangkah masuk ke dalam dengan diikuti Shandy di belakangnya.
“Ayo cepat buka bajumu!” Adelia berbalik menghadap Shandy.
Pemuda itu terkejut dengan tindakan Adelia yang tiba-tiba. Ayo cepat buka bajumu, katanya? Yang benar saja cewek ini!
“Eh…itu…” Shandy tak mengerti kenapa dia menjadi salah tingkah. Tentu saja ayo cepat buka bajumu yang barusan diucapkan oleh Adelia adalah konteks yang benar-benar berbeda. Tapi, tetap saja kan rasanya aneh. Apalagi dengan kondisi mereka berdua saja di apartemen seperti ini.
“Ayo buka! Mau aku yang buka?” Adelia sudah melangkah maju membuat Shandy refleks beringsut mundur. Ini cewek otaknya geser kemana, sih?
“Teman kamu mana?” Shandy tentu saha tidak akan membiarkan Adelia maju selangkah lagi, untuk itu dia lekas membuka satu per satu kancing kemejanya dan menyerahkan benda itu pada Adelia.
“Rinai? Paling di kamarnya.” Adelia menerima kemeja dari Shandy dan berjalan menuju mesin cuci. Ketika melewati pintu kamar Rinai, dia mengetuk tiga kali, “Nay, kamu di dalam? keluar sini.”
Tidak ada jawaban. Adelia mengernyit heran dan memutar kenop pintu kamar sahabatnya itu. Saat pintu terbuka yang dia dapatkan hanya kamar kosong. Sontak Adelia terkejut dan memanggil-manggil nama Rinai ke seluruh penjuru apartemen, “Nay, kamu di mana?”
Tdiak ada sahutan sama sekali yang menandakan Rinai sedang tidak berada di apartemen dan itu artinya selarut ini dia hanaya berduaan dengan Shandy. Menyadari hal itu, dia bergegas kembali menghampiri pemuda tersebut. “Ternyata temanku belum pulang. Kamu jangan macam-macam, ya!”
Shandy yang didatangi dengan tiba-tida dan diberondong dengan peringatan seperti itu menjadi agak terkejut. Jangan macam-macam katanya? Bukannya dia yang memaksa aku kemari!? Argghh!! “Tenang saja! Aku tidak akan menyentuhmu sedikit pun! Lagi pula kamu yang memaksaku kemari.”
Kalimat Shandy telak membungkam mulut Adelia. Gadis itu kembali berbalik menuju mesin cuci di belakang.
“Aku akan duduk dengan sopan di ruang tamu. Kamu tidak perlu cemas.” Shandy berbicara pada punggung Adelia dengan sedikit kesal. “Belum sebulan kenal dengan kamu, kamu sudah tiga kali mengotori bajuku dan dua kali mencucikan bajuku. Mungkin kamu memang harus jadi istriku supaya bisa mencucikan bajuku setiap hari.” Kalimat terakhir itu diucapkan Shandy dengan tujuan mengolok-olok Adelia.
“In your dream!” Terdengar Adelia menyahut dari belakang. Shandy terkekeh mendengar suara teriakan Adelia.
Shandy kemudian mengempaskan dirinya di sofa, mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya untuk mengecek email masuk dan beberapa menit kemudian terlonjak saat mendengar seruan seorang wanita yang datang dari arah pintu utama.
“Siapa kamu!?” Rinai baru saja kembali dan pemandangan pria tampan shirtless sedang duduk-duduk dengan santai di sofa ruang tamu apartemen milik mereka tentu saja membuatnya terlonjak.
“Ah…aku…” Shandy tidak tahu harus menjelaskan seperti apa. Untung saja Adelia datang dan menengahi.
“Nay, baru pulang?” Adelia bertanya acuh tak acuh, “Oh, ya Nay, kenalin ini Shandy. Shandy, ini Rinai, teman seapartemenku.”
Shandy beranjak lalu mengulurkan tangannya. Namun, di luar dugaan Rinai justru memandangi Shandy dan Adelia bergantian dengan curiga. “Kalian habis ngapain? Kok dia nggak pakai baju?”
Ekspresi wajah Shandy seketika berubah. Adelia gegas menimpali, “Jangan pikir macam-macam. Aku nggak sengaja numpahin es krim ke baju Shandy, jadi aku memutuskan untuk cuciin bajunya.”
Kening Rinai berkerut, “Tunggu! Ini Shandy yang ketumpahan kopi kamu di Jepang, ya?”
Adelia mengangguk sambil menyengir lebar.
“Yang ketumpahan kopi kamu di kafe Nusantara?”
Adelia kembali mengangguk. Cengiran di wajahnya makin lebar,
“Dan sekarang ketumpahan es krim!?”
“Iya.” Adelia mengangguk lalu tertawa terbahak-bahak. Dia menyadari bahwa insiden beruntun itu adalah sebuah kekonyolan.
“Astaga, Adel!!” Rinai tak tahu lagi harus berkata apa.[]