“Rinai, kamu tidak pernah bilang padaku soal Adel.” Beno menghampiri kubikel Rinai sore itu usai pertemuanya secara kebetulan dengan Adelia di restoran.
“Soal apa maksud kamu, Ben?” Rinai menghentikan segala aktivitasnya pada komputer di hadapannya. Dia meraih botol air minum miliknya dan menenggak isinya.
“Soal calon suami Adelia,” seloroh Beno. Dan begitu mendengar kalimat tersebut Rinai nyaris menyemburkan air yang baru saja diminumnya.
Rinai terbatuk-batuk sebelum berkata, “Calon suami siapa!?”
“Aku ketemu Adel tadi di salah satu restoran.” Beno menjelaskan, “Dia bersama seorang pria yang mengaku sebagai calon suaminya.”
“Apaan sih, Ben!? Jangankan calon suami, Adelia itu bahkan tidak punya….” Namun kalimat Rinai terhenti. Pikirannya tiba-tiba saja teringat akan sosok Shandy. Adelia kan kerja sama Shandy. Apakah yang dimaksud Beno adalah Shandy? Apakah Adelia berpura-pura lagi mengakui Shandy sebagai calon suaminya di depan Beno karena tidak ingin berurusan dengan pemuda ini lagi?
Beno mengeritkan kening menatap Rinai. Menunggu gadis itu menyelesaikan ucapannya.
“Maksud aku, itu kan sama sekali bukan urusanmu lagi, Ben!” Seru Rinai. “Adelia bukan lagi menjadi urusan kamu. Jadi untuk apa aku harus menceritakan kepadamu tentang dengan siapa Adelia menjalin hubungan sekarang?”
“Jadi benar itu calon suaminya?” Beno mengejar dan Rinai hanya menganggapi dengan kedikan di bahu. “Jawab pertanyaanku, Nay. Apa benar itu calon suami Adel?”
“Aku….aku tidak tau!” Rinai menjawab ragu. Dia ingin sekali bilang ‘iya’ tapi di lain sisi dia merasa kasihan pada Beno. Dia bisa merasakan kesungguhan Beno untuk mendapatkan maaf dari Adelia dan juga mendapatkan kesempatan untuk memulai semuanya kembali. Rinai kurang lebih mengetahui sepak terjang Beno dalam menjalin hubungan dengan wanita selama ini. Semuanya hanya hubungan sesaat. Beberapa bahkan hanya cinta semalam. Beno lihai mempermainkan wanita-wanita malang itu. Kecuali Adelia. Adelia adalah pengecualian bagi Beno. Adelia adalah anomali yang bahkan mungkin juga tak dapat dijelaskan oleh Beno sendiri.
“Tolong jawab aku dengan jujur, Nay.” Ada nada memohon yang kental dalam suara Beno.
“Aku tidak mau lagi berurusan dengan masalah kamu dan Adel, Ben.” Rinai mendesah dengan sedikit frustasi. “Tolong jangan membuat aku berada dalam posisi yang sulit. Adelia itu sahabatku. Kami tinggal seapartemen. Aku mungkin, kamu tau kan, aku harap kamu bisa mengerti bahwa aku tidak mungkin berada di pihak yang berseberangan dengan Adel.”
Beno mengangguk pelan. Mencoba memahami situasi ini meski sulit. Melihat Adelia bersama lelaki lain benar-benar adalah sebuah hantaman yang telak baginya. Terlebih lelaki itu ternyata adalah calon suaminya? Beno merasakan sakit yang tidak pernah dia alami sebelumnya. Sakit yang berasal dari rongga kosong di dalam dadanya. Rongga yang sudah lama kosong karena hanya Adelia yang bisa mengisinya.
“Oke,” ujar Beno kemudian dengan begitu lirihnya. “Maafkan aku, Nay. Aku tidak bermaksud menempatkanmu dalam posisi yang sulit. Dan aku seharusnya tidak perlu lagi melibatkan kamu dalam urusan ini.”
Beno berbalik pergi dari kubikel Rinai, namun suara gadis itu menahan langkahnya.
“Ben, kalau kamu memang masih sangat mencintai Adelia, aku hanya mau bilang bahwa mungkin kamu harus berusaha lebih keras.”
Beno berbalik sambil tersenyum, “Kamu kenal aku kan, Nay? Aku selalu memperjuangkan apa yang aku inginkan selama ini. Begitu juga dengan Adelia. Aku tidak peduli itu calon suaminya atau bukan. Aku tidak peduli jika harus berkejar-kejaran dengan waktu sekali pun.”
Rinai terbelalak. Gawat! Apa yang direncanakan Beno?
“Thanks untuk sarannya, by the way.”
***
“Tante senang sekali akhirnya bisa berkenalan dan menjamu kamu di rumah kami, Shandy.” Herlin tersenyum semringah. Anak sulung Ibrahim Van Gobel ada di meja makan yang sama dengannya. Itu artinya rencananya menjodohkan Melani dan Shandy sudah berjalan dengan baik. Kehadiran Shandy di rumah mereka malam ini menjadi isyarat bahwa Shandy juga tertarik pada Melani sebagaimana gadis itu sudah tertarik padanya. Ya, Herlin tahu bahwa anak gadis satu-satunya itu sudah menaruh harti pada Shandy sejak perjumpaan awal mereka. Shandy adalah pria muda yang sopan dan pembawaannya yang begitu hangat akan mudah saja membuat lawan jenis tertarik meski tanpa dia harus berusaha sekali pun.
“Aku yang harusnya berterima kasih kepada Om dan Tante dan tentu saja juga Melani karena sudah mengundangku makan malam di sini.” Saat mengucapkan nama Melani, Shandy menoleh ke arah wanita cantik yang duduk di sampingnya. Andi Subagja duduk di kepala meja sedangkan Melani duduk berseberangan dengan ibunya. Melani tersenyum saat Shandy menoleh ke arahnya.
“Bagaimana kabar orang tua kamu, Shandy?” Andi Subgja bertanya basa-basi, “Sudah lama rasanya sejak kali terakhir aku bertemu dengan mereka.”
“Papi dan Mami baik, Om,” sahut Shandy. “Mungkin nanti kita bisa mengatur makan malam keluarga suapaya Papi dan Mami bisa bertemu dengan Om dan Tante. Apalagi Tante kan sahabat Mami.”
“Ah, itu ide bagus, Shandy!” Herlin menyambut dengan antusias rencana itu, “Nanti Tante akan menghubungi Mami kamu dan mengaturnya, ya.”
Shandy mengangguk sambil tersenyum ramah.
“Aku dengar, perusahaan kalian mau ekspansi ke manufaktur. Bagaimana perkembangannya?” Andi kembali bertanya. Kali ini mencoba memasuki topik yang lebih serius. Sepak terjang Ibrahim Van Gobel dalam bisnis selama ini tak pernah diragukan lagi. Dia disegani bahkan oleh kompetitor-kompetitor bisnisnya. Mungkin, niat Herlin menyatukan keluarga mereka dengan keluarga Ibrahim ada benarnya juga. Jika Shandy dan Melani menikah maka melakukan lompatan besar bagi perusahaan miliknya juga bukan angan-angan semata.
“Iya, Om. Kami akan uji coba perdana item pertama yang akan kami produksi sendiri.”
“Aku dengar itu televisi LED.”
Shandy tersenyum dengan sedikit canggung. Harusnya itu adalah business plan yang sifatnya confidential, tapi rupanya hal itu sudah bocor keluar.
“Tapi, apa pun itu semoga sukses, ya.” Andi buru-buru menambahkan saat melihat Shandy tampak enggan menjawab.
“Tante dengar dari Mami kamu, katanya kamu hanya sebentar ya di Indonesia. Hanya tiga bulan?”
Shandy mengangguk, “Ya, aku sudah hampir sebulan di sini jadi mungkin dua bulan lagi harus kembali ke Jepang.”
“Wah, jadi kamu akan lebih banyak berada di Jepang, ya?” Herlin kembali mengejar. Jika Shandy hanya memiliki waktu dua bulan lagi di Indonesia, maka bukankah itu berarti dia harus mengambil langkah yang lebih cepat? Dia mungkin harus berbicara dengan Fahria untuk lebih memuluskan rencana menjodohkan anak-anak mereka ini.
“Ya, Tante. Bisa dikatakan seperti itu.”
“Mama Papa, sudah dong bicara bisnisnya,” Melani menyela. “Kapan kita mulai makan malam nih kalau ngobrol terus?”
“Oh, iya. Yuk…yuk...Shandy. Silakan dimakan.” Herlin mempersilakan seluruh anggota keluarga di meja makan itu, beserta Shandy, untuk mulai menyantap hidangan.
***
Shandy mengendarai mobilnya membelah jalanan ibu kota yang masih ramai meski malam sudah merangkak naik. Kendaraan itu tidak menuju ke apartemen miliknya, melainkan ke rumah orang tuanya. Hanya setengah jam setelah dia meninggalkan rumah kediaman keluarga Subagja, Fahria menelepon dan meminta Shandy untuk datang ke rumah.
“Shandy, apa sih maksud kamu bicara seperti itu ke Tante Herlin?” Fahria memberondong Shandy dengan pertanyaan bahkan sebelum pemuda itu mengambil tangan ibunya untuk dicium.
“Maksud Mami, kata-kataku yang mana?” Shandy balik bertanya usai mengecup dengan takzim punggung tangan ibunya.
Fahria menghela napas dan mengembuskannya dengan keras, “Kamu tidak datang makan malam di rumah mereka hanya untuk mengatakan bahwa kamu tidak tertarik pada Melani, kan?”
Shandy menaikkan kedua belah alisnya. Luar biasa sekali bagaimana apa-apa yang dibicarakan di meja makan keluaga Subagja dua jam yang lalu bisa sampai ke telinga ibunya secepat ini.
“Shandy, bagaimana hubungan kamu dengan Melani?” Herlin menanyakan itu usai makan malam mereka. “Apakah kalian tidak berpikir untuk membawanya ke hubungan yang lebih serius?”
“Melani baru mengenalku kurang dari sebulan. Kami baru bertemu mungkin sekitar lima kali. Untuk melangkah ke hubungan yang lebih serius mungkin terlalu cepat, iya kan Mel?” Shandy menyahut dengan tenang.
“Eh, itu…aku…aku tidak masalah kalau kita….” Melani tampak ragi-ragu menjawab.
“Lagi pula aku tidak berencana untuk memiliki hubungan serius dalam waktu dekat ini.” Shandy menambahkan dan itu segera membungkam ucapan Melani, “Prioritasku sekarang adalah perusahaan. Dan aku rasa aku tidak bisa terlibat dalam hubungan apa pun. Aku khawatir tidak bisa membagi waktu dan perhatianku.”
“Shandy!” Seruan Fahria membuyarkan lamunan Shandy yang tengah memutar kembali kejadian di meja makan keluarga Subagja dalam ingatannya.
“Mi, aku tidak bilang kalau aku tidak tertarik pada Melani.”
“Jadi kamu tertarik?”
“Bukan begitu, Mi.” Shandy berusaha menjelaskan namun tetap berupaya untuk membuat ibunya tidak kecewa.
“Shandy, Mami itu tau kalau kamu sedang fokus mengerjakan ekspansi bisnis perusahaan bersama Papi, tapi Mami juga ingin kamu mulai memikirkan masa depan kamu. Maksud Mami, usia kamu saat ini sudah sangat layak untuk mulai memikirkan pernikahan.”
Shandy hanya mengangguk. Dia tidak berniat sama sekali untuk membantah ibunya. Dan lagipula itu rasanya percuma saja untuk dia lakukan.
“Atau kamu sudah punya calon sendiri?”
“Hah? Maksud Mami?”
“Mami tidak mau terima alasan apa pun dari kamu, Shandy. Kalau kamu menolak berhubungan serius dengan Melani, itu sebaiknya karena kamu sudah punya calon sendiri. Bukan karena hal lainnya termasuk perkara bisnis!”
“Ah, itu….”
“Sekarang Mami tanya, apa kamu sudah punya calon sendiri? Ayo jawab Mami!”
“I…itu…. Iya, Mi.”
Mata Fahria membelalak, “Oh, astaga! Mami tidak salah dengar kan, Shandy? Kalau begitu cepat pertemukan Mami dengan dia!”
“Hah? Apa?”
“Pertemukan Mami dengan pacar kamu secepatnya.”
“Ta…tapi…”
“Ingat, Shandy! Mami tidak mau terima alasan apa pun!”
“Oke.” Shandy menyahut cepat. Dan bayangan wajah Adelia segera melintas di kepalanya. Kalau ada yang bisa membantunya keluar dari situasi sulit ini, mungkin itu adalah Adelia.[]