3D

1695 Words
05.10 Di luar hujan deras. Bree sedang sibuk membongkar lemari pakaian dan menjejali dress peninggalan keluarganya satu persatu. Sementara itu Dean baru saja usai menumpuk kayu bakar dan menyalakan perapian. Ketika ia membuka jendela kayu di lantai bawah, suara gemuruh air hujan di luar terdengar keras. Dean berdiri di belakang jendela itu untuk mengamati hujan yang membanjiri pekarangan seperti air bah. Tatapannya mengikuti kemana air itu bergerak. Ada sebuah celah kecil seperti selokan di dekat sana yang mengalirkan airnya menuju sungai. Sementara itu kabut putih kian menebal. Bukit di kejauhan hanya dapat terlihat sebagai garis gelap lurus yang samar, dihalangi oleh pepohonan tinggi yang melambaikan dahannya ketika tertiup angin. Dean mendapati bahwa menghadapi hujan badai disana bisa berkali-kali lebih mengerikan ketimbang di kota. Air hujannya yang jatuh memukul atap kayu mengeluarkan suara deruan keras yang memekakan telinga. Kayu-kayu peyangga pagar patah dari kaitannya. Di kejauhan dahan pohon yang tidak mampu menopang embusan kencang anginnya tumbang. Petir menyambar sebuah tiang besi dengan keras, menciptakan cipratan api yang hilang secepat kemunculannya. Belasan ekor kijang berlarian di hutan, mereka sedang mencari tempat perlindungan yang aman. Namun karena banyaknya pohon di sana, nyaris tidak ada satupun tempat yang aman untuk mereka. Pohon besar bisa saja tumbang seketika. Sementara itu angin yang bertiup kencang mengayunkan jendela kayu di dapur hingga terbuka lebar. Dean mendengar suara bedebum keras saat sesuatu jatuh menyentuh permukaan lantai. Ia menutup jendela di ruang tengah kemudian berjalan cepat menuju dapur. Sisa makanan tersebar di atas lantai, bersama dengan wadah makanan dan vas biru kecil yang sudah pecah berkeping-keping. Seekor kucing hitam yang masuk melewati jendela yang terbuka sedang berkeliaran di bawah kaki meja. Ketika Dean mendekat, kucing itu sontak berlari ke bawah kursi kayu, seolah-olah tahu kalau Dean akan mengusirnya dari sana. “Yang benar saja!” Dean hendak melangkah melintasi ruangan, tapi baru teringat pecahan vas masih tersebar di atas lantai kayunya yang basah. Tunggu! Basah? Dean menegadah, tapi tidak ada air yang menetes jatuh dari langit-langit ruangan. Lantai di bagian atas pondok tidak bocor, namun air yang merembes melewati sela-sela kakinya tidak mengatakan hal lain. Jadi ia memutar tubuh dan mencari-cari ke sekitarnya. Tatapannya berusaha mengukuti jejak air, berusaha menemukan dari mana air itu berasal. Hasilnya nihil. Tidak ada gelas yang tumpah, dan jika airnya berasal dari vas bunga, maka vas itu terlalu kecil untuk dapat menampungnya. Sementara itu, hampir setiap sudut lantai di dapur terasa lembab. Dean berpikir mungkinkah airnya berasal dari jendela yang terbuka? Rasanya mustahil. Sebelum air itu mengalir ke lantai, seharusnya air itu melewati nakas kecil yang diletakkan persis di depan jendela. Masalahnya, nakas itu tidak basah sama sekali. Tidak ada air yang merembes di belakang permukaan dindingnya. Lalu dari mana asalnya air itu? Dean menunduk hingga lututnya membentur lantai kayu. Kedua tangannya terbuka di atas sana, kemudian ia membungkukkan badan hingga satu telinganya menyentuh permukaan lantai. Di bawah sana ia mendengar suara cipratan kecil seperti genangan air yang jatuh dari atas pipa ke permukaan yang padat, seperti lantai semen atau baja. Airnya jatuh lambat secara bergiliran, namun suaranya seakan menggema sampai ke telinganya. Ruangan kosong di bawah tanah? Bree tidak mengatakan kalau pondok itu memiliki gudang bawah tanah, tapi saat berkeliling kemarin, Dean tidak melihat pintu masuk menuju ruangan lain. Pondok hanya terdiri dari dua lantai: lantai dasar dan lantai atas. Ada dua pintu di lantai atas: pintu kamar yang ditempatinya dan juga pintu yang mengarah ke balkon. Dan tiga pintu di lantai dasar: pintu utama, pintu di belakang dapur dan pintu yang mengarah ke jalur setapan menuju hutan. Setelah semalaman penuh menempati pondok itu, Dean telah menghapal semua ruangannya: dua kamar kosong di lantai bawah, ruang tengah, ruang belajar tepat dimana deretan buku-buku tua dipajang di atas rak, kemudian dapur, dan dua kamar lagi di lantai atas. Kamar mandinya menyatu dengan kamar utama di lantai dasar dan di lantai atas. Ada gudang di belakang pondok. Gudang itu terletak kira-kira sepuluh meter jauhnya dari pondok. Pintunya dikunci dan dari depan tempat itu tampak gelap dan usang. Tidak ada akses lain menuju ruang bawah tanah. Lalu apa yang baru saja di dengarnya di bawah permukaan lantai? Dean mengetuk-ngetukkan tangannya di atas permukaan lantai kayu itu kemudian menunggu. Hening. Tidak ada suara apapun yang terdengar, jadi ia mencobanya sekali lagi. Kali ini ketukan itu disambut oleh dentuman keras yang telah membuatnya terlonjak kaget. Dean yakin suara itu berasal dari bawah permukaan lantai kayu. Seperti seseorang baru saja memukulkan benda keras di atas permukaan besi. Seluruh indra-indranya menjadi waspada. Dean mencoba untuk mengetukkan tangannya sekali lagi. Kali ini tidak ada jawaban. Mungkin hanya halusinasinya saja. Nikki benar. Mungkin seharusnya Dean tidak menghentikan pengobatannya. Sekarang, dia harus harus membuktikan apa yang dilihat dan didengarnya benar-benar nyata dan bukannya merupakan halusinasi semata. Satu-satunya cara untuk membuktikan hal itu hanya dengan menemukan pintu masuk menuju ruang bawah tanah. Tapi kalau ternyata ruangan itu memang tidak ada, sudah pasti Bree akan menganggapnya gila. “Dean!” Suara itu datangnya dari belakang. Ketika berbalik, Dean mendapati Bree sedang berdiri di pintu dapur, mengenakan dress hijau berlengan panjang dengan motif bunga dan renda yang melingkar di seputar lehernya. Wajahnya memerah ketika memandangi Dean, terheran-heran, kemudian Dean sadar kalau dia masih berjongkok di atas lantai. “Apa yang kau lakukan?” Sembari menatap lantai yang masih basah itu, Dean berdiri kemudian menggeleng pelan. “Bukan apapun.” Bree menatap ke arah yang sama, tapi hanya sebentar sebelum bertanya, “bagaimana menurutmu?” “Apa?” “Gaunnya. Bagaimana menurutmu?” Kepalanya sudah dipenuhi oleh sejumlah pertanyaan sampai Dean nyaris melupakan soal gaun itu. “Itu umm.. bagus.” Bree mengangkat sebelah alisnya. “Bagus?” “Cocok,” Dean memperbaiki. “Sangat cocok untukmu.” “Bagaimana dengan warnanya? Kau suka?” “Jangan tanya aku. Apa yang kau pikirkan? Kau suka?” Bree tersenyum lebar kemudian mengangguk keras, “ya!” “Kalau begitu aku juga suka.” “Aku sudah menemukan jas yang cocok untukmu, mau mencobanya?” “Tentu.” “Ayo!” Bree mendekat untuk menarik lengannya. Sebelum meninggalkan dapur, Dean kembali menatap lantai itu, kemudian berjalan mengekor Bree untuk menjejali pakaian. Yang mengejutkan, keluarga Bree menyimpan satu lemari penuh setelan jas yang tampak masih bagus. Bree mamastikan Dean menjejalinya satu persatu. Setidaknya hampir satu jam Dean berdiri di ruangan itu, berusaha menyenangkan Bree dengan semua jas yang dijejalkan padanya. Bukannya ia tidak suka, Dean menyukai wanita itu, dan ketika melihat Bree tersenyum lebar, ada satu keinginan dalam dirinya untuk terus menyenangkannya. Tapi Dean juga tidak bisa melupakan beberapa hal yang mengganggunya ketika berada di pondok itu. Berhubung suasana hati Bree sedang baik, Dean berpikir itu adalah waktu yang tepat untuk bertanya. “Hei, kenapa kalian tidak menyimpan kaca di rumah ini?” Sembari membenahi kerah kemeja Dean yang terlipat dan mengancinginya, Bree menjawab dengan tidak acuh. “Kaca tidak diperbolehkan disini.” “Tapi kenapa?” “Untuk menghormati leluhur kami. Dulu leluhur kami hidup serba kekurangan, dan tersiksa. Tapi mereka mengorbankan diri untuk mempertahankan tempat ini. Jadi para tetua mengajarkan kami untuk meninggalkan semua yang kami punya dan hidup sederhana. Para tetua juga meyakini kalau cermin dapat membawa nasib buruk.” Dean menggeleng dengan heran. “Aku tidak bisa berpikir seperti itu.” Tersenyum, Bree bergerak menjauh untuk melipat beberapa jas yang sudah di coba. “Ya, tapi kehidupan disini akan terasa sangat keras untuk pendatang baru. Saat pertama aku datang ke kota, semuanya terasa berbeda dan agak sulit bagiku untuk menyesuaikan diri. Tapi, lama-lama aku jadi terbiasa.” “Apa kau juga meyakini itu?” “Apa?” “Tentang cermin yang dapat membawa nasib buruk?” “Mungkin..” “Apa maksudmu?” “Maksudku, itu bisa saja. Saat kita berdiri di depan cermin, kita akan melihat banyak kekurangan dan akhirnya kita berusaha untuk menutupi kekurangan itu. Sebenarnya, yang seperti itu tidak diperlukan.” “Ya, aku setuju, cermin pastinya memiliki kegunaan lain, kan?” “Untuk apa? Menatap dirimu sendiri dan melihat luka dari masa lalumu?” “Yang benar saja!” “Itu benar, Dean. Apa yang diajarkan leluhur kami benar.” Dean hendak membantah, tapi mengurung niatnya dengan cepat dan mengalihkan topik percakapan mereka dengan bertanya, “hei, kau tidak pernah mengatakan padaku tentang makam di hutan?” Tiba-tiba Bree mematung. Pergerakannya terhenti seketika. Kemudian ketika wanita itu mulai menatapnya, Dean melihat kecurigaan pada sepasang mata birunya yang berkilat. “Makam?” tanya Bree dengan suara pelan. “Ya. Makam di tengah hutan.” Wanita itu menggeleng, tampak gelisah. “Tidak ada makam.” “Aku bisa menunjukkan padamu fotonya..” Dean melangkah mendekati Bree sembari merogoh ponsel di dalam sakunya dan membuka foto terakhir yang diambilnya. Ketika ia menjulurkan ponselnya arah Bree, wanita itu hanya menatap gambar itu sambil lalu kemudian cepat-cepat berpaling. “Itu hanya makam hewan peliharaan.” Sembari mengamati foto itu, Dean berjengit. “Kau yakin? Kelihatannya tidak begitu..” “Ya! Dan Dean.. kau seharusnya tidak boleh datang kesana. Itu kawasan tertutup di hutan.” Bree mengangkat sejumlah jas yang sudah dicoba dan memasukkannya kembali ke dalam lemari. Dean mengekor di belakangnya, masih berusaha menuntut penjelasan. “Kenapa kawasan itu ditutup?” “Aku tidak tahu, sudah begitu sejak dulu!” Bree terdengar frustrasi, tapi Dean tidak berhenti sampai disana. Ada terlalu banyak pertanyaan yang menggantung di kepalanya. Meskipun ia punya firasat kalau Bree tidak akan memberinya jawaban, tetap saja ia bertanya. “Bagaimana dengan tulisan di papannya. Kau tahu apa artinya?” “Tidak.” “Kau bilang kau mengerti bahasa..” Bree berbalik, tampak begitu frustrasi dan berteriak keras di depan wajahnya. “Aku tidak tahu, Dean! Tidak untuk kalimat itu.” Dean menelan liur dan tertegun saat memandangi wanita itu. Kemudian perlahan-lahan ia mulai mengangguk sebelum melangkah mundur. “Hanya makam hewan peliharaan,” ulang Dean dengan suara pelan meskipun ia hendak meyakini yang sebaliknya. Bree mendekat kemudian berjinjit untuk mencium pipinya. “Maaf aku tidak bermaksud kasar, tapi kau harus menjauhi tempat itu. Kau percaya padaku, kan?” Hening. “Dean?” Dean mengangguk. Bree tersenyum lembut kemudian meninggalkan Dean di ruangan itu sendirian dengan semakin banyak pertanyaan di kepalanya. Apa Bree baru saja membohonginya? Bagaimana mungkin Nikki lebih mengetahui arti dari kalimat itu daripada Bree yang dibesarkan disana?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD