DAY 3

1788 Words
09:10 Ada sesuatu yang menggantung di langit-langit kamarnya, seperti bayangan monster berkepala hitam dari masa lalunya. Awalnya monster itu tampak kabur, tapi seiring berlalunya waktu, wajahnya semakin jelas. Monster berkepala hitam itu memiliki mata besar yang warnanya semerah darah. Kedua mata itu selalu terbuka dan memperlihatkan pupil kecil hitam di bagian tengahnya. Ada cairan putih berlendir yang terus menerus keluar dari mulutnya. Cairan itu menetes di atas wajah Dean. Monster berkepala itu juga memiliki rambut lebat seperti sulur tanaman berwarna coklat yang menggantung persis di atas wajahnya sampai memblokade semua cahaya yang masuk melewati jendela kamar. Dean membiarkan kedua matanya tetap terbuka untuk menatap wajah mengerikan monster itu. Kemudian ada ketegangan yang mencekam saat ia menyaksikan monster itu membuka mulutnya perlahan-lahan dan memperlihatkan sebaris gigi kuning yang tajam, lidah merah yang panjang seperti ular dan lubang hitam besar di dalam mulutnya. Moster itu bergerak turun dan semakin turun sampai wajahnya berada persis di depan mata Dean. Kini kedua matanya terbuka lebar, jantungnya berdegup kencang. Dean merasakan udara semakin tipis dan mencekik. Persis ketika monster itu membuka mulut dan siap untuk melahapnya, Dean tersentak bangun dari tidur. Dengan nafas tersengal, Dean menatap ke sekelilingnya. Tidak ada monster. Matahari telah merangkak di atap pondok. Cahayanya membanjiri setiap sudut tempat dan menyusup masuk melewati jendela kamarnya. Di sampingnya Bree masih tertidur pulas. Satu lengannya melingkari pinggul Dean. Kedua matanya terpejam erat, nafasnya berembus dengan teratur. Dean tidak menyangka seseorang dapat tidur sedamai itu ketika ia masih saja dihantui oleh monter dari masa lalunya. Sembari mengatur nafasnya, Dean menatap ke arah alarm di atas nakas yang menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Ia menyingkirkan lengan Bree dan selimut dengan hati-hati kemudian menyeret tubuhnya turun dari atas ranjang. Hawa dingin yang tertinggal di lantai kayu menusuk telapak kakinya ketika Dean berjalan perlahan mendekati kamar mandi. Ia membasuh wajahnya di wastafel kemudian mencengkram tepian wastafel itu sembari menatap dinding kosong. Bagaimana mungkin keluarga Bree tidak meletakkan satupun cermin disana? Bagaimana ia akan menyadari betapa kacau kondisinya pagi itu? Pakaian yang kusut, mata menghitam, dan bekas makanan yang tersisa di sela-sela giginya. Dean mengabaikan semua itu dan memutuskan untuk menanggalkan pakaiannya dan berdiri di atas pancuran air. Tubuhnya mengigil saat butir-butir air dingin dari pancuran itu menghujani kulitnya. Ia membasuh tubuhnya dengan cepat kemudian berpakaian dan turun ke dapur untuk membuat kopi. Bree meletakkan banyak jenis kopi di lemari penyimpanannya, hanya saja tidak satupun dari kopi itu terasa familier untuknya. Namun rutinitas pagi hari tidak bisa dilewati begitu saja hanya karena Dean tidak mendapatkan kopi kesukaannya. Jadi, ia memutuskan dengan cepat untuk meramu kopi hitamnya sendiri. Tidak banyak makanan yang tersedia di lemari penyimpanan. Hanya ada sejumlah makanan kaleng yang sudah berdebu. Dean membaca tenggat waktu konsumsi pada permukaan kaleng itu. Beberapa makanan yang sudah melewati batas waktu konsumsi langsung ia singkirkan ke dalam bak sampah hingga yang tersisa hanya dua kaleng berisi kacang merah. Dean merengut, tapi perutnya mengatakan hal lain. Ia mengeluarkan telur dari dalam kulkas, berharap kalau telur itu masih layak untuk dikonsumsi, kemudian menyalakan kompor dan menyajikan kacang merah dan telurnya sendiri. Lima belas menit kemudian Dean duduk di dapur sembari menyantap makanannya. Ia memeriksa ponselnya dan mendapati dua panggilan tidak terjawab dan dua pesan dari Kate masuk ke ponselnya pada dini hari sekitar pukul dua. Apa yang terjadi pada GPS-mu? Sialan, Dean, dimana kau? Dan pesan lain bertuliskan: Serius, Dik. Mungkin kita perlu bicara empat mata. Dari arah kamar, Dean mendengar derap langkah kaki seseorang kemudian disusul oleh suara pancuran yang dinyalakan. Air menghantam permukaan lantai dengan keras, menimbulkan suara berdesis pelan yang terdengar sampai ke telinganya. Setelah bangkit berdiri, Dean bergerak keluar meninggalkan dapur. Ia bergerak mondar-mandir di sekitar pekarangan selagi berusaha menghubungi Nikki. Ajaibnya sinyal benar-benar muncul kala it. Yang menyebalkan, panggilannya langsung dialihkan ke pesan suara. Ayolah, Nikki, kenapa kau seperti ini? Dean mencoba untuk kali kedua. Hasilnya nihil, sementara itu sinyalnya bisa hilang kapan saja. Kesempatan baik tidak boleh disia-siakan. Dean berpikir cepat dan akhirnya memutuskan untuk menghubungi Kate. Kali ini keberuntungan berpihak padanya karena panggilannya langsung terhubung setelah deringan kelima. “Kate? Ini Dean.” “Bukan, ini Michael. Ibu sedang di dapur.” Michael putra sulung Kate sekaligus anak tunggal hasil dari pernikahannya yang kandas bersama Matthew. Sekarang bocah laki-laki itu sudah berusia sepuluh tahun dan selama itu juga Kate membesarkan Mickey kecil sendirian. Berusaha menjadi ibu dan ayah yang baik untuk putranya meskipun Kate mengakui berkali-kali pada Dean kalau ia tidak pernah berhasil. “Michael, bisa tolong kau serahkan teleponnya pada ibumu? Aku perlu bicara dengannya.” “Ya, tapi kuperingati kau, Paman, dia tidak sedang dalam suasana hati yang baik.” Kalimat itu membuat Dean merasa geli. Ia tidak ingat kapan terakhir kali kakaknya berada dalam suasana hati yang baik. “Tidak apa-apa, Michael. Aku hanya perlu berbicara dengannya.” Dean mendengar derap langkah kaki Michael ketika menuruni tangga, tiba-tiba teringat sesuatu. “Omong-omong, kenapa kau belum berangkat sekolah?” “Ini hari thanksgiving, paman. Semua sekolah diliburkan.” Dean membayangkan keponakannya menanggapi pertanyaan itu sembari memutar bola mata. Namun yang mengejutkan adalah fakta betapa mudahnya ia melupakan hari perayaan itu. “Sial, aku lupa!” “Apa yang kau lupakan?” Pertanyaan itu datangnya bukan dari Michael, melainkan Kate. Kulit wajahnya terasa panas saat Dean mendengar suara Kate yang keras. “Bukan apapun,” kilah Dean dengan cepat. “Kenapa kau tidak menjawab panggilanku? Sialan Dean, kenapa pergi mendadak?” “Ya, maaf aku belum sempat menghubungimu. Aku khawatir kalau kau sedang sibuk.” “Omong kosong! Dimana kau? Kenapa GPS-mu tidak bergerak?” “Ya, aku meninggalkan mobilku.” “Kau meninggalkan mobilmu? Kenapa?” “Ban-nya pecah, Kate, dan aku berada di atas gunung. Bengkel terdekat jaraknya puluhan kilometer dari sini. Ini tidak seperti di kota, kau tahu?” “Jadi apa yang kau lakukan disana?” “Aku ingin menemui keluarga baruku, itu saja..” “Kau lucu sekali Dean, sejak kapan kau terobsesi untuk menambah anggota keluarga baru? Yang ada saja tidak kau pedulikan..” “Diam, Kate! Aku serius..” “Tidak! Aku juga serius. Kapan kau kembali? Apa kau akan menelantarkan putrimu begitu saja..” “Aku tidak menelantarkan Sam!” “Oh ya? Kalau begitu aku mau tahu apa yang dia katakan tentang rencanamu ini?” “Aku.. um.. aku tidak mengatakan hal ini padanya, tapi sudah bicara dengan Nikki.” “Ah, kan! Berapa lama?” “Tujuh hari, kuharap tidak lebih dari itu.” “Apa maksudmu tidak lebih dari itu?” “Perjalanannya sangat panjang dan aku tidak yakin Bree mau kembali ke kota dengan cepat. Dia baru saja bertemu keluarganya setelah belasan tahun dan kami berencana menggelar pesta pertunangan disini.” “Kau gila!” “Ya, tapi itu benar Kate.” “Dean, aku tahu kau merasa kesal pada Nikki, tapi kau harus mendengarkan saranku, itu tidak bijaksana kalau kau memutuskan pernikahan dengan orang asing begitu cepat.” “Bree bukan orang asing. Aku mengenalnya, Kate. Aku sudah melihat keluarganya, mereka orang baik. Mereka menyambutku disini.” “Oh ya? Berapa lama kau mengenalnya?” “Bree?” “Kita sedang membicarakannya sejak tadi.” “Dua bulan..” “Dua bulan?” Kate mengajukan pertanyaan retoris dengan nada yang menekankan bahwa Dean baru saja mengatakan fakta konyol padanya. “Ya, dua bulan!” “Dan kau pikir itu cukup..” “Dengar, Kate! Aku menghargai niat baikmu tapi aku benar-benar tidak ingin mendengar semua itu sekarang.” “Baik, terserah padamu, Dik. Memangnya aku bisa mencegahmu? Dari dulu kau kan sangat susah mendengar nasihat orang lain..” “Sinyalnya sangat sulit disini. Ketika aku berbicara denganmu, kuharap akan mendengarkan hal-hal yang bagus.” “Ha - Ha! Entah kenapa kau jadi terdengar seperti Matt.” “Hah?” “Lupakan saja! Jadi kenapa kau menghubungiku?” “Aku butuh bantuanmu..” “Sudah kuduga!” “Aku mencoba untuk menghubungi Nikki, tapi panggilannya terus dialihkan ke pesan suara. Semalam aku menghubunginya, dia bilang Sam mengalami kecelakaan kecil, dia jatuh dari perosotan. Aku hanya ingin memastikan Sam baik-baik saja.” “Terus?” Dean memejamkan mata. Kate terdengar tidak begitu terkejut. Tampaknya Dean menjadi orang terakhir yang diberitahu kalau putrinya mengalami kecelakaan. “Aku mau kau mendatanginya untuk memastikan mereka baik-baik saja..” “Mereka? Maksudmu Nikki dan Sam?” “Sam. Nikki juga.. maksudku.. sialan, Kate, lakukan saja, oke?! Aku khawatir karena Nikki tidak menjawab panggilanku. Aku mengiriminya pesan, tapi dia hanya membacanya. Tidak biasanya dia seperti itu.” “Memangnya apa yang kau harapkan? Kau kan sudah menelantarkannya di rumah itu bersama bocah lima tahun yang tidak tahu apa-apa.” “Kate.. tolong..” “Oke, oke. Tapi ini tidak gratis.” “Apa maumu?” “Nanti kupikirkan. Omong-omong, bagaimana dengan mobilmu? Apa rencanamu kalau kau tidak bisa membawanya ke bengkel?” “Aku akan memperbaikinya sendiri.” “Oke, tapi memangnya kau bisa?” “Tidak.. tapi..” “Sudah kuduga! Ada buku pandual manual di bagasimu. Seingatku aku meletakkannya disana lengkap dengan semua alat yang kau butuhkan untuk mengganti ban-nya.” Dean terkejut karena Kate tahu barang-barang yang tersimpan di bagasinya. “Bagaimana kau tahu?” “Minggu lalu aku meminjam mobilmu. Masih ingat, kan?” “Ah.. ya! Kau mencurinya.” “Tidak. Aku berniat meminjamnya, Dik, serius. Hanya saja aku lupa untuk mengabarimu. Kau sangat sibuk sampai-sampai tidak menjawab panggilanku. Tapi itu tidak penting, kan? Lagipula mobilmu sudah memberiku pelajaran. Dia mogok di tengah jalan dan tidak ada alat apapun yang bisa kugunakan untuk memperbaikinya. Sial sekali kan? Jadi aku menyimpan semua alat-alatku disana. Jangan lupa untuk mengembalikannya nanti, ya!” “Baiklah.” Dean mendengar suara pintu belakang yang digeser terbuka. Tubuhnya sontak berbalik dan ia mendapati Bree yang mengenakan kemeja hitam, celana pendek dan sandal merahnya, muncul disana. “Kate aku harus pergi sekarang, jangan lupa untuk menemui Nikki ya! Kau tahu apa yang harus dikatakan, bukan?” “Jangan mengejaku, Dik!” “Oke, oke, terserah kau saja. Terima kasih! Omong-omong, Kate, selamat Thanksgiving!” Kate tertawa begitu keras saat mendengarnya. Alih-alih menanggapinya, wanita itu justru berkata, “hei, hubungi aku kapanpun kau butuh bantuan, oke?” “Ya, semoga saja sinyalnya ada..” “Apa..?” Tapi panggilan sudah diputus. Dean mengantongi ponselnya selagi menyaksikan Bree berjalan mendekat. Cahaya matahari pagi membanjiri wajahnya yang pucat. Bibirnya yang merah tampak seperti baru saja diberi pelembab dan aroma sabun yang mulai tercium familier menguar dari kulitnya yang halus. Wanita itu mengangkat satu tangan sembari menyipitkan mata saat berusaha menghalangi sinar matahari yang menyorotnya dengan tajam. Kemudian ketika ia hanya beberapa langkah jauhnya, Bree membuka bibirnya untuk berkata, “kau mau jalan-jalan?” Tidak ada kegiatan lain yang ia rencanakan pagi itu, jadi Dean langsung menyetujuinya tanpa berpikir ulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD