PART 9 Saling Berargumen

948 Words
 Miko memiliki prinsip dalam hidupnya untuk menerima kekurangan dan kelebihan pasangannya. Dia tidak menuntut keperawanan dari istrinya, karena pada dasarnya itu hak istrinya di masa lalu. Dia hanya ingin menatap ke depan dan menjalani hidupnya dengan pasangan yang telah dipilihnya. Jadi ketika keputusannya untuk mengiyakan ajakan Irna untuk menikah telah ia pikirkan matang – matang dan juga resiko apa saja yang akan ia terima. “Jadi lo nggak masalah Ko? Sungguh nggak terbebani?” Miko tersenyum kecil dan menggeleng, “Adik lo cukup manis kok Bang. Ya kadang masih kayak anjing galak, tapi nurut kok sama gue.” “Lo juga tau kan dia pernah hamil?” Kembali Miko tersenyum tipis dan berkata, “Belum.” “Irna belum cerita?” Miko menggeleng, karena sejujurnya memang Irna belum cerita apa – apa dengannya. Miko juga tidak menuntut wanita itu untuk menjelaskan, dia akan menunggu sampai istrinya itu menceritakan sendiri padanya. “Belum, gue nggak akan paksa dia buat cerita. Itu hak dia, Bang.” Miko bisa melihat wajah Dior yang terlihat lelah, bawah matanya menghitam. Jelas lelaki yang berstatus sebagai kakak iparnya ini belum istirahat sama sekali. “Masalah Irna biar jadi urusan gue, Bang. Lo nggak perlu khawatir. Sungguh.” “Kalau lo mau berhenti sekarang nggak apa – apa Mik. Sebelum semua semakin jauh. Gue nggak mau nanti lo menyesal.” “Gue yang akan menyesal kalau sudah ninggalin Irna, Bang. Gue akan jadi pria b******k kalau ceraikan dia di umur pernikahan kami yang masih bisa di hitung hari.” Miko menjeda sebentar, sebelum menatap Dior dan kembali melanjutkan, “Lagipula gue sudah mulai sayang sama adik lo.” “Secepat itu?” “Adik lo itu mudah buat di cintai. Ya meskipun sikapnya kadang kala jengkelin setengah mati.” “Lo ketemu Abang gue ya?” Todong Irna ketika Miko baru sampai kamar. Pria itu hanya menatap istrinya sekilas lalu melewatinya dan meletakkan tasnya di meja kerjanya. “Kok tau?” “Cilla kemari tadi.” “Ohh..” Miko mengangguk sekilas dan menuju lemari, dia menarik salah satu kaos juga celana pendeknya dan berganti baju di kamar mandi. Sekeluarnya ia dari sana, Irna masih menunggunya sambil berkacak pinggang. “Ngomongin apa aja sama dia?” “Elo lah. Siapa lagi?” “Tentang apa?” Miko menghampiri Irna dan mencubit gemas hidung bangir istrinya itu hingga membuat sang empu meringis lalu menepis tangannya. “Sakit tau!” “Abisnya lo kepo banget.” “Ya wajar dong gue kepo. Yang kalian omongin itu gue,” “Hmm.. siapin gue makanan ya? Lapar nih gue.” “Lo punya tangan sama kaki kan? Ambil sendiri lah. Enak aja nyuruh – nyuruh.” “Apa gunanya istri kalau nggak buat melayani suami?” Mendesis kesal dan menatap jengkel kepada Miko. Pada akhirnya, Irna mengentakkan kakinya untuk turun walau setengah ikhlas, dia tetap mengambilkan makanan untuk suaminya itu. Sedangkan Miko menuju meja kerjanya dan mengambil beberapa lembar kertas ujian peserta didiknya, dia harus segera mengoreksi karena minggu depan sudah mulai pembagian rapor. Jika sudah sibuk dengan tugasnya sebagai guru, maka Miko akan absen membantu di bengkel. Mereka sudah melihat – lihat rumah kontrakan sebanyak tiga kali. Namun dari ketiga rumah yang mereka kunjungi tidak ada satupun yang masuk dalam kriteria rumah yang diinginkan Irna. “Terus mau yang kayak gimana? Semua rumah yang kita kunjungi ada kamar mandinya lho Na di dalam kamar.” “Iya. Tapi aku nggak sreg. Mau gimana dong?” “Ya sudah tinggal di ruko aja.” “Ya nggak bisa gitu dong, Ko. Di sana gerak gue terbatas sumpah. Gue juga capek tau harus naik turun tangga!” Mulai lagi mereka berdebat untuk masalah rumah dan itu sukses membuat Miko dongkol setengah mati. “Untuk sementara pilihannya kita tinggal di ruko. Lagipula lima hari lagi aku mau ajak kamu ke Blitar. Ibuku mau ketemu anak menantunya.” “Hey! Kenapa bilangnya mendadak sekali? Aku belum setuju buat ikut ke sana loh ya!” “Oh ayolah Na. Apa kita harus berdebat masalah ini juga? Nurut saja nurut sama suami kenapa susah sekali sih Na?” Kesal setengah mati pada sikap seenaknya Miko. Irna segera turun dari boncengan Miko begitu motor yang dikendarai Miko berhenti di pelataran ruko. Dengan kaki di hentak – hentak dan mendapatkan tatapan heran dari pegawai juga pelanggan, Irna tidak peduli dan naik ke atas. Sesampainya di kamar dia segera duduk di pinggiran ranjang dan mengambil ponselnya dari dalam tas. Dia menghubungi seseorang dan pada dering kedua panggilannya tersambung. “Halo, Dek?” “Abanggg—Irna sudah nggak tahan! Kalau Abang mau Irna maafin. Pokoknya Abang harus beliin Irna rumah dari jatah warisan Papa! Irna bisa gila tinggal di ruko, Abang! Di sini banyak tikus! Abang tau sudah berapa baju Irna yang bolong karena di maka—mmphh..” Seseorang menarik ponselnya secara paksa, lalu mendorongnya hingga tidur terlentang di atas ranjang. Bola mata Irna membesar akibat ciuman Miko yang terkesan tergesa – gesa dan brutal. Irna memberontak namun kekuatannya kalah. Pada akhirnya dia pun menikmati perlakuan Miko dan luruh oleh sentuhan yang diberikan suaminya itu. Di sela napas sela napas mereka yang tersengal akibat ciuman itu, Miko menatapnya intens dan mereka berpandangan cukup lama. “Oke fix. Gue bakal beli rumah buat elo. Asal lo harus bersabar lima hari tinggal di sini sebelum ikut gue pulang ke kampung. Seminggu kita di sana. Sewaktu kita pulang gue janji kita sudah tinggal di rumah baru. Setuju?” Dalam keadaan b*******h begini, otak Irna memang harus di setting kembali ke mode normal, namun sayangnya ia terlalu enggan untuk berpikir dan mengangguk saja sebagai jawaban. Setelah itu, dia menyambut Miko dengan tangan terbuka. Membiarkan pria itu mengusai tubuh dan pikirannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD