Bab 9
Cerita Penghuni Kost
Sisa setengah hari dilalui Ajeng menjadi patung hidup di ruangan Pak Adam. Saat waktu pulang, ia harus bersabar karena bosnya lagi-lagi sengaja memperlambat pekerjaannya. Bahkan saat adzan maghrib bersahut-sahutan di luaran sana, Ajeng masih berdiri di dekat lemari sedangkan Adam masih menatap lurus layar laptop di depannya.
Barulah lewat 10 menit, Adam pun menutup laptopnya. Ia membereskan meja kerjanya sebentar kemudian bangkit berdiri. Saat ia melihat Ajeng yang memejamkan matanya sambil bersandar di lemari, Adam pun berdehem hingga gadis itu secara refleks meluruskan kembali tubuhnya.
Ajeng membuka matanya dan melihat Adam yang hendak menghampiri pintu ruangannya. "Pak, mau ke mana?" tanya Ajeng.
"Pulang lah. Kamu enggak mau pulang?"
Mendengar itu Ajeng merasa bahagia. Ia tersenyum lebar kemudian mengangguk beberapa kali meskipun Adam tak melihatnya dan lebih memilih ke luar ruangan duluan.
Gadis itu menyusul Adam sambil membawa cangkir kopi yang sejak tadi dipegangnya. Ia sempat melihat laki-laki itu berdiri di lift. Tapi seolah tidak ingin satu lift dengan Ajeng, Adam membiarkan lift yang dinaikinya tertutup dan meninggalkan Ajeng.
***
Ajeng sampai ke pantry dan melihat Afif yang masih menunggunya. "Jeng, kamu lama banget sih," gumam pria itu seperti mengeluh.
"Aku kan harus nungguin Pak Adam pulang, Fif. Kamu sendiri kenapa belum pulang?"
Afif berdecak pelan kemudian menjawab. "Aku menunggu kamu, Jeng. Aku khawatir kalau kamu pulang terlalu malam gara-gara Pak Adam."
Ajeng tersenyum menanggapi ucapan Afif. "Ya udah, aku mau ganti baju dan sholat dulu, sebentar ya. Kamu udah sholat maghrib kan?"
Afif mengangguk kecil. Ia memang tadi sudah menunaikan kewajiban ibadah sholatnya di musholah.
Selama menunggu gadis berambut panjang yang lebih sering dikuncir kuda itu selesai sholat, Afif pun memainkan ponselnya. Tak menunggu waktu lama, Ajeng pun kembali ke luar dari ruang istirahat OG di mana di sanalah ia melaksakan ibadah sholat.
"Cepet banget sholatnya, Jeng." Afif berkomentar pelan sambil memasukan ponselnya ke dalam celana panjang yang dipakainya.
"Ya cepetlah, aku kan sholat bukan semedi."
Afif tertawa kecil. "Iya juga ya. Kalau semedi kan bisa sampai beberapa bulan atau beberapa tahun."
"Haha, tuh tahu." Ajeng mengedikan bahunya sambil tertawa. Mereka perlahan ke luar dari pantry kemudian berjalan menuju lobi depan.
"Jeng, kamu tungguin di pos satpam aja ya? Enggak usah ikut ke parkiran."
Ajeng setuju. Tanpa menjawab, ia pun mulai melangkah menuju pos satpam sedangkan Afif menuju tempat parkir motornya. Ajeng menemui Pak Asep yang saat itu lagi-lagi mendapat sift malam.
"Pak Asep, assalamualaikum."
Pak Asep yang sedang berada di dalam pos pun perlahan ke luar dari tempat jaganya. Ia tersenyum saat melihat Ajeng. "Wa'alaikum salam. Kamu baru mau pulang, Jeng?"
"Iya, Pak. Bapak jaga pos sendirian lagi?" tanya Ajeng sambil melihat keadaan pos yang sepi.
Pak Asep mengangguk. "Iya, mungkin baru awal bulan ada temennya, Jeng. Kamu pulang sama siapa tuh?" tanya Pak Asep sambil memperhatikan motor yang melaju dari dalam kantor.
"Itu si Afif, Pak."
Pak Asep tertawa. Ia pun melihat Afif yang nangkring di atas motornya ketika jarak pandangnya sudah dekat. "Ya sudah, kalian hati-hati ya di jalan. Lagi musim begal, jadi jangan cari jalan pintas yang sepi."
"Baik, Pak." Ajeng menjawab. Ia naik ke atas motor kemudian Afif melajukannya beberapa saat kemudian.
***
Sesampainya di rumah kost, Ajeng yang merasakan tubuhnya sakit semua pun segera mandi dan beristirahat. Ia sengaja berbaring kemudian tidak melakukan apapun. Sampai akhirnya, teman sekamarnya datang dan melepaskan sepatunya dengan sedikit terburu-buru.
"Jeng, kamu tidur?" tanya Inggrid kepada Ajeng.
Gadis yang dikira tengah tertidur itu pun menggeram.
"Kenapa, Jeng?" tanya Inggrid lagi. Ia merasa teman sekamarnya sangat letih seperti sudah menjadi kuli bangunan seharian.
"Aku capek, Mbak. Habis dilatih kayak tentara. Suruh berdiri terus megangin cangkir sampai tanganku kesemutan."
Inggrid memicingkan matanya. Ia merasa bingung maksud ucapan Ajeng. "Kok disuruh? Bukannya kerjaan kamu biasanya begitu. Ke sana ke mari sambil megangin cangkir yang berada di atas baki."
"Bukan, Mbak." Ajeng perlahan mengubah posisi terlentangnya menjadi tengkurap. "Aku dikerjain sama bos aku. Aku kemarin cerita masalah bos pemarah itu kan? Yang suka mecat OG sembarangan."
"Dan yang plin plan juga?" Inggrid tertawa kecil. Ia meletakan sepatunya di rak kemudian menuju meja rias untuk menghapus make up-nya dengan micelar water.
"Iya. Pokoknya seharian ini aku dikerjain sama dia. Dia nyuruh aku jadi patung hidup yang kerjanya megang cangkir dan berdiri di ruangannya. Sengaja banget kan, Mbak?"
Inggrid membayangkan hal itu kemudian tertawa kecil. "Pasti lucu tuh! Coba peragain ke aku, Jeng," ujar Inggrid sambil membalik tubuhnya menghadap ke arah Ajeng.
Ajeng mendesah panjang. "Ogah deh," jawabnya sambil kembali berbaring dengan posisi terlentang. "Mbak Inggrid kalau mau beli nasgornya Aki Suleman aku nitip ya? Aku laper banget tapi mager."
Inggrid menggeleng kecil. "Dasar bocah! Apa-apa mager. Ya udah nanti habis mandi sama sholat aku beliin. Tapi awas loh kalau udah dibeliin terus malah molor duluan."
"Iya, iya. Udah cepet gih sana mandi!"
Inggrid tanpa disuruh lagi pun segera bergerak. Ia selesai membersihkan make up-nya dan sekarang tinggal mandi dan sholat.
***
Inggrid berdecak saat kembali ke kamar. Ia tadi sudah berpesan agar Ajeng tidak ketiduran ketika dirinya membelikan nasi goreng Aki Suleman, tapi bukannya mewanti-wanti hal tersebut, Ajeng malah kelihatan sudah begitu pulas. Ia pun membalikan tubuhnya dan kembali menuju ruang tengah di mana anak kost sedang berkumpul dan saling mengobrol.
"Kok sendirian, Mbak? Mana Ajeng?" tanya Karlina, salah satu penghuni kost yang masih kuliah.
"Ajeng udah keburu tidur. Nih siapa yang mau ngegantiin nasi gorengnya Ajeng?" tawar Inggrid kepada yang lainnya.
Ida yang baru ke luar dari dalam kamarnya menyahut dengan cepat. "Aku." Ia pun dengan cepat berebut dengan Linda dan berhasil memenangkannya.
"Mbak Inggrid, tadi Ajeng dianterin sama cowok lagi loh," ujar Ida.
Inggrid yang sedang santai memakan nasi goreng dalam mulutnya pun segera menelan. "Oh ya, yang pakai matic putih?" tanya Inggrid.
"Iya, hari ini yang pakai matic putih."
"Kemarin yang nganterin pakai motor bebek warna hitam deh kalau enggak salah," gumam Karlina sambil menutup novel yang sedang ia baca. "Orangnya putih, ganteng pula."
"Aku juga lihat waktu Ajeng dianterin pulang sama cowok kemarin. Menurutku sih, dibanding sama yang nganterin Ajeng hari ini, yang kemarin tuh lebih top." Komentar Linda membuat Inggrid terdiam. Kemarin Ajeng tidak cerita apa-apa tentang laki-laki yang mengantarkannya pulang. Ia hanya bercerita tentang Adam, si CEO plin plan itu.
"Iya, orangnya putih banget. Tapi aku enggak tahu dia tingginya semana? Habis enggak turun dari motor sih." Karlina menyahut.
"Heh pada inget cowok masing-masing dong! Kalian bukannya udah pada punya pacar?" Inggrid protes kepada teman-teman penghuni kostnya yang lain.
"Halah, Mbak Inggrid kalau ngelihat tuh cowok juga pasti bakalan kayak kita. Pacar Mbak tuh kalah ganteng sama cowok yang nganterin Ajeng kemaren."
"Emangnya modal tampang bisa bikin kita kenyang? Dimas itu udah jelas pemasukannya." Inggrid yang tidak terima pacarnya dihina-hina pun membalas.
"Iya deh yang cowoknya tentara," gumam Ida lalu tertawa. "Tapi, Mbak. Kalau nanti ketemu Ajeng tanyain nama sama nomer hape tuh cowok dong buat aku."
"Berani berapa?" balas Inggrid lalu berlalu sambil membawa nasi gorengnya. Ia menuju kamar kemudian memakannya di sana. Memang terkadang penghuni kostan nyebelin.
***
Ajeng mengetuk pintu ruangan CEO dan tidak mendapatkan balasan seperti biasanya. Ia pikir Pak Adam belum datang ke kantor, jadi dia memutuskan untuk masuk saja. Ia sudah membawa kain lap untuk membersihkan lemari. Ia memang sengaja membawa kain lap agar ia tidak disuruh Pak Adam untuk berdiri diam. Tapi saat dirinya perlahan membuka pintu ruangan Pak Adam, Ajeng menahan napasnya saat sudah menemukan laki-laki berjas hitam itu duduk di kursinya. "Pak Adam, selamat pagi," sapanya gugup.
Adam hanya berdehem sambil membuka halaman dokumen yang dibacanya. "Kamu terlambat 25 menit," ujar Adam pelan.
"Apa, Pak?" Ajeng merasa syok. Baginya ia belum terlambat.
Adam berdecak sebal. Ia menutup dokumennya dan membantingnya ke atas meja. "Saya datang pukul 07.30. Jadi seharusnya kamu datang sebelum itu. Kamu seharusnya membaca dengan teliti kontrak kerja kemarin. Pekerjaan kamu sangat mudah. Kamu hanya harus merapikan ruangan saya dan menuruti tata peraturan yang saya buat."
"Tapi kemarin Bapak tidak bicara apa-apa ke saya," tukas Ajeng. Dalam hati, ia menahan gejolak dirinya yang ingin marah.
"Berapa usia kamu? Kamu bukan anak TK lagi kan? Kamu bukan anak SD lagi kan? Seharusnya kamu lebih mengerti akan hal itu. Saya rasa, kamu benar-benar tidak berkompeten sama sekali untuk bekerja membantu orang."
Ajeng terdiam, ia hanya menunduk saat Adam memulai kuliahnya.
"Oke, saya kasih kamu toleransi hari ini. Tapi besok, kamu harus datang pukul tujuh. Kamu bereskan ruangan saya kemudian siapkan minuman saya lima menit sebelum saya berada di kantor. Mengerti?"
"Baik, Pak."
Adam melihat lap yang dibawa Ajeng kemudian berkata, "Mending kamu ke pantry dan taruh lap kamu ke tempat semula. Saya enggak mau ada debu di ruangan saya ketika saya berada di dalamnya."
Ajeng merasa bosnya sengaja. Ia pasti akan membuatnya bolak-bolik dari lantai 5 ke lantai dasar.
"Ajeng, kamu dengar perintah saya?" tanya Adam sekali lagi.
"Baik, Pak. Saya mengerti." Ajeng pun membalik badannya. Ia berjalan menuju pintu sambil memikirkan kemungkinan yang terjadi. Benar sekali, pasti setelah ia kembali ke ruangannya sehabis menaruh lap, Pak Adam akan menyuruhnya untuk membuatkannya minuman. Ia pasti akan mengerjainya, pikir Ajeng was-was.
***
Ajeng sudah mewanti-wanti hal ini. Dan tebakannya benar. Sesampainya Ajeng ke ruangan Pak Adam, laki-laki itu menyuruhnya untuk membuatkan kopi seperti biasa. Tapi berkat kepintarannya, ia pun tak perlu lagi naik turun lift.
Keluar dari ruangan Adam, Ajeng berjalan beberapa langkah dan segera mengambil kopi yang sudah dibawanya dan ia letakan di atas meja sekertaris Adam yang belum datang.
Ia kembali masuk ke ruangan itu dalam hitungan dua menit. "Permisi, Pak."
Adam yang tidak menyangka Ajeng akan datang secepat itu pun menoleh dengan mata memicing. Ia melihat Ajeng yang sudah membawa secangkir kopi untuknya.
"Silahkan, Pak." Ajeng mempersilahkan sambil meletakan cangkir yang dibawanya ke atas meja Adam.
Adam merasa curiga. Ia membuka penutup cangkir yang dibawa Ajeng kemudian memegang gagangnya. Dari asap yang masih mengepul ke udara, Adam yakin kopi yang berada di depannya saat ini masih baru dibuat.
"Cepet banget kamu bikin kopi," ujar Adam, antara memuji dan curiga.
"Silahkan dicoba, Pak!" Ajeng tidak membalas ucapan Adam. Ia tersenyum tipis kemudian mempersilahkan bosnya lagi.
Adam curiga. Ia mengecap kopi buatan Ajeng dan tidak merasakan rasa yang aneh. Semua enak-enak saja.
"Bagaimana, Pak?" tanya Ajeng.
Adam yang kesal hanya mengangguk kecil. Ia meletakan cangkir kopinya kemudian memberikan intruksi lagi. "Sekarang kamu pegang ini dan berdiri di sana seperti biasa."
Ajeng pun mendesah, karena nyatanya Adam tetap bersikap tidak menyukainya hari ini.[]
***
bersambung>>>