Kediaman Putra Mahkota

1349 Words
Penyusup itu di bawa ke penjara bawah tanah kastil Putra Mahkota dan akan di interogasi secara pribadi oleh Demien sedangkan Ruby dan Boo tetap di ruangan bersama Azure. Karena aksi mengejutkan yang baru saja Ruby lakukan, Boo tidak henti-hentinya memuji dan menyanjungnya. “Kau sangat hebat, apakah bahkan akupuntur bisa berfungsi seperti itu?” Boo menatap Ruby dengan kagum. “Darahnya benar-benar berhenti mengalir.” “Jika kita menempatkannya pada titik yang benar, dia juga tidak akan merasakan sakit untuk sementara waktu, tapi bukan berarti lukanya tidak akan membusuk.” Ruby memainkan sebuah jarum di tangannya sedangkan bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Azure yang melihat itu mengangkat alis. “Penyusup itu adalah percobaan pertamamu?” Ruby mendongak ke arah Azure sejenak lalu mengangguk dengan senyum semakin lebar, terlihat begitu bahagia dengan keberhasilan dalam percobaan pertamanya. “Benarkah? Jadi kau belum pernah melakukan teknik itu sebelumnya?” Mata Boo membulat tak percaya. Berhasil pada uji coba pertama dalam praktik berdampak hebat seperti itu, bukankah terlalu tidak manusiawi? Oh! Ruby memang buka manusia biasa. “Aku hanya mempelajarinya secara teori dan belum pernah mempraktekkannya pada manusia, aku juga tidak menyangka efeknya akan sangat bagus,” kata Ruby.  Boo memukul pahanya dengan antusias. “Yang mulia, ini adalah kabar yang baik. Lihat saja bagaimana para pesaingmu akan iri begitu mengetahui teknik ini di kuasai orang dari kubu kita.” Hanya dalam satu lambaian saja, Ruby bisa menyelamatkan dan membunuh seseorang. Tidak dapat terbayagkan bagaimana terkejutnya kubu anti-Azure saat melihatnya. Azure tertawa pelan tanpa menarik pandangannya dari Ruby. Dia juga setuju dengan perkataan Boo, teknik pengobatan Ruby pasti akan mengundang banyak perhatian dari kubu pendukung pangeran pertama dan kedua, belum lagi kemampuannya untuk mengendalikan senjata misteriusnya. Saat itu terjadi, mungkin bukan hanya Kerajaan Timur yang menginginkan Ruby, bahkan negara tetangga bisa nekat merentangkan tangannya untuk menarik Ruby ke sisi mereka da itu bukanlah hal yang Azure ingin Ruby alami. “Untuk sementara, kemampuan Ruby tidak boleh di ketahui banyak orang atau para pembunuh akan semakin sering berkunjung.” Azure berkata seolah kata para pembunuh itu hanya sebuah lelucon. Boo mengangguk cepat. “Aku mengerti yang mulia, lagi pula aku juga tidak ingin mereka mulai mengincar Nona Ruby.” Ruby yang sejak tadi hanya lebih banyak mendengarkan mengerutkan kening dan bertanya, “Mengincarku? Untuk apa?” “Kemampuanmu cukup untuk membuat mereka meneteskan air liur.” Boo menjawab cepat dengan sedikit candaan namun Ruby justru semakin bingung. Pangeran Azure menjelaskan, “Seperti yang aku katakan sebelumnya, kekuatan adalah sesuatu yang paling di inginkan di tempat ini dan saat mereka tahu bahwa kau memiliki kekuatan yang langka, mereka akan berlomba-lomba untuk merekrutmu meninggalkanku dan bergabung dengan mereka.” Boo mengangguk-angguk setuju lalu menuangkan teh baru untuk Azure dan Ruby lalu kembali meletakkan teko itu ke atas tungku kecil agar tetap hangat. Ruby tiba-tiba berkata, “Aku tidak akan meninggalkanmu, aku melangkah keluar dari hutan karenamu, jika harus meninggalkan sisimu, maka akan lebih baik jika aku tetap berada di Dark Forest selamanya.” Dahinya berkerut serius, seolah tidak mengerti bahwa perkataan yang baru saja dia katakan membuat dua pria yang ada di hadapannya mematung sejenak. Boo mengangkat cangkirnya dengan hati-hati dan menatap Ruby juga pangeran Azure bergantian. Sepertinya dia telah mendengar percakapan yang seharusnya tidak dia dengar? Azure sendiri masih memegang cangkirnya di udara, menatap Ruby dengan tatapan yang rumit sebelum berdehem untuk mencairkan suasana yang sedikit canggung. “Yang Mulia, jantungmu berdetak sedikit lebih kencang, apa yang terjadi?” Ruby berdiri cepat dan menghampiri Azure, meraih pergelangan tangan pria itu dan memeriksanya lalu mengerutkan kening. “Aneh, kau baik-baik saja tapi mengapa jantungmu berdetak tak normal?” Dia mengulurkan tangan untuk menyentuh d**a Azure namun segera di tangkap oleh pria itu. Boo hampir menyemburkan teh dari mulutnya ketika melihat adegan itu. Setelah terbatuk beberapa kali, dia mengalihkan perhatian ke langit-langit ruangan. Azure berdehem keras. “Aku baik-baik saja.” Ruby ragu. “Benarkah?” Azure mengangguk namun kegugupannya tidak bisa tertutupi, matanya tidak berani menatap ke wajah Ruby sedangkan ujung telinganya mulai memerah. Jika saja Ratu Sophia ada di sana saat itu, dia akan menyadarinya. Boo mengalihkan tatapannya ke lantai, dalam hati mendesah dan bersyukur bahwa Demien tidak ada di sini saat ini atau dia akan membuat masalah lagi. Azure berdehem lagi lalu melepaskan tangan Ruby dengan pelan, dia melihat ke arah pintu dan menyerukan dua nama. Tak lama kemudian dua orang gadis dengan pakaian hijau masuk dengan kepala menunduk. “Willow, Tifa, dia adalah Ruby. Tabib yang aku ceritakan pada kalian kemarin. Mulai hari ini, kalian akan melayani dia dan memenuhi semua apa yang dia butuhkan.” Dua gadis muda itu tidak bisa menahan kerutan di dahinya begitu melihat kain yang menutupi mata Ruby namun menunduk dengan cepat begitu Azure kembali mengalihkan tatapan ke arah mereka. “Baik Yang Mulia.” Mereka menjawab bersamaan dengan suara yang sangat manis dan lembut. Boo yang melihat itu langsung mengangkat alis. Dia tahu bahwa Azure memiliki beberapa selir yang awalnya adalah seorang pelayan rendahan, namun dia sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu justru membuat banyak pelayan jadi berangan-angan untuk memanjat ke tempat tidur Putra Mahkota. Bahka jika mereka tidak bisa menjadi yang terfavorit, kehidupan mereka akan jauh lebih baik tanpa harus melayani orang lain. Azure juga menyadarinya sejak lama, namun selama ini dia tidak pernah begitu peduli. Namun entah mengapa, dia menjadi tak nyaman mendengar suara mereka itu sekarang. Azure melirik sekilas ke arah Ruby lalu melanjutkan perkataannya. “Mulai sekarang Ruby akan mengawasi semua obat dan makanan yang akan aku konsumsi, jadi kalian juga harus menginformasikan ini kepada para pelayan di dapur.” Willow dan Tifa semakin mengerutkan kening namun hanya bisa mengangguk paham. “Aku tidak butuh pelayan.” Ruby yang selalu bisa merasakan suasana hati seseorang di sekitarnya sangat peka terhadap aura permusuhan, jadi dia sangat tahu bahwa dua gadis di hadapannya tidak suka padanya. Lebih baik menolak daripada harus berhadapan dengan orang yang selalu menguarkan aura permusuhan dan merusak suasana hatinya setiap hari, lagi pula Ruby tidak terbiasa di layani. “Kau seharusnya memiliki setidaknya dua pelayan, mereka bisa membantumu dengan banyak hal.” Azure mengerutkan kening, dia sebenarnya juga tahu bagaimana suasana hati dua gadis itu hanya dengan melihat reaksi mereka, tetapi hanya mereka berdualah yang memiliki umur paling dekat dengan Ruby. Apakah terlalu munafik untuk berharap Willow dan Tifa bisa menjadi teman Ruby? Ruby ingin mengatakan sesuatu tapi mulai berpikir bahwa dirinya memang tidak mengerti banyak hal tentang rumah ini, Azure dan Boo tidak mungkin bisa terus menemaninya. Azure akhirnya menghela nafas dan menatap tajam pada dua pelayan itu namun mengatakan perkataan yang cukup lembut untuk Ruby. “Tapi jika kau tidak ingin di layani oleh mereka, aku bisa memanggil beberapa pelayan lainnya dan kau bisa memilih sendiri siapa yang kau inginkan.” Merasakan bahwa situasinya tidak baik untuk mereka, Willow dan Tifa langsung berlutut memohon ampun. Azure mungkin adalah pangeran yang lembut dan ramah, namun dia sangat disiplin kepada pelayan dan juga bawahannya, jika Azure marah, dia tidak akan menghukum seseorang dengan kekerasan fisik namun akan menurunkan posisi orang itu setidaknya selangkah. Willow dan Tifa tidak ingin kembali menjadi pelayan yang hanya bisa mencuci pakaian Pangeran, sekarang mereka telah menjadi pelayan bagian dalam Paviliun dan memiliki banyak waktu untuk berpapasan dengan Yang Mulia, bagaimana mungkin mereka  rela untuk kembali menjadi pelayan bagian luar. “Yang Mulia, Ampuni kami atas kelancangan yang kami lakukan.” Willow berkata dengan suara bergetar yang lembut. “Mohon Izinkan kami untuk melayani Nona Ruby, hamba berjanji akan melayaninya dengan sepenuh hati Yang Mulia.” Tifa juga memohon. “Ya, Yang Mulia, Mohon ampuni kami.” Boo mendengus di dalam hati sedangkan Azure mengabaikan dua pelayan yang berlutut di lantai dan menoleh ke arah Ruby. “Haruskah aku memanggil pelayan yang lain sekarang?” Ruby dia sejenak sebelum akhirnya memutuskan. “Tidak perlu, biarkan mereka berdua melayaniku. Walaupun mereka tidak akan banyak membantu.” Dia mengibaskan lengan bajunya dan kembali duduk untuk minum tehnya yang mulai dingin. Azure dan Boo saling melirik lalu tersenyum geli. Pasalnya gerakan yang baru saja Ruby lakukan itu adalah gerakan yang biasanya paling sering Demien gunakan ketika sedang mengejek seseorang.    Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD