Laksa 20

1710 Words
Laksa 20 Laksa terkekeh pelan saat melihat bagaimana Lika dengan penuh antusias berjalan di depannya, setelah mendapat info dari pak Gunawan yang mengatakan jika di gudang masih ada empat buah ban baru, dia langsung memberitahu pada Lika. Membuat wanita itu dengan semangat menyeret tangannya untuk segera membawa dirinya bertemu pada pujaan hati yang sudah begitu lama dia dambakan. Ban baru dengan aroma eksotis yang memenuhi isi kepalanya. Lika tidak sabar untuk segera memeluk benda bulat berwarna hitam itu, dan lihatlah sekarang, Lika berjalan dengan langkah ringan yang bahkan tidak memperdulikan keberadaan Laksa, seolah Lika sudah tahu di mana letak gudang berada. Hingga di ujung lahan parkir langkah kakinya berhenti, dia terdiam sejenak sebelum menoleh pada Lika yang sejak tadi menatapnya dengan senyum yang tak kunjung turun. "Kenapa?" Tanya Laksa kemudian membuat Lika menunduk malu. Lika terkekeh sebentar sembari merutuki dirinya sendiri karena seolah mengerti tampar tujuannya. "Nggak tau kemana." Cicit Lika, kakinya bergerak di atas tanah, memainkan ujung sepatu yang dia kenakan untuk menggambar corak abstrak di sana. Laksa terkekeh pelan, lalu dia menunjuk koridor yang berlawanan arah dari posisi Lika saat ini. "Di sana?" Tanya Lika mmsetelah mengikuti arah telunjuk Laksa. Tempat yang lumayan jauh dari posisinya saat ini, dan Lika menyesal karena sudah sok tahu tadi, sekarang, mau tidak mau Lika harus berjalan ke ujung koridor yang membuat dia merasa lelah sebelum berjalan. Membayangkan seberapa jauh lokasi yang di tunjuk Laksa membuat dia lemas seketika. "Serius?" Laksa mengangguk yakin. "Dua rius." "CK, kenapa kakak nggak bilang dari tadi coba? Kan nggak perlu muter-muter gini!" Lika kesal, terlihat jelas dari cara dia berjalan dengan menghentakkan kakinya di atas tanah dengan bibir yang mengerucut beberapa senti. Sedangkan Laksa hanya memilih diam sembari menahan tawa yang bisa pecah kapan saja. Apakah wanita hamil akan seperti itu. Atau semua wanita memiliki sisi di mana dia tidak mau dianggap salah? Entahlah Laksa tidak terlalu mengerti hal itu, karena sejatinya wanita memiliki kamus tersendiri yang begitu rumit untuk di mengerti oleh Laksa. "Kakak duluan deh. Nanti nyasar lagi akunya!" Sekali laki laksa terkekeh, setelahnya dia memimpin jalan menuju gudang yang berada di paling belakang bangunan bengkel. Hingga tak lama setelahnya mereka sampai, Laksa langsung membuka kunci gerbang dan menggeser pintu besi itu kesamping. Terlihat begitu banyak barang yang tertumpuk di sana dsn itu membuat Lika terperangah, hingga tatapannya menemukan 4 buah benda berwarna hitam yang sudah lama dia dambakan. Tanpa menunggu Laksa Lika langsung melangkah masuk. "Eh, jangan dipegang dulu!" Lika menghentikan langkahnya, lalu menoleh sebentar pada Laksa yang segera menyusul dirinya. "Terlalu banyak debu, di bersihkan dulu baru kamu pegang!" Lika memperhatikan ban yang ada di hadapannya, terlihat bersih dan masih terbungkus plastik dengan rapih, lalu dimana ada debu? Bahkan dari apa yang Lika lihat, gudang yang dipenuhi dengan banyak barang itu terlihat bersih dan rapih, entah berapa kali orang membersihkan tempat ini. Lika menatap Laksa tidak percaya. "Nggak ada debu kok." Jari telunjuk Lika menyolek plastik pembungkus ban dan setelahnya dia menunjukan pada Laksa apa yang ada di jarinya. "Bersih kan?" Laksa tersenyum tipis. "Kelihatan bersih, tapi belum tentu itu bersih!" Ucap Laksa santai. "Kesiniin tangan kamu!" Lika menurut, dia memberikan tangan yang menyentuh ban tadi pada Laksa, lalu pria itu merogoh saku celananya dan mengambil satu botol kecil yang entah berisi apa. Laksa menyemprotkan cairan itu di tangan Lika. "Di bersihin pake Hand Sanitizer biar nggak bahaya pas kamu cium nanti!" "Tapi, nanti baunya jadi beda kalo di semprot, Lika nggak mau ah, Lika nggak suka!" Tolak Lika saat mengetahui cairan yang ada di botol itu, yang menurut Lika bisa mempengaruhi aroma yang menguar dari ban baru. "Ehh jangan bandel ya?!" Mengerucut kesal, Lika menghentakkan sebelah kakinya bahkan dia membuang wajahnya saat Laksa meraih tangannya sekali lagi. Tak lama setelahnya dingin dia rasakan, saat cairan bening itu mengenai tangannya. "Nah udah, sana peluk sesuka hati kamu!" Melirik sekilas dengan lirikan tajam, Lika membuang wajah setelahnya dengan ekspresi kesal, bahkan ingin rasanya Lika menendang tulang kering Laksa karena rasa kesal yang tak kunjung padam. Bahkan saat tangannya sudah mengelus benda bulat berwarna hitam di hadapannya, Lika masih mencuri pandang kearah Laksa dengan lirikan tajam seolah menunjukkan rasa kesalnya. Hingga aroma yang menguar dari ban baru itu perlahan membuat Lika luluh, dia mengabaikan Laksa dan memilih menyandarkan kepalanya pada ban baru yang ukurannya bahkan tak bisa Lika peluk sepenuhnya. Melihat tingkah Lika membuat sesuatu dalam diri Laksa tergelitik, dia merasa geli, apalagi dengan tingkah konyol dan lirikan tajam yang Lika berikan. Lika semakin membuat dirinya larut dalan suatu yang benar-benar menggemaskan, tidak peduli bagaimana masa lalu Lika, bagi Laksa wanita itu tetaplah Lika yang dulu dia kenal. Lika yang sama walau ada sebuah masalah yang benar-benar tengah dia hadapi. Abaikan saja itu, bagi Laksa melihat Lika terlihat bahagia seperti sekarang ini sudah menjadi sesuatu yang luar biasa untuknya. Tidak ada hal lain yang benar-benar membuat dia sebahagia ini selain melihat bagaimana Lika bahagia. Jika kalian menanyakan apakah Laksa sudah jatuh cinta pada Lika. Maka jawabannya iya. Laksa sadah jatuh dalam pesona wanita itu, wanita yang sudah disakiti oleh adiknya sendiri, dan Laksa tidak peduli. Apapun akan dia lakukan untuk Lika. Sejak kapan? Entahlah, Laksa tidak pernah menyadari perasaannya, tapi saat melihat bagaimana Lika menangis malam itu, ada sesuatu buang membuat hatinya terasa hancur dan sekarang, sebisa mungkin apapun yang membuat Lika bahagia maka Laksa akan mengusahakannya, karena bagi Laksa, Lika adalah kebahagiaannya. "Kak!" Laksa terperanjat kaget saat mendapati Lika sudah berdiri di hadapannya sekarang. Sejak kapan wanita yang sejak tadi tengah menikmati aroma ban baru itu ada di hadapannya, apakah Laksa terlalu lama melamun hingga tidak menyadari kehadiran Lika? "Udah selesai?" Tanya Laksa dengan nada bingung. Lika mengangguk, dia hanya ingin menghirup aroma ban saja, bukan menikmatinya terlalu lama seperti orang kecanduan, dan bagi Lika cukup beberapa saat sudah membuat rasa ingin tahunya berkurang. "Terus kita kemana?" "Ke rumah sakit lah. Kita udah terlalu lama keluar." Jawab Lika yang sudah berjalan melewati Laksa dengan santai. "Oke." Laksa mengangguk kecil lalu mengikuti Lika. "Nggak mampir dulu, kemana gitu?" "Kemana?" Lika menoleh dengan sebelah alis terangkat. "Ya kemana gitu. Emang kamu nggak ada kepikiran mau kemana?" Lika terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan dengan seutas senyum terbit di kedua sudut bibirnya. "Nggak deh, udah bisa cium ban aja udah cukup buat aku." "Oke." Mereka terdiam setelahnya, Lika yang masih fokus dengan bayangan tentang ban, dan Laksa yang lebih asik menatap Lika dengan tingkah konyol dari gadis itu. Apapun yang Lika lakukan seolah menjadi sesuatu yang menarik untuk Laksa. Bahkan saat mereka sudah di dalam mobil dan keluar dari garasi pun keduanya masih sama-sama diam, hanya suara dari lagi yang mengalun merdu di pemutar musik menjadi teman mereka selama perjalanan.     °°°Laksa untuk Lika... Kamar yang baru saja ditinggal oleh Lika dan juga Laksa menjadi senyap seketika. Fira memilih diam dan berbaring di tempat tidur. Sedangkan sahabat Laksa yang dipercaya untuk menjaga Fira memilih bungkam seribu bahasa, tapi matanya tak lepas menatap Fira sejak tadi, membuat wanita merasa risih karenanya. Sesekali Fira melirik untuk memastikan apa yang dia pikirkan benar-benar nyata atau hanya perasaanya saya. Namun setelah melihat bagaimana pria itu menatapnya, Fira memilih mendecih kecil lalu menatap ugi secara langsung. "Lo ada masalah apa sama gue?" Tanya Fira tidak dengan tatapan tidak suka saat ugi masih saja menatapnya, bahkan saat dia sudah menegurnya pria itu tetap saja masih menatap kearahnya. Pria tidak menjawab hanya tersenyum tipis dengan tatapan yang masih saja tidak lepas dari Fira. "Ditanya itu jawab woy!" Kesal Fisa saat pria itu sama sekali tak kunjung menjawab pertanyaannya. Ugi terkekeh kecil, setelahnya dia beranjak dan melangkah mendekat kearah Fira, memilih duduk tepat di sebelah Fira, membuat wanita itu semakin jengah karenanya. "Ngapain Lo duduk di sini!" Tanya Fira semakin risih karenanya. "Nggak usah ngegas lah. Timbang duduk di sini doang, gue nggak mau ngobrol sambil teriak-teriak." "Ya tadi nggak usah di sini juga. Jauhan!" "Udah sih, timbang duduk doang juga." "Terserah!" Ujar Fira membuang wajahnya kesamping membuat Ugi terkekeh kecil karenanya. Wanita itu tidak berubah ternyata, setelah lama mereka tidak bertemu, Fira tetap saja sama, tidak berubah sedikitpun, masih tetap cuek dan angkuh, tidak mudah di sentuh walau sekeras apapun dia berusaha. "Lo apa kabar?" Tanya Ugi mengalihkan pembicaraan, mencoba sok akrab dan semoga saja usahanya membuahkan hasil. "Nggak usah sok kenal!" "Gue cuma tanya kabar. Gitu aja ngegas." Fira menoleh seketika, menatap pria itu dengan sebelah mata terpincing. "Lo buta? b**o? Atau t***l? Nggak usah Lo tanya juga, Lo udah liat gue gimana!" Ugi meringis kecil, terlebih saat Fira kembali membuang wajahnya. Perlahan dia menggerakkan tangannya. Menusuk kecil telunjuknya pada pundak Fira dengan raut geli di wajahnya. "Ira ambekan elah! Timbang tanya doang juga!" Ira? Seketika Fira menatap pria itu dengan tatapan tajam, seingat dia, hanya satu pria yang memanggilnya dengan sebutan Ira, dan itu sudah berlalu lama, tepat saat dirinya duduk di kursi putih abu. Melihat raut terkejut dari Fira membuat Ugi tersenyum geli. "Kenapa kaget? Kangen sama Ugi?" Kedua alisnya semakin mengerut memperhatikan wajah pria di hadapannya lamat-lamat, dan seketika tangan yang bebas dia gunakan untuk meraup wajah Ugi, menggosok wajah itu dengan kesal, saat sekelebat ingatan masa lalu terlintas di kepalanya. "Ugi cupu sialan!" Maki Fira dengan kesal lalu memukul kening pria itu dengan tidak percaya. Di tatapnya lagi wajah pria yang dulu terlihat banyak jerawat di sana, lalu tatapannya turun, memperhatikan tubuhnya yang dulu begitu kurus kini terlihat berisi dan tumbuh tegap. "Kenapa?" "Sejak kapan Lo tahu gue di sini?" Mengedikan kedua bahunya, Ugi terkekeh pelan. "Gue aja nggak percaya sebelum ini, gue kira temen dari doi sahabat gue itu siapa. Eh taunya elo. Makanya dari tadi gue perhatiin lo, dan ternyata itu beneran Lo!" "Pantes aja Lo macam cowok m***m liat orang kaya orang kesetanan!" Ugi terkekeh pelan. Dengan jahil dia kembali menusuk-nusuk pundak Fira dengan telunjuknya seperti yang sering dia lakukan dulu ketika Fira menjadi sosok yang selalu menjaganya dari tindakan bullying di sekolah. "Itu yang di maksud sama Laksa, Lika temen kita dulu kan?" Fira mengangguk pelan, "iya sahabat kita dulu, dan nasibnya nggak sebagus kita. Lo nggak akan percaya dengan kisah yang udah dialami sama sahabat gue itu." Ugi tidak begitu paham dengan apa yang dikatakan Fira, tapi satu hal yang jelas begitu terlihat dari raut wajah Fira saat menceritakan sosok Lika. Wanita itu menyimpan banyak masalah, dan sepertinya tidak mudah untuk dilalui.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD