Laksa 16

1717 Words
Sesuatu yang tidak bisa di hindari oleh Laksa adalah pekerjaan, walau nyatanya dia adalah seorang CEO sekalipun, pekerjaan tetaplah pekerjaan, terlebih Laksa memiliki tanggung jawab cukup besar untuk itu. Dan sekarang dia harus memutuskan untuk meninggalkan Lika demi pekerjaan, atau tetap di sini dan mengutus seseorang untuk menghandle pekerjaannya. Laksa dilema karenanya. Jika dia mengutus seseorang maka, nama baiknya di pertaruhkan di sini, tapi dia juga tidak tega meninggalkan Lika seorang diri dalam keadaan yang jelas membutuhkan seseorang di sampingnya. "Kak?" Tegur Lika yang sejak tadi melihat gelagat tidak nyaman dari Laksa, dia merasa ada yang aneh dengan itu. "Kakak kenapa?" Laksa terkejut sesaat sebelum dia menoleh menatap kearah Lika yang saat ini tengah menatap kearahnya. Lika sudah lebih baik dari beberapa waktu lalu, setelah Laksa menceritakan kondisi Fira. Lika sudah bisa mengendalikan dirinya dan dengan tenang merawat sahabatnya, bahkan Lika juga sempat meminta izin dari bosnya untuk tidak masuk kerja untuk beberapa pekan sampai kondisi sahabatnya membaik. Beruntung Lika memiliki bos yang baik hati dan pengertian, hingga memberi Lika izin untuk itu. Laksa mengulas senyum tipis, menyembunyikan masalahnya di balik senyum itu. "Nggak papa kok." Lika tidak percaya begitu saja. Laksa memang pandai menyembunyikan masalahnya di balik wajah tenang dan senyum yang menyejukkan, tapi bagi Lika, tidak mudah menyembunyikan sesuatu dari seorang Lika. Terbiasa menelan pil pahit dan terjebak dalam begitu banyaknya masalah membuat Lika belajar dan sadar, dan sekarang. Saat Laksa mencoba membohongi dirinya dan mengatakan tidak terjadi apa-apa, Lika bisa menyangkalnya dengan mudah. Lika tersenyum tipis lalu memilih duduk tepat di sebelah laksa, di sofa yang tak jauh dari ranjang tempat Fira di rawat. "Jangan bohong sama aku. Kakak tau aku paling benci dibohongi." Laksa tentu saja terkejut mendengar pernyataan itu, dia membuang tatapannya dan memilih menunduk untuk menatap ponsel yang ada di tangannya, benda yang sudah memberinya kabar tentang pekerjaanya siang tadi. "Kakak nggak mau cerita sama aku?" Ada nada sindiran yang terdengar begitu getir terdengar dari suara Lika, membuat Laksa mengangkat wajahnya untuk menatap wanita itu. Lika menatapnya sedari tadi dengan tatapan yang sulit di artikan. Laksa menghela napas pelan, sebelum menyandarkan punggungnya pada sofa. Matanya terpejam sesaat. Mungkin memang dia harus menceritakan apa yang terjadi sekarang ini, walau entah ini keharusan atau bukan, tapi Laksa tidak ingin membohongi Lika, seperti yang pernah Deon lakukan dulu. "Nggak papa kok, cuma ada masalah di kantor." Laksa menoleh, menatap Lika dengan senyum seperti biasanya. Sesuatu yang malah membuat Lika semakin merasa bersalah, dia sudah banyak merepotkan pria di hadapannya, entah sudah berapa kali Laksa mengabaikan pekerjaan, yang jelas semua karena pria itu terlalu sibuk di sini dan itu karenanya. "Terus, kenapa kakak masih di sini?" "Tentu saja karena kamu!" Sayang Laksa tidak bisa mengucapkan itu dengan lantang, dia masih sayang nyawa dan tidak ingin semua usahanya selama ini malah berakhir sia-sia, sedikit lagi, hanya tinggal beberapa langkah lagi, maka apa yang dia harapkan bisa menjadi kenyataan. Lika bersama dirinya, tanpa seorangpun yang mengganggu "Malah bengong! Udah sana ke kantor!" Laksa bergeming di tempatnya, saat melihat bagaimana wanita itumengusirnya. "Aku nggak ngusir, tapi kamu udah terlalu lama di sini, ngurusin aku sama Fira, sekarang lebih baik kakak urus kerjaan kakak." "Tap-" "Udah nggak papa, aku nggak papa kak. Lagian Fira udah baikan." Walau dalam hati Lika berharap agar Laksa tetap di sini bersamanya, tapi sekali lagi Lika sadar diri, dia siapa dan Laksa siapa, mereka orang asing yang sama sekali tidak memiliki hubungan. Bagi Lika, Laksa hanyalah sosok pahlawan yang selalu ada untuk dirinya, tidak lebih. Lika tidak ingin terlalu berharap banyak. Karena jika apa yang dia harapkan tidak sesuai dengan kenyataan, maka luka yang dulu menganga bisa semakin terkoyak semakin lebar. Lika mencari aman saja dari segala sesuatu yang bisa membahayakan hatinya. Laksa menatap Lika dengan ragu, jujur ya merasa enggan untuk pergi, tapi saat melihat bagaimana tatapan Lika, pria itu hanya menghela napas sebelum beranjak. Baiklah mungkin dirinya memang harus untuk berlalu, mengurus sesuatu yang menjadi ladang masa depannya kelak. "Oke, kakak pergi dulu, tapi...." Laksa menjeda kalimatnya. Tatapan mereka saling beradu pandang, meluruhkan sesuatu yang bukan semestinya. "Kakak bakal kesini lagi setelah semua selesai, jadi kamu ... Jangan aneh-aneh dan neko-neko! Jangan nangis terus dan jangan lupa makan!" Bolehkah Lika merasa dia sedang diperhatikan sekarang? Laksa selalu saja tahu bagaimana cara membuat hatinya menghangat, ada setitik rindu yang terukir jauh di dalam relung hatinya. Terlebih perhatian Laksa begitu mirip dengan apa yang Deon berikan dulu. kenyamanan yang berhasil membuat dia larut dalam sebuah kubangan dosa, menghadirkan sosok suci yang dianggap Haram karena hubungan mereka yang terlarang. Bukan bayi mungil itu yang berdosa, tapi dirinyalah yang sungguh berlumuran dosa, karena sudah larut dalam sesal yang tak berujung. Rasa nyaman yang laksa berikan membuat Lika kembali merasakan takut, kilasan masa lampau dimana Deon memberikan segala hal yang dia inginkan berakhir dalam sebuah kesalahan. Kini Lika tidak tahu lagi harus bagaimana menanggapi Laksa. Ketakutan itu masih saja hadir dan membuat dirinya seolah terkurung dalam sebuah sesal yang begitu menyesakkan. Lika menunduk, menyembunyikan wajahnya dari tatapan Laksa, dia tidak ingin terlalu larut dalam perkataan manis yang laksa lontarkan, sesuatu dalam dirinya jelas menolak hal itu. Laksa menyadari itu, kedua bola mata Lika seolah bergetar saat dia mengucapkan kalimat yang seharusnya tidak dia ucapkan. Pria itu tidak tahu harus seperti apa menanggapi sosok Lika. Dia hanya mendengkus kecil sebelum berlalu tanpa kata. Hanya satu kata yang sempat dia sematkan sebelum kakinya membawa tubuh itu menjauh. "Maaf...." Entah untuk kalimat bagian mana yang membuat Lika kembali murung. °°°Laksa untuk Lika.... Lika menatap kepergian Laksa dengan perasaan hampa, terlebih satu kata diakhir sebelum pria itu pergi begitu membekas di dalam dadanya. Deon tidak pernah melontarkan satu kata yang nyatanya mampu meluruhkan hatinya. Tidak, Deon bukanlah pria yang seperti itu, karena sejatinya mantan kekasihnya itu adalah sosok yang begitu egois dan pengatur, arogan dan keras. Lika begitu paham dengan sosok itu, bahkan hingga sekarang kenangan kelam yang pernah dia lalui dulu masih membekas. Lika menggelengkan kepalanya, tidak. Laksa bukanlah pria yang seperti itu, Lika yakin dengan apa yang dia rasakan. Laksa bukanlah Deon yang akan mencampakkan dirinya jika dia merasa bosan. Laksa bukan pria labil yang hanya akan mempermainkan perasaan wanita. Lika percaya itu, tapi tetap saja, ketakutan di dalam dirinya masih begitu sulit untuk Lika hilangkan. Lika mengenyahkan pikirannya. Dia berusaha untuk berpikir positif dan tidak mau membebani dirinya dengan hal yang akan merugikan dirinya kelak. Dia bergerak mendekat kearah tempat di mana Fira sahabatnya berbaring. Benar, sekarang dia harus lebih fokus mengurusi sahabatnya itu. Pikiran seperti tadi tidak seharusnya Lika pusingkan. Harusnya dia menganggap semua akan berlalu begitu saja, tidak perlu diambil kedalam hati. Karena bagi Lika sudah cukup waktu untuk bermain-main dengan hati. Lika menatap sendu pada sang sahabat yang kini tengah terbaring, sudah dua hari sejak Fira masuk rumah sakit, sahabatnya itu belum sadarkan diri hingga sekarang. Entah apa yang membuat Fira begitu betah dengan dalam tidurnya. Dan lagi, Lika tidak tahu harus berkata apa jika nanti Fira menanyakan prihal Panji. Bulir air mata itu kembali membasahi wajah Lika, dia tidak bisa membayangkan betapa hancurnya sahabatnya ini jika mengetahui sebuah fakta yang benar-benar mengejutkan. Satu hal yang pasti. Lika akan selalu ada untuk Fira apapun yang terjadi nantinya. Satu pergerakan kecil dari tangan Fira membuat Lika sedikit terkejut dan langsung menegakkan tubuhnya, ditatap sang sahabat dengan penuh harap, semoga apa yang dia lihat tadi adalah nyata, sahabatnya sadar, terlihat dari bagaimana Fira mengerjap pelan matanya, lalu tangan kanannya dia gerakan kearah kepala. Melihat itu Lika langsung menahannya, dia tidak ingin sahabatnya banyak bergerak dulu, seperti pesan dokter pagi tadi. "Fira, akhirnya Lo bangun, ada yang sakit?" Tanya Lika sembari mendekat kearah Fira, tangannya ia gunakan untuk mengusap Surai panjang milik sang sahabat. Puji syukur dia panjatkan saat melihat bagaimana kondisi Fira saat ini. Melihat sahabatnya sudah sadar saja sudah membuat hari Lika terasa lebih ringan. "Gue di mana...." Satu kalimat berupa bisikan kecil dengan nada parau membuat Lika tak lagi mampu membendung air matanya, dia tersenyum dalam tangisnya, bahkan tangannya sejak tadi tidak henti-hentinya mengelus Surai hitam milik sang sahabat. "Lo masih di rumah sakit." Mendengar itu, Fira terdiam beberapa saat, dia melirik untuk melihat Lika yang saat ini tepat berada di sebelah atas kepalanya. "Gue ... kenapa?" Fira tidak mengingat kejadian yang menimpanya, terakhir kali dia ingat, dirinya tengah dalam perjalanan pulang dari Palembang, dan setelahnya Fira tidak mengingat apapun lagi. "Lo nggak papa, Lo harus banyak istirahat." Sebenarnya kalimat yang keluar dari mulut Lika adalah sebuah kebohongan besar, tapi Lika tidak mungkin memberitahu semuanya sekarang, Lika akan memberitahukan pada Fira secara bertahap nantinya. "Ka ... Ki, gue ...?" Tegarkan dirimu Lika. Lika memejamkan matanya, dia berusaha merangkai satu kalimat yang mampu diterima oleh Fira dengan baik, jangan sampai dia membuat sahabatnya semakin terpuruk dengan keadaanya. "Kaki, gue...!" Masih dengan suara parau, Fira terlihat berusaha menggerakkan kakinya, sesuatu yang dengan cepat Lika cegah, karena Fira tidak semestinya memaksa kakinya untuk bergerak sekarang. "Kaki Lo di gips, jangan banyak gerak dulu, Fira." "Kenapa...?" Lika memejamkan matanya sekali lagi, dia berusaha menguatkan hatinya untuk mengatakan apa yang seharusnya dia katakan. "Lo kecelakaan setelah pulang dari Palembang, Lo nggak papa kok, tulang kaki Lo sedikit retak." Fira masih terdiam menatap Lika, seolah mencerna kalimat dari sahabatnya itu. Lalu terdengar satu rintihan kecil dan Fira berusaha memegang bagian perutnya, tempat dimana luka jahit itu masih belum mengering. "Jangan dipegang dulu." Fira tidak membantah kalimat Lika, dia menatap penuh tanya, ada sesuatu yang dia rasakan di bagian perutnya dan entah apa itu. "Luka jahit di perut lo belum kering. Jangan dipegang dulu." Satu hal yang Fira tangkap dari kejadian ini, dia merasa kecelakaan yang menimpa dirinya cukup parah hingga membuat tubuhnya terasa remuk, bahkan rasa ngilu dan perih dia rasakan di sekujur tubuhnya. "Gue haus...." Mendengar itu Lika langsung beranjak, meraih satu botol air mineral di atas lemari kecil tepat di sebelah ranjang, dengan cepat dia membukanya, dan meraih pipet agar Fira bisa minum tanpa harus bediri dari tidurnya. Fira langsung meneguk air mineral yang Lika berikan. Fira terlihat begitu kehausan setelah sadar dari tidur selama kurang lebih dua hari. Lika memaklumi itu. Sesuatu yang membuat Lika merasa berguna, setelah sekian lama dia membuat sahabatnya repot, kini dia bisa membalas semua jasa yang sudah Fira berikan kepadanya. Sesuatu yang tidak pernah dia keluhkan. Lika akan senantiasa mencurahkan waktunya untuk mengurusi sahabatnya itu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD