Satu

1151 Words
Alena masih mematung sesaat setelah membuka pintu tangga darurat di kantornya. Tangga yang menghubungkan antar lantai di sebuah gedung perkantoran itu menjadi saksi bisu kisahnya. Kisah ketika dia bertemu dengan seorang pria yang baru dikenalnya. Suara isak tangis itu kian terdengar menyayat hati. Alena pasti akan berlari jika suara itu merupakan suara wanita yang identik dengan sosok mahkluk halus bergaun putih dengan rambut panjang. Bukan! Jelas suara berat itu milik lelaki. Rasa ingin tahu Alena kian tinggi ketika isakan itu semakin terdengar jelas. Dia menuruni tangga dan mengintip demi melihat lelaki yang terduduk lesu dengan menangkupkan wajahnya di topangan tangan. Berjingkat, Alena menghampirinya. Hingga lelaki itu menghentikan tangis dan mendongak melihat seseorang yang kini nampak memperhatikannya lekat. Mata lelaki yang sipit itu kian sembab, bibirnya semakin terlihat berwarna merah. Kulit putih dan postur tinggi. Dia lebih cocok menjadi artis dibanding kan seorang karyawan. Baju kemeja panjang berwarna navy yang digulung sampai siku, celana panjang hitam dan sepatu kets berwarna hitam tampak serasi dengan wajah tampan dan postur tubuhnya yang ideal. Alena tersenyum salah tingkah, lelaki itu hanya menunduk dan menarik napas panjang. "Maaf kalau saya mengganggu, silakan dilanjutkan. Saya akan menemani disini karena saya juga ingin menangis. Bagaimana kalau kita menangis bersama agar tak sepi?" tawar Alena. Hari ini merupakan hari yang berat untuknya juga. Tak ada salahnya kan jika dia ikut menangis? "Terserah," ucap pria itu datar, tak memalingkan wajahnya untuk melihat Alena, lagi-lagi dia melanjutkan tangisnya. Air mata itu tak terbendung. Alena ikut duduk disampingnya dan mendengar tangisan yang terdengar sangat pilu, hatinya ikut tersayat, menangis hingga tak keluar lagi suaranya. Setelah setengah jam menangis, mata mereka berdua kini sembab. Alena membuka botol minum dan meminum air mineralnya. Disodorkan air itu ke laki-laki yang kini sudah berhenti menangis juga. Laki-laki itu ikut minum air dari botol Alena dan memberikan botol yang telah kosong itu ke Alena. "Capek juga ya nangis." Alena mengusap sisa air mata di pipinya. Pria itu hanya mengangguk dan mengulurkan tangannya. "Rafa, Rafasya karyawan lantai sepuluh." Alena membalas jabatan tangan itu. Pantas saja dia tampak pernah mengenal pria itu. "Alena, karyawan lantai dua belas. Klo boleh tau mas Rafa nangis kenapa?" "Dua minggu lagi saya menikah," ucapnya, "lalu?" tanya Alena "Tiga hari lalu, calon istri saya meninggal karena kecelakaan tunggal." Alena menutup mulutnya, kaget tentu saja. Pantas pria yang identik dengan sifat tak mudah menangis itu bisa berlarut-larut dalam tangisan. "Gedung sudah dibayar, catering juga, seluruh keluarga sudah diberi tahu, semua teman sudah tahu karena kami beberapa kali melakukan foto pre-wedding di tempat berbeda. Bahkan kami sudah membayar biaya bulan madu kami ke Korea, negara kesukaannya. Tiga hari lalu seharusnya percetakan undangan mengkonfirmasi jadwal untuk kami cek ulang. Tapi yang terjadi justru saya harus membatalkannya karena gagal menikah." Rafa memandang lurus ke tembok yang berada dua meter dari dirinya. Tangga darurat tak mempunyai ruang yang luas, karena memang hanya dipergunakan untuk keadaan yang darurat saja. Lampunya yang tak terlalu terang dengan bau pengap karena tak terkena sinar matahari yang cukup. Membuat tempat itu jarang sekali dilalui oleh karyawan. Tangan Alena terulur menepuk punggung Rafa. Rafa menoleh dan Alena memberikan senyumnya, senyum terpaksa karena memang dia tak tahu harus memasang ekspresi apa? "Ibu saya saat ini berbaring di rumah sakit, syok hingga membuatnya terkena serangan jantung. Dia yang sangat menginginkan saya menikah, tapi saya mengaburkan impiannya." "Mas, ini takdir Tuhan semua sudah diatur. Selain calon istri mas, memangnya enggak deket sama perempuan lain siapa gitu? Buat menggantikannya? Biar ibu Mas nggak terlalu sedih." Rafa tersenyum sinis dan mengusap mukanya. Alena menggigit bibirnya, menyalahi dirinya yang suka asal ngomong. "Kalau kamu gimana? Kamu mau menggantikan posisi calon istri saya?" Alena mundur hingga membentur tembok di belakangnya, dia menutup mulut dengan tangannya. "Sa.. Saya single parent mas anak dua, hehe enggak mungkin mas mau sama saya." Alena seolah menemukan alasannya. "Status enggak masalah buat saya." Mata Alena membelalak, konyol. Mengapa dia memberikan saran menyesatkan seperti itu? Salahkan para penulis n****+ yang sering dibacanya yang kebanyakan bercerita tentang pengantin pengganti dan kawan-kawannya. "Tolong bantu saya sekali ini saja," mohon Rafa dengan sorot mata kesedihan. Dia harus menikah demi tercapainya cita-cita ibu yang kini terbaring lemah di rumah sakit. "Mas ... mantan suami saya temen mas lho." Alena mencoba memberi penjelasan lain. Ya dia akhirnya ingat bahwa ternyata Rafa itu satu kantor dengan mantan suaminya yang kini sudah menikah lagi. "Pantas wajahnya terlihat familiar. Kamu mantan istrinya Tomy? Dia sudah punya keluarga baru kan? Enggak masalah dong, tenang saja ... saya enggak akan menyentuh kamu, kecuali kamu yang minta. Dan kita bisa buat perjanjian juga. Kamu sudah punya anak pasti kamu tahu rasa sakitnya ketika melihat anak kamu sakit kan?" Rafa menatap mata Alena yang sembab sama seperti matanya. Alena tampak berpikir. Mau tahu alasan dia menangis tadi? Ya ayahnya sakit dan harus di operasi pengangkatan ginjal, dia butuh uang seratus lima puluh juta sekarang. Tapi dia tak tahu uang dari mana? Memakai BPJS sih bisa saja, tapi daftar antriannya masih panjang. Sementara kondisi ayahnya semakin memburuk. "Saya hanya mau kasih satu syarat kalau boleh." Alena menunduk, haruskah dia menjual dirinya sendiri? Ah yang penting ayahnya sehat, toh Rafa yang dia kenal adalah sosok lelaki baik dan tak pernah terdengar macam-macam. Bahkan dia merupakan karyawan populer di kantornya, sekilas teringat info dari Tomy dulu saat mereka masih bersama, sesekali Tomy menceritakan tentang teman-temannya termasuk tentang Rafa  kepadanya. "Apa? Kalau saya bisa, akan saya usahakan." "Saya butuh uang seratus lima puluh juta saat ini juga." Alena mengangkat wajahnya, tak ada kebohongan di sana. "Kamu kena penipuan atau apa? Banyak banget?" Rafa tampak terkejut. "Ayah saya harus dioperasi malam ini. Ginjalnya bermasalah dan harus diangkat satu. Jadi saya sangat membutuhkan uang itu. Sekarang." Terbata Alena mengucapkan keinginannya. Ah bahkan saat menikah dengan Tomy dulu saja dia hanya diberikan uang sebesar sepuluh juta. Sekarang, setelah dua kali melahirkan masa dia minta sampai ratusan juta seperti itu? Sungguh tak tahu diri, benak Alena memikirkan itu. "Baiklah, saya setuju. Setelah operasi, kita harus menyiapkan segalanya oke?" Mata Alena kembali membulat sempurna, semudah itukah? Terlihat Rafa sungguh-sungguh akan ucapannya. "Ayo saya antar kerumah sakit." Rafa berdiri, membersihkan celananya dari debu yang menempel. Alena masih duduk lemas. Rafa mengulurkan tangan. Sementara tangan sebelahnya diangkat demi melihat jam yang melingkar, "Masih ada waktu melakukan pendebitan. Yuk." Alena terkesiap, tangannya terulur menyambut tangan Rafa. Lagi, air matanya kembali luruh. Dia mengekor Rafa menuju lantai basement, sesekali mengusap air matanya yang jatuh tanpa bisa ditahan. Setelah masuk ke mobil dan memberi tahu rumah sakit swasta tempat ayahnya dirawat, dia pun terdiam memikirkan segalanya. Benarkah yang dia lakukan? ------------------------------------ AUTHOR NOTE : hallo ketemu lagi hahah udah baca cerita yang lain kah? sudah dong pastinya hahhaa... So happy reading ya jangan lupa tambahkan ke library . ssttt cerita ini kemungkinan mengandung mature konten alias 21+ jadi bagi yang dibawah umur please mundur teratur yaa, baca yang kamar sebelah aja haha disana bersih sih sih. :D See You, Khody_Didi Jakarta, 18 Desember 2019
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD