22. Harapan Alvaro

1104 Words
Zeline keluar dari kamarnya dengan wajah yang sudah segar karena sempat mencuci muka terlebih dahulu. Wanita itu harus memasak sarapan lebih pagi dari biasanya karena sang suami yang ada meeting di kantor. “Nyonya, biar saya saja yang membuat sarapan,” ucap seorang maid ketika melihat Nyonya besar tengah menyiapkan peralatan di dapur. “Nggak usah Bi, biar saya saja,” kekeuh Zeline karena dia terbiasa membuat masakan untuk suami dan anak-anaknya. Maid tersebut mengalah karena tak mungkin menentang sang Nyonya besar. Dia berpamitan karena ingin melakukan kegiatan lain yang bisa dia lakukan. Tak lepas begitu saja karena Zeline juga masih berada dalam jangkauan matanya. Zeline sendiri melanjutkan kegiatannya dengan senyum yang terpatri di bibirnya. Dia bahkan tidak menyadari jika ada sepasang mata yang kini tengah menatapnya intens. Alvaro, pria itu berdecak karena ketika bangun tak mendapati keberadaan istri tercintanya. “Ehem!” Deheman itu menyadarkan Zeline dari dunianya. Mata Zeline melirik sekilas kemudian terkekeh karena menyadari jika suara sang suami seperti tengah merajuk. Meskipun begitu, Zeline sengaja mengacuhkannya supaya suaminya itu ngambek dengannya. Entahlah, Alvaro ketika merajuk sangat menggemaskan. “Kamu cuekin aku, Zel?” “Hm, kenapa Al?” sahut Zeline seolah ucapan Alvaro sebelumnya hanyalah angin lalu. Alvaro menganga mendengar respon istrinya. Seulas senyum miring terbit dari bibirnya kemudian melangkah mendekati wanita itu. Matanya mengintai bak predator menemukan mangsa. Sayangnya ketika berhasil mendekati Zeline, telinganya tiba-tiba mendengar suara keributan. Meow! “ASTAGA ... SIAPA YANG NYIMPEN KUCING SIH?” Zeline sendiri sudah tersentak kaget karena teriakkan salah satu anaknya. Wanita itu mematikan kompor kemudian berlari menuju sumber suara, takut terjadi sesuatu dengan anak-anaknya. Di belakangnya, Alvaro turut mengejar dengan raut tak kalah panik. “Landra? Zetta? Kalian kenapa?” panik Zeline ketika melihat vas besar pecah tak jauh dari keberadaan kedua anaknya. Zetta yang takut kena omelan karena itu adalah vas kesayangan Mamanya sontak menggeleng. “Bukan Zetta, Ma!” Zeline mendekati Zetta yang terlihat ketakutan kemudian merangkul bahu putrinya. “Ssstt ... kalian berdua gak kenapa-kenapa, kan?” Dia tak peduli sekalipun harga vas itu ratusan juta karena yang paling penting keselamatan anak-anaknya. “Landra sama Kak Zetta baik-baik aja, Ma, tapi vas Mama yang pecah,” jelas Landra karena Zetta tak kunjung membuka suara. “Lagian siapa yang pelihara kucing di rumah ini? Tuh kucing yang nyenggol vas Mama tadi.” “Huffttt ...” Zeline menghembuskan nafas lega. Dia tidak peduli bagaimana keadaan vas itu sekarang. “Mama gak peduli gimana vasnya, asalkan anak-anak Mama selamat, itu lebih dari cukup.” Alvaro tersenyum melihat betapa bijaksananya sang istri. Tidak salah menjadikan Zeline sebagai pasangan hidupnya sekalipun masa lalu wanita itu begitu kelam. “Sekarang kalian ke meja makan dulu, Mama mau lanjut masak lagi.” Zeline melenggang dari sana meninggalkan Alvaro bersama kedua anaknya. “Begitu sayangnya Mama sama kalian. Papa harap, kalian semua tidak ada yang mengecewakan hatinya,” pesan Alvaro sebelum pergi dari hadapan keduanya. Landra tentu paham arti ucapan Papanya. Namun soal hati, siapa yang bisa melawan? *** Sarapan pagi ini di kediaman Demon terasa begitu hangat. Terlebih saat si Nyonya besar dengan telaten menyiapkan semuanya untuk suami dan para anak-anak. Bahkan disaat satu-persatu anak-anaknya mulai makan, Zeline masih saja berkutat dengan masakan yang baru saja diantar oleh maid. “Kak Zet, mau coba dong roti panggang punya Kakak,” lirih Alun saat matanya tanpa sengaja melihat menu sarapan Kakak perempuannya. “Mama buatin aja ya, Dek? Nanti Kak Zetta kurang sarapannya,” sahut Zeline yang kebetulan mendengar. Alun cemberut kemudian menggeleng dengan tegas. “Gak jadi deh.” Mood Alun seketika anjlok saat Mamanya melarang untuk nimbrung dalam acara sarapan sang Kakak. Niat Alun bukan untuk makan banyak, hanya sekedar mencicipi saja. Sayangnya itu semua tidak terealisasi karena Zeline melarang. Zetta tersenyum tipis kala menyadari jika Adiknya ngambek. “Alun mau roti punya Kakak seberapa?” Zeline yang mengetahui jika anak bungsunya ngambek hanya bisa menghela nafas. Alun dengan sisi egois yang menguasai terkadang membuatnya pusing. Saat ini Zeline merasakan jadi Ibu yang serba salah kepada anaknya. “Gak, Kak,” balas Alun cuek seraya menyantap nasi goreng dengan ogah-ogahan. Landra yang menyadari jika mood Adiknya sedang buruk segera bangkit dari duduknya. “Berangkat sekarang, Lun?” Alvaro segera menimpali, “makanan kalian belum habis!” “Udah kenyang, Pa. Kami berangkat.” Alun menyalami satu-persatu anggota keluarganya membuat Zeline menghembuskan nafas pasrah. Alvaro segera meminta anak-anaknya untuk kembali melanjutkan kegiatan sarapan yang sempat tertunda tadi. *** Menikmati suasana pagi di Ibukota versi Agnes adalah dengan cara mengendarai sepeda seperti dahulu. Setelah adanya perdebatan antara dia dan Grace yang memaksa untuk menjemput, akhirnya Agnes memenangkan perdebatan itu dengan sedikit bumbu kebohongan. Agnes berkata jika akan pergi bersama Bundanya padahal jika saja Grace teliti, Agnes pernah bercerita kalau Bundanya berada di desa. Sembari menyetir sepeda kayuh, mata Agnes sesekali memejam kala udara dingin itu menusuk kulitnya. Rasanya begitu menyejukkan apabila setiap hari suasana Ibukota seperti ini. Tiinnnnnn!!!!!; Suara klakson yang begitu panjang membuat Agnes hampir saja oleng dari sepedanya. Gadis itu menekan rem supaya bisa berhenti terlebih dahulu. “SIAPA SIH GANGGU AJA??!!” Agnes berteriak lantaran begitu kesal dengan orang yang berani mengganggu aktivitasnya. “Woi cupu!” Agnes menghela pelan setelah mendengar suara yang sangat dia kenali tersebut. Tak lama muncul Landra seorang diri dari dalam mobilnya. Pemuda itu berjalan mendekati Agnes dengan tangan bersidekap dadaa. “Tumben lo gak bareng anggota gue? Dibuang?” sarkas Landra tanpa pikir panjang. Dia bahkan tidak peduli jika ucapannya menyakiti hati Agnes. “Aku pengen nikmatin suasana pagi aja, Landra,” sahut Agnes acuh tak acuh. Landra sedikit terusik dengan tingkah cuek Agnes namun segera ia menepisnya jauh-jauh. “Halah alasan aja lo,” cibir Landra. “Berhubung gue lagi mode malaikat, mending lo bareng gue aja sekarang.” Agnes yang memang tidak paham ucapan Landra langsung mengernyit. Gadis itu berpikir jika Landra sedang banyak masalah karena sedikit tidak jelas. “Gimana sih maksudnya Landra?” tanya Agnes polos. Landra yang geram dengan kelemotan Agnes tanpa basa-basi mengangkat sepeda berwarna pink tersebut. Agnes sendiri sudah melotot karena berpikir jika Landra akan membuang barang pemberian Bundanya tersebut. “LANDRA JANGAN DIBUANG!!” teriak Agnes pamit. Sayangnya Landra mendadak tuli karena sekarang dia justru menutup bagasi mobilnya setelah berhasil memasukkan sepeda itu. Agnes sendiri hanya bisa meratapi sepedanya yang sudah tidak terlihat lagi. “Pink ...” lirih Agnes. “WOI ... MAU BARENG GAK?!” sentak Landra jengah karena Agnes tak kunjung masuk. Mendengar teriakkan yang terkesan tidak sabar itu, Agnes buru-buru masuk menuju pintu belakang mobil. Melihat apa yang dilakukan oleh Agnes justru memancing Landra untuk mengeluarkan tanduknya. “LO PIKIR GUE INI SUPIR??!!!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD