CHAPTER 10

1765 Words
Baru saja Kara berpikir untuk fokus menyerang Rolf, Theo datang lagi mengacaukan hidupnya. Kali ini datang langsung ke rumahnya. Kara sampai tak bisa berkata-kata saat pulang kerja. Theo ada di sana, duduk dengan gagah ditemani oleh Laine. Wanitanya sama sekali tidak tahu, dia hanya berpikir kalau Theo datang untuk urusan pekerjaan. Senyuman manis merekah di wajah cantik Laine. “Syukurlah kau sudah pulang. Pria ini sudah menunggumu dari siang. Dia tak mau mengatakan nama dan keperluannya.” Laine langsung menghampiri Kara, melapor agar dia bisa segera pergi dari sana. Keberadaan Theo membuat Laine tidak nyaman. Pasalnya Theo tak mau membicarakan diri sendiri, tapi terus-menerus menyerangnya perihal hubungan dengan Kara. Apalagi Laine tak bisa menolak pertanyaan dengan tekanan perintah itu. Theo memang curang, sengaja memakai kekuatannya pada wanita lemah demi mendapatkan informasi pribadi Kara. Untung saja Laine tak tahu banyak, jadi Kara tak terlalu emosi. “Aku mengerti, pergilah jalan-jalan atau berbelanja. Kembali besok siang, Laine.” Untuk jaga-jaga, Kara mengirim Laine pergi. Dia memberikan dompetnya, memberi perintah agar Laine menginap di luar. Kara jarang bersikap seperti ini. Walaupun dia tak pernah dibawa ke pertemuan berkaitan dengan pekerjaan, kekasihnya tak pernah merasa perlu untuk menyuruhnya pergi. Laine segera peka, tindakan tak biasa ini merupakan sebuah kode isyarat. Bahwa tamu tersebut seseorang yang berbahaya. “Aku mengerti.” Laine segera pergi setelah menerima dompet Kara, dia bahkan tak repot-repot berganti pakaian atau berdandan dulu. Begitu ditinggalkan berduaan, ketenangan di wajah Kara runtuh. “Apalagi maumu?” Sorot mata pria cantik itu penuh dengan kemarahan. Dia senang memonopoli Theo, tapi tak ingin hidupnya dicampur laki-laki yang dicintainya itu. Tumben Theo tak langsung memprovokasi hari ini. Dia masih duduk di sana, memberikan senyuman memesona. “Kau tidak menggigitnya, kenapa?” Rupa-rupanya Theo merasa senang mengetahui kekasih yang Kara pacari selama bertahun-tahun belum ditandai sama sekali. Itu membuat membuat dirinya merasa spesial. Dia yang sudah dijadikan milik pribadi Kara dalam satu malam dan saingan yang hanya dijadikan pajangan pribadi di rumah megah ini. Kara berjalan begitu cepat, berhenti di depan Theo. Dia menarik dasi Theo dengan kasar, menundukkan tubuhnya mendekat. Kara menggigit telinga Theo, berbicara begitu dekat di sana. “Aku hanya menggigit makanan favoritku,” katanya. Jantung Theo berdenyut. Ada rasa senang mendengar perkataan itu. Memberanikan diri, Theo membelai pipi Kara. Dia bertanya, “Kalau begitu kau ingin menyantap makan favorit ini sekarang?” Istilah lainnya adalah menggoda Kara. Kara menurunkan tangan Theo dari pipinya. Dia tersenyum dengan manis, membawa telapak tangan besar itu ke dalam mulutnya. Kara sengaja menjilat jari-jari Theo, sembari memberikan sebuah tatapan panas mirip dengan undangan. Theo menelan ludah. Tangannya yang bebas mencoba meraih pinggang Kara. Namun, baru menyentuh sedikit saja, Kara telah menepisnya dengan kasar. Selanjutnya, jari Theo digigit dengan keras. “Arghhh! Cukup Kara! Kau bisa mematahkan jariku!” Refleks Theo berdiri, dia meninju muka cantik yang beberapa saat lalu masih dia kagumi. Tawa sinis Kara yang terdengar, sangat serasi dengan seringai culas yang menghiasi wajah rupawan tersebut. "Itu balasanku. Aku benci teritoriku dimasuki. Rumah ini hanya menerima Laine dan Kori, sisanya tidak.” Ternyata itu adalah cara Kara mengekspresikan kekesalannya. “Sekarang pergi dari sini! Baumu merusak udara di rumahku!” Setelahnya, Kara bahkan mengusir Theo tanpa ragu. Theo benar-benar sakit hati. Wanita yang tak lebih dari pajangan dan anak buah yang lebih mirip peliharaan itu mendapatkan tempat terdekat dengan Kara. Lalu kenapa dia yang dicintai malah ditolak? “Kau takut bauku menghancurkan kendali dirimu?” Theo lantas menyindir. Sikapnya itu membuat Kara tak senang. “Aku benci Alpha lain menandai teritoriku. Itu insting alami, semua pemimpin kawanan seperti itu. Jangan terlalu besar kepala, Theo.” Sang kucing angkuh bersedekap, menjaga jarak membalas sindiran Theo dengan kepala dingin. Hari ini emosi Kara lebih stabil. Jadi dia cukup percaya diri tak akan berakhir mendesah c***l di dalam dekapan Theo. Meskipun urat-urat di lehernya mulai timbul menunjukkan seberapa besar kemarahannya itu. Kara tidak sedang mencari alasan. Rumah ini adalah tempat spesial. Tempat yang dia bangun dengan tujuan untuk memuaskan obsesi pribadi. Hanya orang-orang tertentu yang dia inginkan di sini. Seseorang yang dia anggap berharga dan ingin dilindungi. Theo berada dalam posisi berbeda. Tak sekalipun Kara merasa ingin melindungi Theo. Dia hanya ingin memonopoli, mengacak-acak dan mengajak Theo mengejar kesenangan bersama. Dengan kata lain, bentuk cinta Kara pada Kori dan Laine sama. Akan tetapi, sangat bertolak belakang dengan cinta membara penuh hasrat yang dia rasakan pada Theo. Kara orang yang sangat kritis, sehingga hal begini saja dipertimbangkan dengan sangat serius. “Sekarang pergilah! Aku sedang tak mau melihatmu.” Terkadang, ada saatnya Kara ingin sendiri. Dan saat itu adalah hari ini. Theo datang di saat tidak tepat, sehingga menjadi tempat pelampiasan Kara. Lelaki itu merasa agak sedih. Bukan kata-kata tajam Kara yang melukainya, melainkan tatapan mata dingin penuh kemarahan. Theo tak terbiasa dengan cara tatap seperti itu. Kara yang dia cintai adalah Kara yang menatapnya begitu panas penuh gairah. Hanya berfokus padanya seakan-akan tak ada apa pun yang lebih berharga di dunia ini. “Kau sungguh tak berperasaan.” Theo akhirnya memutuskan pulang dengan membawa kekecewaan. Perilaku Kara terlalu tak sesuai isi hatinya, sehingga Theo mulai ragu. Apakah kata cinta yang keluar dari mulut Kara itu merupakan kejujuran atau kebohongan. Tak ada balasan apa pun dari Kara. Sekadar berpaling pun tidak. Si kucing memang terlalu sulit untuk diraih. *** Kori tadinya mau menemui Kara di kediaman si bos, tetapi keberadaan Theo di sana membuatnya berbalik arah dan memutuskan untuk melakukan patroli saja. Bukannya kenapa-kenapa, Kori hanya ogah bila sampai melihat sendiri bagaimana singa itu mengubah Kara menjadi seseorang yang begitu asing baginya. Rasanya masih sulit percaya, Kara yang angkuh itu membiarkan seseorang mengagahinya. Dia kesal sekali, bertanya-tanya kenapa bukan Kara saja yang mengagahi Theo. Kalau begitu dia masih tak masalah. Eh!? Apa yang Kori pikiran. Ini tak benar! Urusan ranjang bosnya bukan sesuatu yang perlu dia pikirkan. Beginilah jadinya kalau sedang berada dalam masa kawin, pikiran Kori lari terus ke arah tak jelas. Untung saja dia sudah mendapatkan obatnya. Sebuah suntikan untuk mengontrol insting alami mencari pasangan. Nasib sial Kori, sedang jalan sedirian ... eh, malah ketemu orang yang membuatnya emosi. Padahal tempat ini sudah lumayan jauh dari perbatasan, tapi masih saja tampang sialan Rolf menyakitkan mata. “Kau itu cari mati atau apa? Berani sekali ke sini sendirian,” ujar Kori sok menantang. Rolf tertawa, mengangkat alisnya. “Lihat siapa yang bicara. Apa yang dilakukan anjing kecil begini di gudang tak terpakai?” Kori memang selalu membuatnya bertanya-tanya. Si kecil yang selalu sok kuat. Di sini hanya ada mereka berdua. Tidak ada hubungannya di berada di wilayah siapa. Faktanya, Kori tetap akan kalah bila berhadapan satu lawan satu dengannya. Rolf dan Kori tahu pasti akan hal ini. Makanya Rolf tidak ada niat berkelahi. Dia memang dendam pada Kori, tapi menyerang lawan yang tidak imbang bukan gayanya. Lain kali saja dia siksa Kori di depan Kara, biar balas dendamnya lebih memuaskan. Sebaliknya, Kori dalam situasi dan kondisi apa pun tetap saja ingin berkelahi. Cakarnya suka gatal kalau tidak menyerang seseorang. Apalagi jika orang yang membuatnya kesal beberapa minggu ini ada di depan mata. Kori pantang untuk lari atau memohon ampun. Mata bulat cantik itu melotot pada Rolf. Gigi-giginya yang runcing dipamerkan, mencoba mengancam dengan geraman yang terdengar manis di telinga Rolf. “Tenanglah, Kori. Aku ke sini mencari anjingku yang kabur dari rumah. Daripada berkelahi dan kau kalah telak, lebih baik kau bantu aku mencarinya. Pas sekali, kau itu anjing kecil, kan? Panggil dia dengan bahasa gonggongan. Namanya Pom, ini fotonya.” Rolf tak menanggapi, dia malah dengan santainya mengeluarkan foto Kori versi anjing. Jarak di antara mereka makin menipis. Rolf bahkan telah merangkul Kori sok akrab, mencoba memamerkan betapa imutnya peliharaannya yang tengah kabur itu. Dari jarak sedekat itu, aroma tubuh Kori tercium begitu kuat. Rasanya gimana ya ... seperti membawa rasa rindu pada Rolf. Dia tak terlalu kenal dengan aroma wangi ini, tapi rasanya nyaman sekali berada di dekat Kori. “Apa karena kau itu anjing kecil?” tanya Rolf tak jelas. “Hah!?” Kori keki sekali, ingin rasanya mencakar muka Rolf. Namun, herannya dia pasrah saja dirangkul. Sepertinya kebiasaan selalu bersama saat masih bersosok anjing membuat tubuh Kori secara tak sadar mengingat sensasi tersebut. “Sudahlah! Yang penting sekarang kau berubah jadi anjing sana. Bentuk kecil lebih gampang mencari. Aku tahu bentukmu tak akan seimut Pom, tapi selama itu anjing kecil aku masih bisa terima. Oh ya, jenis rasmu apa? Chihuahua? Kayaknya hanya jenis itu yang kecil-kecil garang sekali.” Rolf terus saja mengoceh. Menebak-nebak sendiri, memuji sekaligus menghina orang yang sama. Kori pun sampai pada batasnya. Foto itu dia rampas, robek-robek dengan kasar. “Tutup mulutmu! Dasar serigala bodoh!” Entah kenapa Kori terus saja merasa jengkel tiap kali Rolf membicarakannya tanpa tahu dia yang tengah dicari-cari. Geraman kemarahan Kori bagi Rolf hanyalah gertakan lawan lemah. Dia mendengus, geleng-geleng kepala tak paham. Memang bos dan anak buah sama saja, bertemperamen buruk. “Aww! Aku takut~.” Rolf jadi ingin mengejek Kori. Sengaja bercanda dengan nada manja yang dibuat-buat. “Sebaiknya kau berhenti sekarang.” “Kalau aku tak mau bagaimana?” Sang Alpha merasa tertantang. Dipelototi membuatnya bersemangat. Dia sengaja mendekati Kori tiba-tiba. Langsung menarik tubuh ramping itu ke dalam pelukannya. Selanjutnya, dia membungkam mulut sinis itu dengan lumatan yang begitu ahli. Tubuh Kori menegang tiba-tiba. Cairan dari mulut Rolf seperti racun yang menetralkan kerja obatnya. Panas tubuhnya meningkat dengan cepat. Feromon yang tadinya tertahan, menguap keluar. Menyadari reaksi itu, Rolf segera melepaskan pelukannya. Dia melompat menjauh, menutup hidungnya dengan lengan baju. “Apa-apaan ini? Kau sedang dalam masa heat?” seru Rolf tak percaya. Rasanya tadi biasa saja, kenapa datangnya tiba-tiba? Biasanya juga bertahap. Perlahan-lahan feromon Omega meningkat, hingga meledak di hari kedua atau ketiga. “Aku memakai obat dan kau mengacaukan kerjanya, sialan!” Kori memaki, mengusap mulutnya dengan kasar. Hal seperti ini tak pernah terjadi. Dia selamat bertahun-tahun dengan perlindungan obat buatan perusahaan Kara dan sekarang ... dari semuanya, malah saat bersama Rolf, kerja obat itu menghilang. Pokoknya sekarang lari dulu. Mumpung efek obatnya masih ada sedikit. Dia ogah kalau sampai feromonnya terlepas sepenuhnya dan Rolf ikut lepas kontrol. Otak serigala itu, kan ada di dengkul. Melihat Kori melarikan diri, Rolf sebenarnya sudah paham maksudnya. Kori mencoba menghindari situasi terburuk di antara mereka. Dia juga tak mau meniduri musuhnya sendiri. Omega cantik koleksinya begitu banyak, buat apa mencoba yang lain? Hanya saja, ada sedikit bagian dari hatinya yang mendorong instingnya sampai ke puncak. Pikiran dan tubuh Rolf tak bisa bekerja sama. Pada akhirnya bukannya pergi ke arah berlawanan, Rolf malah berlari dengan kecepatan penuh mengejar Kori. Dia menginginkan Kori! Hanya itulah yang menguasai pikiran Rolf saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD