Kara tertidur setelah Theo mengobatinya. Dia terlihat lebih imut dan tidak berbahaya. Ekor dan telinganya muncul begitu dia tertidur. Sepertinya tak bisa hilang karena reaksi tubuh alami yang membutuhkan banyak kekuatan untuk proses penyembuhan.
Theo duduk di samping Kara, memainkan telinga Kara. Seluruh bulunya hitam, matanya biru gelap dan ekornya halus mengembang. Dia tengah mengagumi wajah Kara, kulit putih yang terlihat mencolok sangat kontras dengan bulunya yang hitam.
Bisanya kucing anggora lebih jinak dan berwarna putih. Theo jarang lihat yang warnanya hitam dan pemarah seperti Kara. Dia merasa menemukan sesuatu yang menarik, sebuah barang langka yang sangat ingin dia kurung di dalam rumahnya.
Kara sudah tak berdaya sekarang, terbaring lemah di sisinya. Tak akan Theo biarkan kabur lagi. Akan dia tahan di sini selamanya. Biarkan saja apa yang terjadi di luar, entah Kara akan dianggap orang hilang atau dikira sudah tewas dia tak peduli.
Theo menarik selimut yang membungkus tubuh Kara, memampangkan leher jenjang yang indah. Bekas gigitannya dulu masih ada, mulai mengabur akan segera hilang jika tidak dia tandai ulang.
Ketika Theo menyentuh bekas gigitan itu, mata Kara terbuka. Caranya menatap begitu tajam, menghapus segala kesan imut yang sempat Theo rasakan.
Theo memindahkan tangannya ke bawah mata Kara. Warnanya masih saja gelap, membuat Theo sedikit cemas. “Kenapa warnanya begini?” Hybrid yang bisa mengubah warna matanya agak langka, biasanya campuran atau memiliki kondisi fisik yang spesial.
Kara tidak tahu, dia bahkan tidak mengenal orang tuanya sendiri. Menyinggung soal keadaan fisiknya membuatnya kesal, karena Kara tidak bisa menemukan jawaban yang membuatnya puas.
Jadi Kara tak menjawab pertanyaan Theo. Dia menggigit tangan Theo.
“Sakit, Kara.” Theo bilang begitu, tapi dia sama sekali tidak menarik tangannya dari mulut Kara. Dia malah mendekatkan wajahnya, menggigit telinga Kara sebagai balasan.
Kara tersentak kaget, segera melepaskan gigitannya. Bangun, mundur sampai menabrak sandaran tempat tidur. Kedua tangannya berada di atas kepala, menutup telinganya sebagai bentuk pertahanan diri.
Theo tertawa melihat tingkahnya. Akhirnya terlihat lebih mirip kucing kecil, biasanya lebih galak dari para serigala.
Selimut yang menutupi sisa tubuhnya jatuh hingga sebatas pinggang, memamerkan indahnya lekuk tubuhnya yang ramping. Berbalut dengan kain kasa hampir di seluruh permukaan kulitnya.
Theo menelan ludah. Tangannya berpindah ke leher Kara, meraba ke bawah secara perlahan-lahan. Sementara tubuhnya terus mendekat, mulai mabuk akan aroma menyegarkan yang seperti tengah memancingnya.
“Aku ingin menyentuhmu, tapi sepertinya hari ini tidak mungkin.” Theo berhenti ketika aroma darah yang pekat tercium tercampur aduk dengan aroma feromon Kara. Kalau hanya bau darah Kara tak apa-apa. Masalahnya itu adalah bau darah para serigala, menempel terlalu lama dan banyak hingga sulit dihilangkan.
“Jangan mempermainkan ku! Jujur saja apa maumu sampai membawaku ke sini!” Tahu-tahu saja Kara marah. Dia mendorong Theo menjauh sampai hampir jatuh dari tempat tidur.
“Kau sama sekali tak tahu caranya bersikap manis, hah?” Theo jadi jengkel. Kara benar-benar tidak tahu terima kasih. Sudah dia tolong dan tidak dilukai, masih saja memperlakukannya dengan kasar.
Theo kembali mendekat, mencengkeram kedua tangan Kara erat-erat. Segala perlawanan Kara sia-sia. Besarnya tubuh Theo jauh melebihi tubuhnya, mendesak dengan kuat mengunci segala pergerakannya.
“Ahh ... hentikan!” Kara begitu frustrasi. Gigi Theo kembali menancap di tempat yang sama, mengalirkan sensasi panas yang membakar libido. Dia tak mau mengingatnya lagi, tak mau membiarkan tubuhnya kelaparan akan cumbuan-cumbuan Theo.
“Tubuh yang jujur, harusnya mulutmu lebih mau mendengarkan reaksi tubuhmu.” Theo menyeringai, menjilati luka gigitannya.
Cara menggigit Theo selalu saja disertai dengan menyebarkan feromon, sama sekali berbeda dengan gigitan perkelahian. Makanya Kara tak tahan, tubuhnya terpengaruh begitu mudah dan menjadi haus akan kuatnya aroma tubuh Theo.
Bagian bawah tubuhnya mengeras, menyentuh kaki Theo yang berada di sana. Bersenang-senang merangsangnya dengan gerakan ringan. Tarikan napas Kara menjadi berat, terengah-engah dengan mata yang terfokus penuh pada Theo.
“Kau memang b******n!” Kara mengumpat, mencoba mengendalikan dirinya. Namun, semakin banyak kulitnya yang disentuh oleh tangan Theo, semakin juga tubuhnya menjadi bodoh.
“Kau harusnya bilang aku membuatmu jatuh cinta lagi, pilihlah kalimatmu dengan baik, Kara.” Panas embusan napas Theo pada telinganya membuat Kara merinding. Tubuhnya lemas, berhenti melawan dengan sendirinya. Malahan, gigi taring Kara telah keluar. Keinginan untuk menggigit leher Theo yang tersaji di depan mata sulit dia tolak.
Mating sesama Alpha berbeda dengan bersama seorang Omega. Gigitannya tak akan bertahan selamanya, jadi secara alamiah ... insting mereka akan menuntunnya menandai ulang sesering mungkin hingga tanda itu tak akan pernah hilang lagi. Inilah yang sedang coba Kara tahan.
Awalnya dia senang melihat tandanya ada pada Theo, tapi sekarang Kara merasa takut. Karena semakin jelas tanda itu, semakin kuat juga ikatan di antara mereka. Dia takut tak bisa hidup tanpa Theo, takut terobsesi pada sosok yang tidak boleh dia miliki.
“Kau mau menggigitku? Lakukan, Kara. Jangan lawan instingmu, puaskan nalurimu.” Sebaliknya, Theo bersenang-senang. Rasa benci dan cinta yang bercampur aduk membuat keinginannya pada Kara juga bercampur aduk.
Ada rasa ingin menghancurkan, tapi lebih dari rasa itu. Keinginan menjadi satu lebih besar.
Kara menggeleng, mendorong leher Theo menjauh darinya. Dia menggigit bibirnya sendiri, sembari mencengkeram lengan Theo dengan tangan gemetaran.
“Kau tak bisa? Biar kubantu.” Pemandangan itu membuat Theo gemas. Dia mendekat kembali, membelai punggung Kara dengan gerakan menggoda. Jari-jarinya turun ke bawah secara perlahan, meremas bongkahan kenyal yang tersedia.
Kara mendesah di sela-sela geramannya. Ekspresi wajahnya terlihat nikmat, mulai hilang fokus menginginkan sentuhan lebih.
Napas Theo ikut terpacu, sulit mengendalikan diri ketika Kara terlihat begitu menggoda. Dia menggigit leher Kara lagi, mengisap permukaan kulit putih itu, mengubahnya menjadi bercak-bercak merah bagai kelopak bunga camelia yang berjatuhan.
Akhirnya Kara lepas kontrol, dia meremas kepala Theo, mendekatkan leher Theo padanya. Kemudian dia menggigitnya dengan rakus, meninggalkan begitu banyak tanda darinya. Kara tak berhenti hingga di situ, dia bahkan telah merobek pakaian Theo, melanjutkan gigitan-gigitan rakus itu hingga ke d**a dan perut Theo.
Malam ini, lagi-lagi Kara kalah oleh pesona Theo. Dia memberikan diri kembali, membiarkan laki-laki itu menggagahinya berkali-kali hingga pikirannya kosong.
***
Ketika matahari terbit, penyesalan dan rasa marah kembali mengisi hati Kara. Pemandangan Theo yang sedang tidur di sampingnya pun membuat kesal sendiri. Kelemahan hatinya yang terus menerus mendambakan Theo membuat Kara membenci diri sendiri.
Untung saja lukanya sudah hampir pulih, jadi Kara tak perlu terperangkap di sini terlalu lama. Karena dia yang paling tahu apa yang diinginkan oleh hatinya. Kalau terlalu lama di sini, bisa-bisa Kara sungguhan menyerahkan seluruh hidupnya untuk Theo.
Dia segera bangun. Mengambil pakaian Theo dan memakainya, setelah itu Kara membuka jendela. Dia memeriksa lebih dulu jalan pelarian yang bisa ditemukan dan semua itu dilakukan tanpa mengeluarkan suara sama sekali.
Kara takut, dia tak akan bisa lari lagi ketika Theo bangun. Setelah menemukan celah, Kara melompat turun dari jendela. Lantai dua rumah itu tak terlalu tinggi, sehingga mudah baginya mendarat dengan aman di halaman berumput di depan rumah.
Setelah itu Kara langsung berlari ke arah pintu gerbang yang baru saja dibuka. Sebuah mobil baru masuk. Entah mobil siapa itu, Kara tak mau memikirkannya. Dia tetap menerobos beberapa penjaga yang berkeliaran sekitar gerbang.
“Siapa itu!”
“Tangkap dia!”
Kara tidak mengindahkan seruan para penjaga, dia mengelaki tiap serangan mereka dengan elegan. Sampai ke depan pagar dengan cepat. Di saat itulah, pintu mobil di depan pagar terbuka.
Aira keluar dari sana. Wanita cheetah itu segera mengenali wajah Kara. Namun, Aira tak berbuat apa-apa. Tajamnya tatapan mata buas itu membuat tubuhnya kaku. Hanya diam saja ketika Kara berlari melintasinya.
Keributan di luar sana membangunkan Theo. Dia langsung emosi saat tak menemukan Kara di sisinya. Buru-buru Theo berlari ke arah beranda. Di sanalah dia melihat bagaimana Kara berlari meninggalkan kediamannya.
“APA YANG KAU LAKUKAN AIRA! TANGKAP DIA! KAKIMU LEBIH CEPAT DAN KARA SEDANG TERLUKA!” Theo memberi perintah dengan panik, tapi Aira terlalu takut untuk mengejar Kara. Akhirnya, biarpun Theo ikut melompat turun dan mengejar, Kara tetap berhasil meloloskan diri.
***
Setelah keributan singkat itu, Aira dan Theo berpindah ke ruang kerja. Theo mengumpat berkali-kali, menyalahkan Aira karena Kara berhasil lolos. Tentu saja Aira tak peduli. Itu bukan salahnya.
Aira bukan petarung, jelas dia tak bisa berkutik jika lawannya adalah Kara. Selain itu, keberadaan Kara yang begitu misterius sampai bisa berada di rumah Theo mengganggunya.
Bekas gigitan di belakang leher Theo saat ini juga merupakan hal yang membuat Aira bertanya-tanya. Bentuknya berbeda dengan gigitan pertarungan. Gadis itu tak ingin percaya kalau itu adalah tanda gigitan mating.
Theo adalah Alpha. Dia yang harusnya menggigit, bukan digigit. Biarpun kira-kira Aira bisa menduga bekas gigi siapa itu, dia masih tak bisa membayangkan kalau Theo akan membiarkan Kara menandainya.
Theo malah dengan cueknya berkeliaran di rumah hanya dengan memakai celana panjang juga membuatnya gusar. Takutnya tanda itu dilihat oleh pelayan atau penjaga rumah yang mondar-mandir.
Akhirnya Aira memutuskan untuk bertanya. Dia langsung mencengkeram leher Theo, menekan tanda gigitan itu.
“Berisik sekali. Lebih baik kau jelaskan padaku apa maksudnya ini.”
Theo langsung menepis tangan Aira. Itu tanda spesialnya dengan Kara, bukan tempat yang akan dia izinkan disentuh oleh siapa pun selain si pemberi gigitan.
“Aku tak perlu menjelaskan apa-apa. Kau seorang dokter. Kaulah yang paling tahu apa ini.”
Tentu saja Aira tahu, saking tahunya dia sampai mati-matian menyangkal. Dia tidak peduli dengan siapa Theo menyelingkuhinya. Mau mating dengan Omega lain silakan. Asalkan di depan umum Theo tetap menjaga sikap dan menghargai status mereka.
Masalahnya adalah ... Theo membiarkan seorang Alpha lain menggigitnya. Ini yang buruk.
“Ya, aku tahu. Makanya aku ingin sekali marah padaku. Badanmu lebih besar, gigitlah dia. Jangan sebaliknya. Kau pikir apa yang akan orang tua kita katakan kalau sampai mereka melihatnya?” Iya kalau hanya orang tua mereka yang tahu. Kalau sampai Pemimpin Sektor lain tahu, mau taruh di mana martabat Theo? Bisa-bisa mereka salah menanggapi tanda itu sebagai bentuk p********n Kara pada Theo.
“Mereka tak akan lihat, tak akan tahu kalau kau tak memberi tahu!”
“Kau berlarian tanpa baju tadi! Bagaimana kalau ada penjaga yang sempat lihat!? Apa jangan-jangan kau bahkan sudah membiarkannya mengagahimu? Bukannya kau ingin mengalahkan Kara, kenapa malah berakhir b******u dengannya!”
“Tutup saja mulutmu, Aira. Bukannya kau sedang marah padaku, kenapa datang pagi-pagi begini!” Tak bisa membalas, Theo mengalihkan pembicaraan. Dia tak mau membahas apa pun yang terjadi semalam dengan Aira. Rasanya risih sekali. Soalnya bagaimana pun juga, wanita ini tetaplah tunangan resminya.
“Kau lupa? Hari ini ulang tahun ibumu. Kita harus datang mengunjunginya!” Ya sudahlah. Terserah. Aira tak mau tahu, biarkan saja Theo urus sendiri masalahnya dengan Kara.
Theo mengacak rambutnya. Sungguhan lupa hal sepenting itu karena Kara. Padahal sampai kemarin siang dia masih ingat, sudah beli kado dan sebagainya.
“Kau benar. Ayo lupakan pembicaraan ini. Rahasiakan soal Kara pada mereka. Jangan singgung apa pun kalau mereka bertanya soal gosip yang beredar.”
“Aku juga tak mau membicarakannya. Pastikan kau menyembunyikannya dengan baik.”
Akhirnya Aira meninggalkan Theo dengan kesal, dia pergi ke taman menghabiskan waktu sambil menunggu Theo bersiap-siap. Aira yakin, butuh setidaknya berjam-jam untuk menghapus bau tubuh Kara yang tertinggal pada Theo. Kepalanya sakit sekali, ingin hidup nyaman tanpa beban pikiran, malah terjebak masalah hidup Theo.
Bisa-bisanya teman masa kecil yang hanya mencintai dirinya sendiri, malah jatuh cinta pada orang yang belum lama ini dideklarasikan sebagai musuhnya. Aira bahkan tak perlu bertanya untuk bisa mengetahui perasaan Theo. Ekspresi wajah tunangannya yang begitu frustrasi saat mengejar Kara tadi telah menunjukkan segalanya.
Aira hanya berharap kalau Kara tidak punya minat atau punya perasaan pada Theo. Karena itu mungkin akan membawa masalah lebih serius lagi.