2. Terus Membuatku Gila

1205 Words
Alexis menatap Fiona dengan intensitas yang membuat udara di antara mereka terasa lebih panas. Tanpa ragu, ia kembali menangkap bibir Fiona dalam ciuman yang dalam, penuh gairah yang tak bisa ia bendung. Tangannya dengan cekatan merengkuh tubuh gadis itu, sementara Fiona membalas dengan semangat yang sama, melingkarkan tangannya ke leher pria itu. Ketika napas mereka mulai memendek, Alexis tiba-tiba mengangkat tubuh Fiona dengan mudah, membuat gadis itu terkesiap namun segera tersenyum lebar. "Kau benar-benar tak pernah berhenti membuatku terkejut, Alex," katanya dengan nada menggoda. "Dan kau terus membuatku gila," jawab Alexis, suaranya serak namun tegas. Ia membawa Fiona menuju kamar pribadinya, melewati pintu yang terbuka dengan satu dorongan kaki. Kamar itu gelap, hanya diterangi cahaya lampu kota yang masuk melalui jendela besar. Alexis menurunkan Fiona dengan hati-hati di atas tempat tidur, tapi tatapannya tetap tak lepas dari wajah gadis itu. "Fiona ..." bisiknya pelan, penuh makna. Fiona menatap balik dengan mata berbinar, wajahnya memerah oleh kehangatan dan emosi yang mereka bagi. "Aku di sini, Alex," balasnya lembut, tangannya menyentuh wajah pria itu. Alexis duduk di tepi tempat tidur, tubuhnya sedikit membungkuk, mendekatkan wajahnya ke leher Fiona. Ia mencium kulitnya dengan lembut, membuat gadis itu mendesah pelan. Ada keintiman yang mendalam di setiap sentuhan, setiap ciuman yang ia berikan, seolah-olah ia sedang membaca cerita yang hanya bisa ia pahami. "Kenapa kau bisa membuatku merasa seperti ini?" gumam Alexis, tangannya melingkar di pinggang Fiona, menahannya dekat. "Kau seperti magnet yang selalu membuatku tergila-gila." Fiona tersenyum kecil, jari-jarinya bermain di rambut Alexis. "Karena aku tahu kau. Kau tidak perlu menjadi Alexis Rumanov yang sempurna di depanku. Kau hanya perlu menjadi Alex-pria yang aku cintai." Kata-kata itu membuat Alexis berhenti sejenak. Ia mengangkat wajahnya, menatap Fiona dalam kegelapan yang hanya diterangi sedikit cahaya. "Kau tahu, Fiona, kau adalah satu-satunya yang bisa masuk ke dalam bentengku. Dan aku ... aku tidak pernah ingin kau pergi." Fiona mengangkat tubuhnya sedikit, tangannya memegang wajah Alexis dengan lembut. "Aku tidak akan pergi, Alex. Tidak malam ini, tidak besok, tidak selamanya." Dengan kata-kata itu, Alexis mencium Fiona lagi, tapi kali ini lebih lembut, lebih lambat, seperti mencoba menikmati setiap detik yang mereka miliki bersama. Ia membaringkan tubuhnya di samping Fiona, membiarkan tangan mereka saling menggenggam erat. Malam itu, di kamar yang biasanya penuh dengan kesendirian, Alexis dan Fiona menemukan kehangatan yang tak pernah mereka sangka. Mereka berbagi rahasia, tawa, dan rasa yang selama ini terpendam, hingga akhirnya tertidur dalam pelukan satu sama lain, dengan detak jantung yang seirama. Keesokan paginya, Fiona terbangun oleh sentuhan lembut di puncak kepalanya. Matahari pagi yang hangat menyelinap masuk melalui jendela, menyinari kamar dengan cahaya yang lembut. Fiona menggeliat pelan, kepalanya masih bersandar di d**a bidang Alexis yang hangat. "Selamat pagi," gumam Alexis, suaranya dalam dan tenang, jemarinya masih mengusap rambut Fiona dengan gerakan menenangkan. Fiona mendongak dengan mata yang masih setengah tertutup, rona merah langsung menghiasi wajahnya saat pandangan mereka bertemu. Ada sikap malu-malu yang tercetak jelas di wajahnya, membuat Alexis tersenyum tipis. "Alex ..." panggil Fiona pelan, suaranya serak akibat baru bangun tidur. Alexis menunduk dan mencium kening Fiona dengan lembut. "Selamat pagi, cantik," katanya, sebelum melepaskan diri dari tempat tidur. "Tetap di sini. Aku akan menyiapkan sesuatu untuk sarapan." Fiona hanya mengangguk kecil, tapi begitu Alexis keluar dari kamar, rasa penasaran menguasainya. Ia melompat turun dari tempat tidur dan berjalan pelan ke dapur. Di sana, ia melihat Alexis sedang sibuk di depan kompor, mengenakan celana tidur dan kaus sederhana. Aroma telur dan roti panggang mulai memenuhi udara. Fiona mendekat dari belakang, lalu melingkarkan lengannya ke pinggang Alexis. "Selamat pagi," katanya, nadanya ceria, meski masih terselip rasa malu. Alexis menoleh sedikit, senyumnya lembut. "Aku menyuruhmu tetap di tempat tidur, bukan malah mengintil ke sini." Fiona terkekeh kecil, kepalanya bersandar di punggung Alexis. "Aku tidak bisa duduk diam saat kau melakukan semuanya sendiri." Alexis hanya menggeleng pelan, tapi tak bisa menyembunyikan senyumnya. "Kalau begitu, tetaplah di sini. Tapi jangan ganggu aku memasak." Fiona hanya tersenyum sambil mempererat pelukannya. Ia menikmati momen itu, kehangatan tubuh Alexis terasa begitu nyaman di kulitnya. Setelah beberapa saat, Alexis mematikan kompor dan membawa piring berisi sarapan ke meja. Ia duduk di kursi, lalu menepuk pahanya. "Duduk di sini," perintahnya dengan nada penuh canda. Fiona menatapnya, ragu sejenak, sebelum akhirnya duduk di pangkuan Alexis, wajahnya kembali merona. Alexis menyendokkan sepotong telur ke garpu dan menyuapkan langsung ke mulut Fiona. "Makanlah," katanya, nada suaranya lembut namun penuh otoritas. Fiona membuka mulutnya dengan malu-malu, mengunyah perlahan sambil menatap Alexis dengan mata berbinar. "Alex, kau terlalu baik padaku," bisik Fiona, tangannya bermain di d**a pria itu. Alexis hanya tersenyum sambil menyuapkan potongan roti panggang berikutnya. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya. Kau berharga, Fiona." Mereka menghabiskan pagi itu dalam suasana yang santai dan penuh kasih. Gelak tawa Fiona sesekali memenuhi udara, sementara Alexis tersenyum dengan cara yang jarang ia tunjukkan. Di tengah kesederhanaan itu, mereka menemukan kebahagiaan yang begitu nyata, begitu tulus. Setelah sarapan selesai, Alexis membawa Fiona kembali ke kamar mandi. “Kita bisa menghemat waktu kalau mandi bersama,” katanya dengan senyum jahil yang membuat wajah Fiona memerah. Meski awalnya Fiona sedikit malu, ia akhirnya mengikuti Alexis, menikmati kehangatan air yang mengalir di atas mereka. Suasana menjadi santai, dengan tawa kecil di sela-sela percikan air dan kehangatan dari keintiman yang mereka bagi. Alexis dengan lembut mencuci rambut Fiona, sementara gadis itu membantu menggosok punggung pria itu, senyum tak pernah lepas dari wajah mereka. Setelah mandi bersama, mereka kembali ke kamar untuk bersiap. Alexis mengenakan celana panjang gelap dan sebuah kemeja putih yang masih tergantung di tangannya. Fiona mendekat, mengambil kemeja itu darinya. “Biar aku bantu,” katanya, mulai memakaikan kemeja ke tubuh pria itu. Tangannya yang lembut memasukkan kancing satu per satu, sementara Alexis hanya berdiri diam, menikmati perhatian Fiona. Setelah kemeja terpasang rapi, Fiona mengambil dasi yang tergeletak di meja dan mulai mengikatnya di leher Alexis. Saat jarak mereka menjadi begitu dekat, Fiona tersenyum kecil, menatap mata pria itu. “Siang nanti, aku ingin pergi ke mal,” katanya dengan nada ringan, meski sedikit ragu, seolah takut Alexis tidak akan mengizinkan. Alexis menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Pergilah, tapi kau tahu aturannya. Akan ada pengawalan.” Fiona mengerucutkan bibir, ingin protes, tapi ia tahu tak ada gunanya. Alexis selalu memastikan keselamatannya, terutama karena hubungan mereka yang masih tersembunyi dari mata publik. “Baiklah,” gumamnya, meski nada suaranya sedikit cemberut. Setelah selesai berpakaian, Alexis mengambil jas dan memakainya dengan cepat. Ia meraih wajah Fiona dengan kedua tangannya, memberikan ciuman lembut di kening gadis itu. “Hati-hati, Fiona. Jika ada apa-apa, kau tahu kau bisa menghubungiku kapan saja.” Fiona mengangguk, senyumnya kembali menghiasi wajahnya. “Kau juga, Alex. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri di kantor.” Alexis tersenyum tipis sebelum melangkah keluar. Ia menuju mobil hitam mewah yang sudah menunggunya di depan rumah. Dengan satu gerakan halus, pintu mobil ditutup, dan mobil itu melaju ke arah kantor pusat perusahaannya—sebuah gedung pencakar langit megah yang menjadi simbol kejayaan bisnis Alexis Rumanov. Perusahaan itu adalah yang terkaya di negara tersebut, dikenal sebagai kerajaan bisnis dengan pengaruh yang mendalam di berbagai sektor. Di dalam ruangannya yang megah, Alexis bersiap menghadapi rapat-rapat penting, namun pikirannya sesekali melayang kepada Fiona—satu-satunya orang yang berhasil menyentuh hatinya di balik dinginnya dunia bisnis yang ia kuasai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD