TENTANG PERJODOHAN

1373 Words
Walau mama bilang, aku sebaiknya pikir-pikir dulu mau ikut makan malam bersama keluarga sahabatnya papa, namun aku memutuskan untuk tetap ikut. Papa sudah berjanji, maka aku harus datang walaupun hatiku berat. Tentu saja, ada lelaki lain yang aku cintai. Bagaimana bisa aku menerima perjodohan dengan lelaki lain? Malam ini aku hadir supaya sahabatnya papa itu tidak kecewa dengan papa. Aku harap bisa bicara empat mata nantinya dengan dengan lelaki yang akan dijodohkan denganku. Aku harus mengatakan kalau aku sudah punya pacar dan tidak menyetujui perjodohan ini. Semoga saja dia bisa mengerti. "Kata Mama, kamu udah punya seseorang yang disukai?" tanya papa sembari menyetir. Dia melirikku sesekali dari kaca di depannya. "Mama ngarang aja tuh, Pa," sahutku dari belakang. Aku duduk tepat di belakang kemudi. "Loh, kok ngarang kata kamu?" protes mama. "Itu loh, Pa, yang jemput Maudy waktu malam kelulusan dia. Papa inget, nggak?" Mama memiringkan sedikit kepalanya ke belakang untuk melihat reaksiku. Aku mengerucutkan bibirku. Aku 'kan malu, aku tidak mau papa tahu tentang kisah asmaraku. "Oh ya? Bener itu, Dy?" tanya papa. "Siapa namanya waktu itu? Papa lupa." "Fero, Pa." Bukan aku yang menjawab, tapi mama. "Ya... Fero. Papa seneng tuh sama dia. Orangnya sopan dan seru diajak ngobrol juga." "Ganteng juga ya, Pa. Wajar aja Maudy sampe kesengsem," ujar mama meledekku. "Ma!" Aku kembali mengerucutkan bibirku mendengar mama yang terus-terusan meledekku, sejak tahu aku punya rasa dengan Fero. *** "Maudy... " Aku kaget saat lelaki yang tak lain adalah anak dari sahabat papaku itu, mendongakkan kepalanya. Dari tadi dia hanya menunduk, sibuk dengan ponselnya saat aku dan kedua orang tuaku bersalaman dengan orang tuanya. "Jadi, anaknya sahabat Papa itu Maudy?" Lelaki itu bertanya pada papanya, tapi matanya tidak beralih dariku. Om Pratomo—nama dari sahabat papaku menganggukkan kepalanya. "Kalian udah saling kenal?" tanyanya menatap anaknya dan aku secara bergantian. "Iya, Om. "Iya, Pa." Kami menjawabnya serentak. Semuanya yang ada di sana tertawa. "Wah, kompak banget kalian ini," sahut Tante Mira, istrinya Om Pratomo. Anak lelakinya yang bernama Dicky itu menyengir. Tampak jelas raut senang diwajahnya. Sedangkan aku, sedikit memaksakan senyumku pada Tante Mira. "Maudy ini satu kampus denganku, Pa, Ma!" "Oh, ya?" Om Pratomo beralih menatap papaku. "Waktu wisuda kemarin ini, kok kita enggak ketemu, ya? Saya baru tahu kalau ternyata anak-anak kita berada di kampus yang sama." Papa tersenyum tipis menanggapinya Om Pratomo yang terlihat begitu antusias. "Saya duduk di bagian belakang dan nggak lama setelah foto sama Maudy, kita langsung pulang. "Oh... pantes aja enggak ketemu. Saya dan istri saya duduk di depan. Setelah menyantap makan malam, Om Pratomo kembali membuka obrolan. "Semua yang ada di sini pasti sudah tahu maksud pertemuan keluarga kita pada malam ini. Sesuai pembicaraan saya dan Anggoro beberapa hari yang lalu, adapun tujuan kita saat ini adalah... untuk membahas apa yang pernah kita sepakati waktu dulu." "Maudy... Dicky... papa dari kalian ini pernah berjanji akan menjodohkan kedua anak kami jika sudah dewasa. Dan sekarang, kalian berdua udah lulus kuliah. Oleh sebab itu, kami ingin merealisasikan janji kami dulu, yaitu dengan menikahkan kalian segera. Papa dan mama hanya diam mendengar perkataan Om Pratomo. Aku melirik Dicky, dia tersenyum lebar padaku. Pasti dia sudah tahu apa yang dimaksud oleh papanya. "Apa sebaiknya kita adakan acara pertunangan dulu saja, Tom?" Papa menyuarakan pendapatnya. Aku sedikit legah mendengarnya. Om Pratomo mengedikkan bahunya. "Saya sih, terserah anak-anak aja bagaimana bagusnya." "Aku sih, setuju-setuju aja kalau aku dan Maudy langsung menikah." Aku melotot mendengar pernyataan Dicky. Maunya elo itu. Gue sih, ogah! Buru-buru aku menyela. "Bisa aku bicara dulu sama Dicky sebentar, Om? Walau kami udah saling kenal, tapi alangkah baiknya kami bicarain ini dulu berdua," ujarku pada Om Pratomo. Aku dan Dicky duduk di kursi restoran yang berada di bagian luar ruangan. "Gue nggak nyangka kalau ternyata dijodohin sama wanita idaman gue selama ini," ujar Dicky sumringah. Dicky itu termasuk dalam jajaran cowok hits di kampusku. Aku akui, wajahnya lumayan ganteng. Tapi aku malah sama sekali tidak tertarik padanya. Tidak ada yang menarik perhatianku selain Fero, hanya dia. Tidak dengan Dicky. Apalagi tingkahnya yang suka tebar pesona sana-sini, bikin enek. "Tapi gue nggak terima dengan perjodohan ini," tungkasku. "Come on, Dy... jangan kayak gini. Mungkin ini yang dinamakan jodoh. Lo udah berapa kali nolak gue. Ujung-ujungnya malah kita dijodohkan." "Jodoh pala lo! Gue udah berapa kali bilang sama lo. Gue sama sekali nggak suka sama lo. Gue harap lo mau kerja sama membatalkan perjodohan sialan ini." "Gue enggak mau!" "Sampai kapanpun gue nggak akan pernah ada rasa sama lo. Masa lo mau menikah dengan orang yang sama sekali enggak mencintai elo." "Kita bisa coba dulu, Dy. Cinta bisa tumbuh belakangan, setelah kita sudah terbiasa hidup bersama." Hidup bersama katanya? Jangan mimpi! Dihatiku sudah ada lelaki lain yang kucintai. "Nggak akan bisa!" balasku ketus. "Lo kenapa sih, ngotot banget?" "Apa karena sahabat lo yang namanya Fero itu?" tebak Dicky--membuat mataku melebar. "Gue tahu lo punya rasa sama sahabat lo itu. Gue sering perhatiin segala sikap @qdan pandangan mata lo yang menatap dia dengan tatapan memuja." "Jangan asal ngomong. Sok tahu banget jadi orang!" "Gimanapun perasaan lo sama dia, gue nggak peduli. Gue mau kita tetap lanjutkan perjodohan ini dan segera menikah!" Dicky bangkit dari duduknya sebelum aku melayangkan protes padanya. Sepertinya aku butuh bantuan Fero saat ini. Katanya, akan melakukan apa saja untukku, bukan? *** Fero Anugraha Gue udah di dpn rmh lo. Maudy Ayninda Oke, wait! Gue turun sekarang. Aku menyuruh Fero datang ke rumahku hari ini. Pada malam harinya, dia baru bisa datang. Aku mengintip dari jendela kamarku sebelum turun, rupanya Fero datang menggunakan motor barunya. Aku mengambil sweater dan mengenakannya, karena sekarang aku cuma mengenakan jumpsuit yang ukurannya cukup pendek. Lalu aku bergegas turun untuk menemui Fero. "Aku mau ke mini market depan sebentar, Ma," ucapku pada mama yang tengah menonton TV di ruang tamu. "Iya. Jangan lama-lama," sahut mama tanpa menoleh. Biasa... mamaku sedang nge-drakor, pasti lagi seru-serunya itu. Beda denganku yang lebih suka menonton lakorn Thailand. Fero melebarkan senyumnya ketika aku tiba di dekatnya. Dia menepuk-nepuk bagian motornya. Pamer... kalau punya motor baru. Nomor polisinya belum ada, sudah dipakai saja ke sini. "Asik, langsung dapet motor baluuuu!!!" "Yo'i! Berkat lo juga ini," balasnya dengan rona wajah bahagia. "Langsung dibeliin cash tadi siang sama si Revan. Mantep bener calon kakak ipar gue itu, ya nggak?" "Iya... iya," balasku ikut senang. Lo senang, gue pun ikut bahagia lihatnya, Fer! Fix, aku bucin!!! Fero terkekeh. "Btw ada apa nih, pengen ketemu gue? Jangan bilang kalau lo kangen sama gue?" Mulai lagi deh! "Ya elah, Dy, baru juga kemarin kita ketemu. Masa udah kangen lagi aja? Hmmm... pacar lo ini emang ngangenin, ya?" Fero menaik-turunkan alisnya, "Wajar sih, secara muka ganteng gue ini bikin siapapun selalu kangen!" Udah tahu kunyuk satu ini begini, kenapa lo masih suka aja sih, Dy? "Ngomong sekali lagi, gue timpuk lo pake sendal jepit!" "Wah, jangan dong! Entar kena muka ganteng gue, terus jadi lecet gimana? Lo bisa-bisa nggak cinta lagi entar!" Aku memutar bola mataku. "Emang sekarang gue cinta sama lo?" Fero mengangkat bahunya. "Entahlah! Bisa jadi... " Dia menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan. Cepat-cepat aku mengalihkan pembicaraan. "Ke taman dekat sini bentar, Fer. Ada yang mau gue bicarain." "Lo ngajak gue kencan ke taman ceritanya malam-malam gini? Nggak elit banget sih, Dy! Nggak ada tempat lain apa?" Inginku melayangkan sendal ke wajah tampannya. Sabar Maudy.... sabar!!! orang sabar disayang pacar. Eh, emang punya? 'Kan Fero cuma pacar pura-pura. Tapi nggak pa-pa, dari pura-pura, barangkali bisa jadi beneran nantinya. Who know's? batinku bermonolog sendiri. "Au ah! Ayo jalan!" Aku sudah menaiki motornya. Pukul 20.00, taman yang biasanya rame, malam ini tampak sepi. Hanya ada sekitar dua orang pedagang yang berjualan. Pengunjung taman pun, hanya ada aku dan Fero. "Lo mau ngomong apa?" tanya Fero. Kami duduk di salah satu bangku taman yang tidak begitu jauh dari motornya. "Gue butuh bantuan lo sekarang. Waktu itu, lo bilang mau lakuin apa aja 'kan buat gue?" Fero mengangguk. "Lo mau gue lakuin apa?" "Lo tahu si Dicky yang suka ngejar-ngejar gue?" "Iya, tahu. Kenapa lagi itu bocah? Dia bikin masalah sama lo?" "Bukan!!" "Terus?" Fero menatapku heran dengan alis berkerut. "Gue baru aja dijodohin sama dia." "Apa??!?" Aku mengangguk lemas. "Gue butuh bantuan lo buat bikin dia mundur dari perjodohan ini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD