Namaku Maudy, anak tunggal dari keluarga yang cukup berada. Aku mempunyai paras yang cantik. Bukannya kepedean, tapi banyak yang bilang begitu. Kulitku putih mulus, tinggi dan rambutku agak bergelombang sebahu. Aku juga punya lesung pipi yang membuat kesan manis saat aku tersenyum, begitu kata orang-orang.
Punya tampang yang kata orang sempurna dan hidup berkecukupan, tak lantas aku bahagia akan itu. Dalam hubungan asmara, nasibku tidak begitu bagus. Setelah putus dengan pacarku karena diselingkuhin, aku tidak menjalin berpacaran lagi hingga aku menyukai seseorang di tahun pertama kuliah. Sayangnya, aku terjebak friendzone. Aku menyukai sahabatku sendiri, entah sejak kapan. Mungkin karena kami sering bersama atau mungkin juga ada hal lain yang tidak aku sadari.
Sahabat yang aku sukai itu bernama Fero. Dia orang yang asik, easy going dan jangan lupakan ketampanannya—membuat banyak kaum hawa berlomba-lomba untuk mencari perhatiannya. Herannya, tak ada satupun dari sekian banyak wanita yang dia taksir. Sama sepertiku, dia menyandang predikat jomblo sampai saat ini. Aku sih jelas, menolak beberapa orang lelaki yang menyatakan perasaan mereka padaku karena dihatiku sudah ada yang mengisi. Bagaimana dengan dia? Sampai sekarang aku tidak pernah tahu kenapa dia belum memiliki seorang kekasih. Setiap pembicaraan kami mengarah ke situ, dia berusaha untuk mengalihkan. Katanya belum ada satu wanita pun yang menarik perhatiannya. Aku jadi semakin penasaran, seperti apa sih, wanita yang akan berhasil mencuri hatinya?
Kami tidak hanya bersahabat berdua saja. Ada tiga orang lagi teman kami. Kami semua menjalin persahabatan sejak opsek dan kebetulan sama-sama mengambil Fakultas Hukum.
***
"Nggak kerasa ya, kita udah lulus aja. Perasaan baru kemarin ikut ospek," ujar Aya, yang bernama lengkap Soraya. Satu-satunya sahabatku yang wanita, karena tiga orang lagi adalah laki-laki, termasuk Fero.
"Iya nih, perasaan gue baru kenal sama lo semua," sahutku menimpali.
Aku dan keempat orang sahabatku, baru saja melakukan foto bersama dengan pose melempar toga ke atas. Tidak terasa kebersamaan kami begitu cepat berlalu. Sejak masing-masing dari kami selesai sidang dan dua orang di antaranya mendapatkan pekerjaan, kami sudah jarang berkumpul bersama. Dan sekarang bisa bersama lagi, karena hari ini adalah hari wisuda kami.
"Nanti malam makan-makan, yuk!" ajak Dikta.
"Yuk, mau banget!" seru Fero. "Gimana Dy? Lo bisa ikut nggak malam ini?"
Dari kami berlima, aku yang jarang ikut berkumpul kalau malam. Mama dan papa sangat protektif kepada anak satu-satunya ini. Hanya sesekali aku diperbolehkan keluar malam, itu pun kalau benar-benar penting. Dan aku juga pasti diantar oleh sopir keluarga.
"Lihat nanti, gue coba ijin dulu," ucapku.
"Masa nggak dibolehin sih, Dy? 'Kan ini perayaan kelulusan kita. Lagian habis ini, gue yakin kita semua bakalan jarang bisa ngumpul lagi," ujar Yoga.
"Gue usahain, ya?"
"Atau lo mau gue yang jemput? Gue yang minta izin sama bokap nyokap lo," ujar Fero menatapku penuh harap.
"Boleh. Coba aja."
***
Semudah itu Fero dapat izin dari kedua orang tuaku. Aku melongo tidak percaya. Walau orang tuaku tahu lingkaran pertemananku, tapi mereka biasanya tidak mudah membiarkannya aku keluar malam, apalagi temanku ini adalah seorang lelaki.
"Menurut Mama Fero itu anak yang baik. Tuh lihat, Papa kamu langsung akrab gitu sama dia. Rame ya, anaknya?" Mama dan papa baru pertama kali bertemu dengan Fero. Aku sering bercerita mengenai sahabat-sahabatku, namun belum sempat mengenalkan mereka semua kepada papa dan mama. Tadi juga, mereka pulang duluan karena aku seru-seruan dulu dengan para sahabatku. Sedangkan aku belakangan dengan mobil satu lagi.
Aku mengangguk—setuju dengan perkataan mama. Setelah mendapatkan izin, papa mengajak Fero mengobrol di ruang tamu. Sementara aku barusan ganti baju. Sebelum Fero datang, aku sudah memoles mukaku dengan make up tipis, namun masih memakai pakaian rumah. Aku khawatir, mama dan papa tidak memberikanku izin.
Mama menyenggol lenganku. "Kamu yakin cuma anggap Fero itu sebagai sahabat?"
"Maksud Mama?" tanyaku pura-pura tidak mengerti maksud pertanyaan mama.
"Dia ganteng! Dan... Mama perhatiin dari tadi, kamu ngeliatin dia itu kayak tatapan memuja gitu?"
Mama tahu aja, sih?
"Ih, Mama sok tahu!" ucapku mengelak. Aku memalingkan wajahku ke arah lain agar mama tidak melihat pipiku yang memerah.
"Dari orok selalu di sisi kamu, Mama paham betul gelagat kamu kalau menyukai sesuatu."
"Ma!" protesku. Jangan sampai mama mengatakan macam-macam pada Fero yang bisa membuatku malu nantinya.
"Dia tahu perasaan kamu?" tanya mama lagi.
Aku menggeleng cepat. "Dia nggak perlu tahu, Ma. Kami hampir 4 tahun bersahabat. Aku nggak mau persahabatan kami hancur gara-gara perasaanku ini. Gimana kalau dia enggak mempunyai perasaan yang sama denganku?"
"Kamu udah nyerah duluan sebelum perang. Payah!" ujar mama meledek. "Anak Mama cantik begini, masa dia nggak suka?"
Aku hendak menyahut ucapan mama, tapi tidak jadi karena Fero dan papa sudah berada di dekat kami.
"Ngobrolin apaan, sih? Kayaknya seru banget," ujar papa.
"Bukan apa-apa, Pa. Nggak penting," jawabku cepat. "Aku sama Fero berangkat sekarang ya, Pa, Ma."
***
Kami tiba di The Breeze, daerah BSD City sekitar pukul 8 malam. Sedangkan ketiga teman kami yang lainnya sudah tiba dari setengah jam yang lalu.
"Asik, Maudy akhirnya bisa dateng," ujar Aya senang. Dia menunjuk bangku di sebelah agar aku duduk di sana.
"Thanks, Ay!" Aku bersalaman cipika-cipiki ala sahabat dengan mereka semua secara bergantian sebelum duduk.
"Sorry, kita agak telat," ujar Fero menyengir. "Gue udah dateng dari sore di rumah Maudy. Tapi diinterogasi dulu sama bokap nyokapnya dia."
"Untung dibolehin, ya? Kalau nggak percuma lama-lama nunggu tapi zonk," sahutku.
"Pake jampe-jampe apaan lo, Fer? Bisa bawa Maudy keluar malam tanpa ditemanin bodyguard-nya?" tanya Dikta yang aku tahu maksudnya cuma bercanda. Bodyguard yang dimaksud Dikta adalah sopirku.
Fero mengedikkan bahunya.
"Pesona gue emang nggak usah dipertanyakan lagi. Orang tua manapun pasti relain kalau anak gadisnya dibawa sama gue," ujar Fero menyombongkan diri.
Aku mencebikkan bibirku. Yang lainnya hanya terkekeh. Sudah terbiasa dengan ucapan Fero yang selalu percaya diri.
"Eh, malam ini Dikta sama Fero yang traktir, 'kan?" Aya bertanya dengan wajah sumringah. Biasa... sahabatku satu ini suka sekali gratisan.
"Setuju!!!" seru Yoga dengan cengiran khasnya. "Mereka berdua udah kerja, sedangkan kita belum. So... traktir lah kita-kita yang masih pengangguran ini."
"Pesen, Ga... pesen! Terserah lo mau apa," ujar Fero. "Kalau Dikta nggak mau patungan, biar gue aja yang bayar semuanya. Gue lagi banyak duit!"
"Anjayyy! Sombong amat lo!" Dikta melempar Fero dengan tisu bekas lap mukanya. "Tapi nggak pa-pa sombong juga. Yang penting malam ini makan gretongan. Hajar genkkkk!!! Mari kita makan sepuasnya!"
Aku melirik Fero yang duduk di sebelah kiriku. Sepertinya Fero tahu akan maksud tatapanku.
"Tenang aja. Gue belum lama gajian, terus dapet duit tambahan habis malakin Kak Mitha," ujar Fero setengah berbisik, lalu dia cekikikan.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tidak heran lagi dari mana asalnya pemasukan dia. Fero sering cerita padaku tentang tingkah isengnya kepada kakak semata wayangnya.
Pukul 21.30, kami menyudahi acara makan-makannya. Sebelum pulang, kami menyempatkan untuk berfoto dengan masing-masing memegang buket bunga. Aku juga meminta Aya untuk mengambil fotoku berdua dengan Fero.