Part 2.

1547 Words
    Mata Clary terpejam sempurna, bersandar pada batang pohon besar di taman  belakang kampus, ia sedang menghindari pelajaran Miss Ruby yang selalu membosankan menurutnya. Jika sedang sendiri Clary memang lebih suka menghabiskan waktu di belakang kampus itu, bersandar dengan headset bertengger sempurna di telinga, ia akan mendengarkan lagu hingga tertidur. Merasa sedikit kesal karena hari ini Liana tak datang ke kampus hanya untuk menemani kakaknya di kost seharian. Ya, tak ada yang salah dengan hal itu, sang kakak baru saja datang dari kampung halamannya jadi wajar saja jika Liana menemaninya.     "Maaf, apa aku mengganggu jika duduk di sini?" Clary membuka mata, mendongak menatap Zaky yang tiba-tiba saja berdiri di depannya.     Pria itu lagi, Clary mendecak sebal. Padahal sudah tiga hari ia menghindari Zaky, bukan karena pertengkaran mereka waktu itu, tapi karena apa yang dibicarakan asisten dosen padanya empat hari yang lalu. Semua terkait dengan acara tahunan kampus, yang kali ini akan menggelar drama teater bergendre romantis, yang diadaptasi dari salah satu dongeng yang sangat terkenal berjudul Beauty And The Beast dan sialnya yang dipilih menjadi pemeran utamanya justru Clary dengan Zaky. Apa mereka tidak tahu kalau sedang ada perang dingin di antara dua insan itu.     Clary menghela napas sejenak, sebelum akhirnya mengangguk, mempersilahkan Zaky duduk di sebelahnya tanpa suara, Zaky tersenyum, melirik sekilas tempat di sebelah Clary yang terlihat cukup nyaman untuk diduduki. Setelahnya, ia pun memindahkan tas gendongnya ke depan, memangkunya di atas paha.     "Sepertinya kau sangat menyukai tempat ini?" ucap Zaky memulai basa-basinya. Mata coklatnya menatap dinding jaring kawat di depannya. Ada beberapa anak-anak club tennis sedang bermain di lapangan belakang kampus itu. Dua orang wanita dan seorang pria, Zaky tersenyum dalam hati mengingat satu di antara wanita itu pernah menjadi lawan mainnya di atas ranjang. Kalau ia tak salah ingat namanya Zaskia, meski memiliki d**a yang sedikit lebih kecil dari teman-teman sebayanya, wanita itu rupanya cukup lihai untuk mengimbangi permainan Zaky. Sepertinya sudah berpengalaman, terbukti ketika Zaky menidurinya, wanita itu sudah tak perawan lagi.     "Ada keperluan apa? Jika hanya ingin basa-basi sebaiknya kau pergi, aku tak ingin diganggu." Suara Clary menyadarkan Zaky dari kenangan masa lalunya, ia menoleh pada Clary lalu tersenyum hangat.     "Mmm ... kurasa pertama aku harus minta maaf atas kejadian waktu itu." Clary mengerutkan dahinya, memandang Zaky dengan ragu dan sejuta pertanyaan yang singgah di kepalanya.     "Oke, aku paham jika kau tak percaya, aku juga nggak bisa untuk memaksa orang lain memaafkanku dengan mudah, tapi yang pasti aku mengaku salah dan aku minta maaf. Aku juga sudah janji pada temanmu bahwa aku akan berubah."     "Liana?" Tatapan Clary berubah sangar. "Sejak kapan kau dekat dengan Liana? Ada hubungan apa antara kalian berdua?"     Zaky diam sejenak, berbicara dengan Clary sepertinya tak semudah ia mendekati Liana, Clary terlalu waspada. Tak mau hilang kesempatan begitu saja, Zaky masih memasang ekspresi penuh penyesalan. Bagaimanapun ia harus mendapatkan maaf dari Clary jika ingin semua rencana yang telah disusunnya berjalan mulus. Perlahan Zaky mengalihkan tatapannya pada daun berwarna kekuningan yang jatuh melayang di udara sebelum menyentuh tanah tak jauh dari induknya.     "Kami tak seakrab itu, hanya saja aku ingin mulai menjalin pertemanan dengan gadis baik-baik sepertinya." Clary masih tak percaya dengan alasan yang dikatakan Zaky. Namun, ia memilh diam dan mengalihkan pandangannya pada pemain tenis yang sedang melakukan servis setelah berhasil mendapatkan point dengan melumpuhkan lawannya. Zaky pun tanpa sadar memperhatikan orang yang sama. Pria pemain tenis lapangan itu baru saja mengalahkan team Zaskia dan Anela, dua lawan satu, tapi tetap saja gadis-gadis itu terdesak oleh permainan Bram, pria yang sedang beraksi di tengah lapangan itu.     "Lalu, tujuanmu datang kemari?" tanya Clary dingin, tatapannya kini teralihkan pada layar ponsel, ia menscroll beranda musiknya dengan sedikit pelan seolah-olah sedang memilah lagu yang akan didengarkannya setelah berhasil mengusir Zaky pergi dari tempat ternyamannya.     "Kalau begitu aku anggap saja permintaan maaf tadi sudah diterima, karena jika belum, aku nggak bisa melanjutkan kepermintaan kedua."     "Terserah," jawab Clary acuh. Zaky kembali menghela napas sebelum kembali berbicara.     "Tentang pementasan teater itu ...." Ia menggantung ucapannya. Clary kini menoleh padanya lalu menghela napas lelah.     "Aku sudah tahu. Ck ... merepotkan saja," gerutunya.     Melihat sikap acuh Clary, entah kenapa Zaky malah menyukainya. Rupanya Zaky merasa nyaman berbicara dengan wanita yang sama sekali tak tergoda dengan ketampanannya. Itu jadi sedikit menantang hasratnya untuk segera menaklukkan Clary. Bahkan, kini tanpa sadar ia memperhatikan conture wajah Clary dengan lebih intens.     Bentuk wajah berlian dengan dahi dan rahang sempit, tulang pipinya menjadi titik terluas wajahnya, disempurnakan dengan manik amber dan hidung mancung dan kulitnya yang putih mulus, Clary hampir menyamai kesempurnaan wajah bentuk berlian milik Megan Fox. Gadis itu sangat menawan dengan make-up tipis serta liptin warna cherry yang alami. Siapa sangka gadis secantik Clary berkeliaran di dunia nyata, bukan di layar kaca yang kemudian akan diagung-agungkan oleh kaum adam dan diirikan oleh kaum hawa.     "Kenapa melihatku seperti itu?"      Zaky memalingkan wajah, tersenyum canggung sambil menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal sama sekali, telinganya memerah entah karena apa, jantungnya juga berdebar tak seperti biasanya. Pria itu tampak begitu gugup.     "Bukan apa-apa, hanya saja baru sadar kalau ... kalau kau sangat cantik." Clary mendelik tajam.     "Eh, jangan salah paham dulu, ini ... aku nggak ada maksud apa-apa, sungguh. Aku hanya ingin mencoba berkata jujur, jangan berpikir yang aneh-aneh. Aku cukup sadar diri tengah berhadapan dengan siapa," ucap pria itu mencoba menjelaskan dengan panjang lebar, sembari berharap Clary akan masuk jebakannya tanpa gadis itu sadari.     Sesaat Clary pun mengabaikan ocehan Zaky, ia memasang headset kembali ke telinga lalu memutar lagu kesayangannya sebelum kembali menyandarkan diri di pohon besar di belakangnya. "Pergilah, kau tak perlu memastikan apa pun lagi, aku sudah menyanggupi permintaan Pak Andra. Kecuali jika kau keberatan, silahkan kau protes sendiri. Aku malas berurusan dengan dosen yang selalu mengancam akan menunda kelulusanku."     Zaky terkekeh mendengar penuturan Clary. Informasi tentang gadis itu sudah cukup banyak dikantonginya. Mahasiswi dengan tingkat kecerdasan yang di atas standar sehingga ia bisa mengambil kredit beberapa mata pelajaran sekaligus dan memiliki nilai yang nyaris sempurna pada tiap mata pelajaran yang diambilnya. Maka tak heran jika ia akan lulus lebih dulu dari teman seangkatannya yang lain, bisa dikatakan Clary telah menyusul Zaky yang sebenarnya berbeda satu tingkat dengannya.     "Tenang saja, aku juga nggak akan mundur, bermain denganmu akan menjadi kehormatan dan pengalaman tersendiri bagiku," sahut Zaky dalam konteks yang sedikit ambigu. Namun, hanya ia yang tahu makna yang sebenarnya dari kalimat yang dilontarkannya barusan.     "Baguslah," ucap Clary dengan mata masih terpejam sempurna.     "Tapi, Clary, aku datang ke sini untuk mendekatkan diri denganmu, ah ... maksudku, bisa kita berteman? Karena kupikir kita butuh cemistry jika ingin tampil sempurna dalam acara itu."     Clary melepas headset dari telinga, menatap Zaky dengan kerutan di wajah, pria itu mengulurkan tangan dengan senyum hangat menghias wajah tampannya. Cukup lama Zaky menunggu Clary membalas uluran tangannya, karena sepertinya gadis itu masih menimbang segala kemungkinan yang akan ia hadapi jika menerima tawaran pertemanan itu. Zaky sudah merutuk kesal dalam hati, tapi meski begitu ia masih mempetahankan senyum di wajahnya, karena biar bagaimanapun misinya harus berhasil.     "Baiklah," ucap Clary pada akhirnya, menyambut uluran tangan Zaky kini mereka resmi berteman. Langkah pertama Zaky sukses, membuat pria itu menarik napas lega, dalam hati ia tersenyum iblis. "Sekarang pergilah," lanjut Clary berbicara.     "Eh? Kupikir karena sudah berteman kau akan mengijinkanku untuk tetap duduk di sini."     Clary pun kembali mengabaikan pria di sebelahnya, lalu melanjutkan kegiatan santainya yang tertunda. Tak ingin merusak moment yang baru saja ia dapatkan Zaky memilih duduk dalam diam, sembari memperhatikan bagaimana sekarang Bram yang mulai bisa disudutkan oleh dua wanita lawan mainnya. Beberapa kali bola keluar dan team Zaskia mulai memimpin pertandingan. Zaky masih ingat team ganda putri itu memang cukup tangguh. Bahkan pada turnamen tenis enam bulan lalu mereka berhasil menjadi kebanggaan kampus dengan membawa pulang medali emas. Sorak sorai kedua wanita itu ketika bolanya kembali mencetak angka membuat Zaky tersenyum senang, tepat pada saat itulah ia teringat sesuatu yang mungkin bisa mendekatkannya dengan Clary lebih cepat.     "Clary," panggilnya hati-hati, sementara gadis itu hanya berdehem. "Tugasmu sudah kelar? Liana bilang kau mendapat tugas dari Mr. Anderson, untuk menyalin sejarah musik, benar begitu?"     Clary mengangguk tanpa membuka mata. "Belum kukerjakan," ucap Clary selanjutnya. "Malas, biarkan saja."     Zaky terkekeh, gadis itu rupanya memang suka acuh dengan hal-hal berbau tugas apalagi jika tugas itu ia dapat karena sedang dihukum. Ternyata hampir semua informasi yang ia dapat tentang gadis itu benar adanya. Clary mungkin pintar, tapi ia adalah gadis yang suka bolos dan mengabaikan tugas dosen. Tentu saja kali ini Zaky akan memanfaatkan kesempatan yang terbuka lebar di depannya dengan sangat baik. Segala rencana yang sudah tersusun di otaknya kini tengah mencari kesempatan untuk muncul ke permukaan dengan hati-hati tanpa memperlihatkan niat jahatnya.     "Clary, bagaimana kalau aku bantu kau membuat tugasnya, rasanya aku masih punya file dari tugas yang sama."     "Maksudmu?"     "Seperti yang kau tahu, aku ini laki-laki b******k, sering mengabaikan pelajaran juga. Jadi, aku pun pernah mendapatkan tugas yang sama."     "Benarkah?" tanya Clary dengan mata berbinar. Zaky pun mengangguk meyakinkan.     "Jadi, mau mengambilnya di rumahku? Kita juga bisa latihan bersama untuk menjadi Bella dan Sang Pangeran." TBC Menikmati cerita ini? Jangan lupa tap love dan tinggakkan jejak berupa komentar, ya. Terima kasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD