Chapter 1 : Stroke Of Serendipity
Menjelang kenaikkan kelas sebuah hari yang penuh misteri, pameran seni di sekolah berubah menjadi panggung tak terduga. Dinding-dinding yang semula dipenuhi dengan lukisan-lukisan indah para siswa tiba-tiba merasakan belenggu gelap saat pemadaman listrik menyelimuti gedung. Keheningan mendalam terasa, hanya terpotong oleh kebingungan para siswa yang berusaha mencari cahaya dari ponsel-ponsel mereka.
"Kalian pernah mendengar tentang desas-desus yang ada ruang klub seni ini?" . Dalam lingkaran cahaya redup, teman pertama mengambil nafas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara dengan suara gemetar.
"Katanya suara aneh itu muncul menjelang senja, hingga mengisi udara malam hingga tengah malam."
Diam-diam, cahaya bulan yang pucat memantulkan bayangan yang menegangkan di wajah mereka.
Tan, yang duduk di sisi lain lingkaran, merespon dengan nada yang penuh keraguan. "Kamu benar-benar percaya dengan cerita semacam itu? Suara-suara aneh di ruang klub seni? Kalian harusnya sudah tahu, cerita-cerita semacam itu hanyalah kisah-kisah berimajinasi."
Namun, tidak berapa lama setelah Tan mengakhiri kalimatnya, kejadian yang mengejutkan tak terduga mengguncang atmosfer mereka. Cahaya ruangan tiba-tiba padam menyisakan kegelapan yang menutupi semua sudut. Teman-teman yang tadinya hanya berbicara ringan, kini terbungkam dalam keheningan yang mencekam.
Teman pertama, yang beberapa saat yang lalu berbicara dengan penuh keraguan, kini merasa detak jantungnya berpacu tak terkendali. Suara langkah kaki yang samar-samar, seperti bayangan yang tak terlihat, menghantui imajinasi mereka. Dan bisikan-bisikan yang lembut seperti hembusan angin malam mulai memenuhi ruangan yang gelap gulita.
"K-kalian dengar itu?" gumam teman ketiga dengan suara yang gemetar, matanya berusaha mencari sumber suara yang tak terlihat.
Tan, meskipun awalnya bersikap skeptis, kini juga merasa keraguan yang membelit. Dia mencoba meraih kenyataan, mencari tahu apakah semuanya hanyalah ilusi yang dibuat oleh imajinasi yang liar. Namun, bayangan-bayangan yang melayang di dinding ruangan, dihiasi oleh cahaya bulan yang pucat, membawa rasa tak pasti yang semakin merasuki setiap pikirannya.
Teman pertama melupakan segala keraguan dan merasa begitu dekat dengan apa yang pernah didengarnya dari tukang kebun. "T-tidak mungkin cuma imajinasi," desisnya dengan mata yang melotot. "Ada sesuatu di sana, dan kita tidak sendirian."
Teman kedua mengangguk setuju, wajahnya mencerminkan ketakutan yang mendalam. "Kita harus keluar dari sini, sekarang juga," serunya dengan suara yang bergetar.
Dalam sebuah momen yang penuh kebingungan dan ketegangan, mereka berlarian keluar dari ruang kelas. Langkah-langkah mereka cepat dan panik.
Sementara itu, Tan yang ditinggal sendirian hanya bisa merasakan adrenalin yang masih meluap di dalam dirinya. Meninggalkan bekas di pikirannya. Sesuatu yang tak terjelaskan dan membingungkan terus membayangi pikirannya. Tan menemukan dirinya terisolasi dalam kegelapan saat ia menjelajahi lorong sekolah lalu terhenti disebuah ruangan. Sentuhan tidak sengaja pada sebuah kanvas mengirimkan gelombang perasaan melalui dirinya, seolah-olah inderanya yang lain meresapi lukisan tersebut melalui sentuhan halus. Tanpa dia sadari dia tepat berada di ruang klub seni.
Pada sebuah kota yang anggun di mana waktu seolah-olah berhenti, seorang anak laki-laki tenggelam dalam dunia nya. Dia Bi, Sketsa dan lukisannya seperti bisikan dari hati, cerminan emosinya, dan tempat berlindung dari bayangan yang menghantuinya. Pada usia dua belas tahun yang rentan, untaian takdir kejam merenggut kedua orang tuanya, meninggalkannya terombang-ambing dalam lautan kesepian. Dia tinggal bersama adik dan pamannya. Seperti seorang pertapa yang menemukan ketenangan dalam pelukan hutan yang terlupakan, cinta Bi pada seni tetap teguh.
Sementara itu ditengah palet hidup yang jelas ini, Tan, putri seorang politikus dan pengusaha ternama, bergerak seperti seorang ratu, dibalut dalam aura kemewahan dan kedinginan. Tawanya memiliki pesona yang menggigit, menyembunyikan keinginan-keinginan yang dia kunci. Namun di balik mata es itu tersembunyi kerinduan yang tak terucapkan, seperti melodi lagu tersembunyi.
Di tengah senja yang semakin menyapu, Bi berjalan lunglai melintasi lorong sekolah, larut dalam dunianya sendiri, mencoba mengabaikan kerumunan di sekitarnya. Di ruang seni yang sunyi, dia temukan ketenangan dalam dunia kreatifnya, tempat dia mengungkapkan imajinasinya dari setiap goresan kuasnya, seperti menyelamatkan diri dari luka dalam kehidupannya.
Bi mendapati dirinya berdiri sendiri di tengah kegelapan dekat karya rumit yang ia ciptakan. Cahaya redup dari senter ponsel menyentuhnya, dan dalam genggaman erat, ia memegang buku gambarnya, berharap agar listrik segera kembali untuk menerangi karyanya.
Tiba-tiba mendengar seseorang datang, Bi yang penasaran siapa yang masuk keruangan tak sengaja menabrak meja kecil, membuat buku gambarnya terjatuh di dekat kaki Tan.
Dalam kejutan dan kekacauan itu, Tan dengan cepat mengeluarkan kilat cahaya dari ponselnya, menyorotkannya ke wajah terkejut Bi, dan berkata dengan lega, "Jadi, akhirnya muncul juga hantu penjaga ruang klub seni?" Dengan nada mengejek.
Ketika listrik perlahan kembali, ruangan itu disinari kembali. Di tengah gemerlap cahaya, Bi dan Tan berdiri di antara koleksi lukisan yang sekarang terungkap dengan jelas. Pertemuan tak terduga mereka menjadi kenangan yang terpahat dalam jiwa mereka, ditulis oleh alam dan pesona seni. Sejak saat itu, kehidupan mereka terjalin dalam tarian tak terduga antara ketidakpastian dan keajaiban, menyatukan kisah-kisah mereka dalam kanvas kehidupan yang tak terduga.
Setelah hari misterius itu, Bi dan Tan ternyata terbagi ke dalam kelas yang sama,semester pertama kelas 3 SMA siap dimulai, dan dia menyaksikan Tan masuk ke dalam ruangan kelas itu, dan rasa penasaran pun menyala dalam hatinya. Seiring berlalunya waktu, Bi diam-diam mengawasi Tan, mencuri pandang pada kehangatan tersembunyi di balik wajah dinginnya.
Lalu, tak terduga, mereka bertemu di kantin sekolah ketika Tan tanpa sengaja menyenggol dan membuat minuman Bi tumpah saat dia tengah fokus menggambar. Teman-teman Tan pun mengoceh dengan sindiran, mengejek karya Bi yang mirip dengan wajah Tan.
Rasa malu dan amarah terpancar dari wajah Bi,namun dia tetap tegar dan tak beranjak. Baginya, seni adalah lebih dari sekadar sekilas permukaan; melalui karya-karyanya, dia menangkap esensi manusia. Namun, Tan yang tersenyum dingin, menghampiri dengan tajam.
"Jadi, inikah kegemaranmu? Menggambar orang asing seperti seorang penguntit?" ucapnya dengan ejekan.
Bi, yang biasanya selalu menghindari keributan tak kuasa menahan perasaannya dengan suara yang berusaha tegar dia menjawab "Ini adalah karya seni, bukan menguntit. Aku mencoba menangkap jiwa orang, bukan sekadar penampilannya. Beda dengan beberapa orang, aku melihat lebih dalam." Seisi kantin se akan terheran dengan apa yang mereka saksikan, dua kutub yang saling berlawanan sekarang bersinggungan.
"Oh ya? Apa benar?" sahut Tan, dengan sindiran seperti pedang yang memotong angin. "Baiklah, mari buktikan bakatmu. Gambarkan aku lagi besok, dan lihat apakah kamu bisa membuatku lebih dari sekadar karikatur."
Dengan perasaan yang berdebar, Bi menerima tantangan itu. Baginya, seni adalah sarana melawan kenyataan pahit dalam hidupnya, dan kali ini, dia akan membuktikan betapa jauh imajinasinya bisa membawanya.
Suatu siang, Bi mendapati dirinya sendirian di klub seni, menciptakan karya baru. Tenggelam dalam khayalan kreatifnya, dia tidak menyadari Tan yang diam-diam mengamatinya dari pintu masuk. Kedekatan Bi dengan seni dan bagaimana dia menuangkan hatinya dalam setiap goresan pensilnya membuat Tan penasaran. Baginya, Bi seolah-olah sedang menyampaikan emosinya langsung ke atas kanvas, dan Tan tak bisa tidak bertanya-tanya apa yang disembunyikan di balik ketenangannya.
Tan menggelengkan kepala dengan ekspresi skeptis. "Jangan merasa istimewa. Aku hanya butuh istirahat dari kerumunan sosial yang membosankan. Dan katanya, tempat ini adalah tempat para 'penyimpang' berkumpul."
Bi tersenyum sinis. "Penyimpang? Kami lebih suka kreativitas dan imajinasi daripada percakapan dangkal. Tapi mungkin kamu tak akan mengerti."
Tan melipat tangan dengan wajah merenung. "Aku mengerti lebih dari yang kamu kira, Tuan Seniman Muram. Menggambar mungkin pelarianmu, tapi itu bukan dunia nyata."
Bi mengangkat alis. "Dan dunia nyata menurutmu? Pesta tanpa akhir dan berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirimu?"
Tan mengernyitkan kening. "Aku tahu bagaimana berbaur dan memainkan peran. Kamu, sebaliknya, nyaman bersembunyi di balik buku sketsamu.
Bi mendekatkan wajah dengan tatapan tajam. "Aku tidak bersembunyi. Seniku mencerminkan kebenaran, emosi terpendam dalam orang-orang seperti dirimu."
Tan mengernyitkan bibirnya. "Emosi? Tolonglah. Aku tak butuh gambar-gambaran untuk tahu perasaanku. Dan aku tidak butuh kamu berpura-pura menjadi terapisku."
Bi tersenyum lembut. "Terapis? Aku hanya mencerminkan esensi orang-orang. Dan dirimu, memiliki esensi yang menarik."
Tan mengangkat alisnya. "Esensi? Apakah itu cara meromantisasi kelemahan?"
Bi tertawa. "Kelemahan membuat kita manusia. Namun, dalam kasusmu, lebih seperti lapisan pelindung yang menyembunyikan kerapuhan."
Tan terdiam, terkejut. "Kamu pikir bisa melihat ke dalam diriku?"
Bi dengan lembut berkata, "Aku percaya setiap orang memiliki lapisan-lapisan perasaan. Tapi beberapa memerlukan kesabaran lebih untuk terbuka."
Tan mencoba menyembunyikan kerentanannya. "Kamu tidak tahu apa-apa tentang diriku."
Bi penuh kasih berkata, "Mungkin tidak semuanya, tapi aku melihat lebih dari yang kamu sadari."
Tan berusaha bersikap tenang. "Bakat hebatmu sepertinya memang harus diuji. Aku tidak mau gambaran setengah hati."
Bi tersenyum sinis. "Kamu akan mendapatkan yang terbaik dariku, jangan khawatir. Tapi ingat, seni adalah cermin bagi sang seniman dan objeknya."
Tan mengernyitkan dahi. "Apa maksudmu?"
Bi mengangkat bahu. "Jika kamu terlihat dingin dan jauh, jangan kaget jika itulah yang tergambar di atas kanvas."
Tan penuh rasa ingin tahu. "Dan jika tidak?"
Bi dengan lembut menjawab, "Mungkin kamu akan menemukan sesuatu yang belum kamu ketahui tentang dirimu sendiri."
Tan terdiam sejenak, lalu tersenyum sinis. "Baiklah, kita akan lihat besok, kan?"
Bi tersenyum. "Ya, kita akan melihat. Siapa tahu, mungkin kamu akan menemukan bagian dari dirimu dalam karya seniku."
Tan menggelengkan kepala. "Jangan berharap terlalu banyak. Ini hanya sekadar gambar."
Bi tertawa. "Kita akan lihat. Sampai saat itu, kamu bisa terus berpura-pura tak terjangkau, dan aku akan terus menangkap esensi dirimu di atas kanvas."
Tan beranjak pergi sambil melirik dengan senyuman sinis. "Kita akan lihat."
Keesokan harinya, Bi terus bekerja pada gambar tersebut, menambahkan kedalaman dan emosi untuk menangkap esensi Tan. Tan, yang mengharapkan sebuah karikatur sederhana, terkejut dengan apa yang dilihatnya. Kedekatan antara mereka berlanjut, perlahan-lahan mengungkapkan diri sejati mereka saat mereka menemukan kekuatan seni dan kerentanan.
Bi mempersembahkan sketsa tersebut kepada Tan, dan ia terkesima dengan karya seni tersebut. Sayap kupu-kupu yang berwarna-warni menggambarkan transformasi dan kebebasan, sementara potret hitam putih menggambarkan keanggunan dan misterinya. Tan terlihat terkesan, tetapi ia berusaha menyembunyikan emosinya, tetap mempertahankan topengnya yang tenang.
Tan dengan enggan menunjukkan sketsa kepada teman-temannya "Nah, inilah dia. Upaya nya dalam menangkap 'esensi' ku."
Dengan sindiran menyelidik, teman pertama berkata, "Oh, mari kita lihat apa yang dihasilkan seniman murung ini."
Teman kedua menyaksikan sketsa dengan kagum, lalu berkomentar, "Wow, ini cukup mengesankan. Sentuhan sayap kupu-kupu itu luar biasa."
Dengan sikap santai, Tan merespon, "Ya, mungkin tidak buruk. Ini hanya gambar biasa."
Namun, teman pertama terkejut dan berpendapat, "Hanya gambar biasa? Tan, ini luar biasa! Dia berhasil menangkap keanggunanmu dengan sempurna."
Tan berusaha menyembunyikan rasa kagumnya, "Mungkin dia punya sedikit bakat. Tapi bukan berarti ini sesuatu yang istimewa."
Teman kedua melihat reaksi Tan dan menyatakan, "Apa kamu bercanda? Ini luar biasa! Dia benar-benar melihat dirimu, Tan."
Dengan acuh, Tan mencoba meremehkan, "Dia hanya beruntung, itu saja."
Teman pertama menertawakan, "Oh, ayolah, akui saja. Kamu terkesan."
Tan mencoba merendahkan, "Aku tidak terkesan, aku hanya... Aku hanya penasaran tentang perspektifnya, itu saja."
Teman kedua mengangguk, "Tentu, tentu. Tapi aku bisa melihat dari matamu-kamu tertarik."
Tan terus mempertahankan sikapnya , "Kamu membaca terlalu banyak di dalamnya. Ini hanya gambar, bagaimanapun juga."
Teman kedua mengangguk lagi, "Tentu saja. Yah, menurutku ini adalah karya seni yang fantastis, dan jelas bahwa Bi menyematkan hatinya di dalamnya."
Tan akhirnya melembut, "Mungkin. Tapi jangan terlalu dibesar-besarkan, ok?"
Dengan tawa, teman pertama meledek, "Oh, sudah terlambat. Tan si misterius telah terungkap lewat sebuah karya seni!"
Tan tertawa ringan sambil mencoba menyembunyikan kegembiraannya, "Baiklah, baiklah. Mungkin memang bukan sekadar gambar."
Teman kedua tersenyum, "Itu dia semangatnya! Peluklah, Tan. Ini adalah karya seni yang indah, sebagaimana dirimu."
Sambil tersenyum tipis, Tan menyatakan, "Baiklah, baiklah. Aku tak akan menyangkalnya. Anak itu memang memiliki sedikit bakat, aku akui."
Namun, sementara mereka terus bercanda, mereka menyadari bahwa karya seni ini telah mengubah dinamika hubungan mereka dengan cara yang tidak terduga dan sangat asing.
Berusaha mengalihkan pembicaraan, Tan mengajak, "Baiklah, sudah cukup tentang gambar. Ayo ke kantin dan makan sesuatu. Menu hari ini kelihatannya enak."
Ketika teman-temannya setuju dan berjalan menuju kantin, Tan ragu sejenak. Alih-alih mengikuti mereka, ia memilih berjalan-jalan sendiri, berharap bisa melihat Bi.
Namun, saat melihat ke dalam klub seni, Tan merasa penasaran karena Bi tidak berada di sana. Ia menghela nafas dalam-dalam, berusaha menyembunyikan perasaannya.
Teman pertama memanggilnya dari kejauhan, "Tan, ikut? Kami hampir sampai di kantin."
Tan dengan cepat berbalik, berusaha menyembunyikan kekecewaannya, dan menyusul teman-temannya.
Teman kedua memperhatikan perubahan pada wajah Tan, "Semuanya baik-baik saja, Tan? Kamu terlihat agak gugup."
Dengan senyuman palsu, Tan menjawab, "Oh, tidak apa-apa. Aku hanya terlarut dalam pikiran sejenak."
Teman pertama dengan candaan menyela, "Terlarut dalam pikiran tentang seseorang, mungkin?"
Tan hanya bergurau, "Itu hanya kamu dan imajinasimu. Aku hanya memikirkan hal lain, itu saja."
Teman kedua tersenyum ramah, "Uh-huh, tentu. Baiklah, kita sebaiknya ke kantin sebelum makanan enak habis."
Tan bergabung dalam guyonan, "Ya, jangan sampai itu terjadi. Ayo pergi."
Ketika mereka berjalan menuju kantin, Tan tetap terpesona oleh seni yang telah mengungkapkan lebih banyak daripada yang bisa dia akui saat ini.
Saat mereka mencapai kantin, Tan mencoba mengalihkan perhatiannya dengan makanan dan tawa, tetapi dia tidak bisa tidak bertanya-tanya kapan dia akan bertemu Bi lagi dan apa arti hubungan baru ini melalui seni akan bawa dalam hidupnya.
Dalam kisah ini, perjalanan Bi dan Tan dimulai ketika mereka menjalani pencarian jati diri dan seni. Mereka berhadapan dengan benturan antara dunia mereka masing-masing, sambil menemukan kekuatan dalam kerentanan. Semakin terhubung mereka, semakin saling menginspirasi untuk mengejar passion mereka tanpa rasa takut. Namun, perjalanan mereka tidaklah mulus. Konflik tak terduga muncul, mengakibatkan perubahan yang tidak terduga pula. Perjalanan ini menjadi bukti tentang kekuatan seni, kerentanan, dan eksplorasi wilayah tak terjamah dalam hati.