Tujuh

1525 Words
"Papa!" sentak Zaky, kali ini suaranya lebih meninggi dua oktaf dari sebelumnya. Rafly terperanjat. "Hah! Apa, Ky? Kenapa?" sahutnya gelagapan. "Yeyy! Papa kenapa malah bengong sih? Mikirin apa? Di panggil-panggil dari tadi bukannya nyaut malah melongo!" timpal Zaky, lalu mengambil gawainya kembali, membuka sebuah aplikasi game online yang biasa dia mainkan. "Owh, ini lho, Papa ingat aja sama sesuatu aja, he he he!" jawab Rafly sekenanya. Zaky menoleh ke arah Rafly. "Ingat sesuatu? Apa?" sahutnya justru malah penasaran. "Eeee, itu eeee!" Rafly terlihat salah tingkah. "Itu, dulu Papa juga punya teman yang kaya Bundanya Keinara itu." Zaky sontak menurunkan ponselnya, fokus memandang sang Papa. "Jadi teman Papa itu cewek, dia pacaran sama seseorang terus tahu-tahu teman Papa itu hamil gitu. Pas diminta buat tanggung jawab gitu, pacarnya kabur entah kemana. Sampai sekarang, kayanya sih nggak pernah ada tanggung jawabnya!" terang Rafly belepotan. "Emangnya teman Papa nggak tahu apa alamat pacarnya? Kan bisa tuh didatengin alamat rumahnya, nuntut buat tanggung jawab!" timpal Zaky. "Emmmm, yang Papa dengar sih, pacarnya itu orang luar Jawa. Kalau nggak salah Kalimantan atau Sumatra gitu apa ya. Pokoknya luar pulau Jawa. Jadi ya susah mau ngelacak kemana-mana juga." "Kenapa nggak minta bantuan pihak kampus buat minta identitas laki-laki itu? Terus di kejar itu sampai ke kampung halamannya!" "Emm, Papa nggak tahu juga sih, Ky. Cuma kan pihak kampus juga nggak bisa buka data mahasiswa begitu saja. Takut disalah gunakan. Terus kalau mu nyusul ke kampung halamannya laki-laki itu juga rasanya mustahil. Perlu biaya yang nggak sedikit kan?" "Hemmm, iya juga ya, Pa. Tapi Zaky yakin itu laki-laki pasti suatu saat bakalan kena karma atas perbuatannya sendiri! Balasan yang jauh lebih menyakitkan dibanding saat dia menyakiti pacarnya yang lagi hamil itu!" celetuk Zaky tidak terduga. "Uhukk uhuk uhuk!" Rafly tiba-tiba tersedak. "Zaky nih, Pa, walaupun laki-laki, tapi Zaky mah nggak bakalan lari dari tanggung jawab. Zaky nggak akan pernah jadi pengecut hanya untuk menyelamatkan diri Zaky sendiri. Kalau Zaky berani berbuat, ya harus berani bertanggung jawab dengan segala konsekuensinya. Payah itu pacarnya teman Papa. Malu-maluin kaum laki-laki aja!" imbuh Zaky menggebu-gebu. "Owwhh, iya ya, Ky. Sebagai laki-laki yang baik, kita memang harus bisa bertanggung jawab dengan apa yang sudah kita lakukan." Rafly menepuk pundak Zaky. "Iya dong, pa. Itulah yang namanya laki-laki sejati! Hehehe!" sahut Rafly sedikit terkekeh, lalu kembali fokus pada permainan di ponselnya. Dada Rafly masih sesak, pikirannya masih teringat akan dosa masa lalunya kala itu yang sudah ia lakukan. Dosa besar yang sudah meninggalkan kekasihnya. "Ya Tuhan! Apakah dosa-dosaku masih bisa Engkau ampuni? Kenapa tiba-tiba bayangan Sita ada lagi menghantui pikiranku. Bagaimana kabarnya sekarang? Bagaimana dengan nasibnya saat ini?" batinnya makin tidak tenang. "Tapi, Papa nggak apa-apa kan, aku pacaran sama Keinara? Mengingat masa lalu Bundanya Kei yang seperti itu? Papa tetap menyetujui hubungan kami kan?" cecar Zaky. Rafly mengurai senyum. "Papa sih nggak masalah. Mau dari mana asal-usul Keinara, asalkan dia itu anak baik, Papa setuju aja. Kita kan nggak bisa menyamakan antara anak dan orang tua itu sama. Nggak bisa, Ky! Jangan karena orang tuanya melakukan kesalahan, lantas kita juga mengaggap anak keturunannya sama. Itu nggak adil! Kasihan dong anaknya yang nggak tahu apa-apa jadi kena imbasnya kan?" tuturnya dengan bijak. "Iya juga ya, Pa. Nggak adil kalau kita harus memukul rata semuanya." "Nah itu dia." Perlahan Rafly bangkit, seraa memegangi lehernya yang dipatahkan ke kanan dan ke kiri. "Papa masuk kamar dulu ya, Ky. Udah ngantuk banget ini mata, pengen merem." "Iya, Pa. Malam Pa, selamat beristirahat ya!" timpal Zaky. "Yok!" Rafly berlalu berbalik arah menuju ke kamar. *** Keesokan harinya Di Kampus Keinara, Sabrina, Michel, Zaky, dan Roni masih tinggal di dalam kelas. Mata kuliah jam terakhir yang begitu menguras isi kepala mereka, membuat kepala semuanya seperti terbakar karena harus ektra berfikir. Mata kuliah statistika memang selalu membuat mereka kewalahan, kecuali Sabrina, si bintang kelas yang jeniusnya tiada tara. "Pulang kuliah, kita mau ngerjain tugas-tugas dari pak Dody dimana gaes?" celetuk Sabrina, si bintang kelas yang kalau ada tugas inginnya langsung segera di kerjakan tanpa mengulur-ulur waktu. "Ya ampun, Sab. Kepala kita masih panas ini. Nggak lihat apa ini ada asap pada keluar dari sini! Udah mau main ngerjain tugas aja! Bisa lamgsung meledak kepalaku nanti!" timpal Rony, anggota genk paling malas diantara kelimanya. "Ya ampun, Ron. Lebih cepat kan lebih baik. Biar tinggal santai-santai aja Nanti. Lagian kamu kan juga kerjaannya tinggal nyalin doang. Apa susahnya?" balas Sabrina memojokkan. "Iya tuh si Rony. Kerjaannya tinggal nyalin doang, sok-sokan protes!" imbuh Michel, ikut memojokkan Rony. "He he he, ya kan nyalin juga butuh waktu dan tenaga, Chel! Nggak asal nyalin aja!" kilah Rony, masih saja bisa ngeles. "Udah sih ah. Ini mau ngerjain tugas malah pada ribut! Kalau aku sih ikut aja, mau ngerjain dimana, gassss lah!" ujar Keinara masih dengan suara lantang sisa-sisa semangat. "Aku juga ikut aja lah. Mau dimana aja yang penting tugas kelar!" imbuh Zaky. "Kalian berdua ini ya, selalu kompak jawabnya. Kalau Kei bilang A Zaky juga pasti ikutan. Sebaliknya, kalau Zaky bilang B, si Kei juga ikutan tuh. Emang ya, kalian berdua itu nggak bisa terpisahkan!" celetuk Michel. "Awas lho, lama-lama bisa cinlok!" timpal Rony. "Sahabat jadi cinta dong, hehehe!" tambah Sabrina. Sontak ujaran ketiga teman-temannya membuat Keinara dan Zaky jadi salah tingkah. Zaky sedikit melirik ke arah Keinara, begitu juga dengan Keinara yang melirik ke arah Zaky. "Eeee, enak aja! Aku suka sama Zaky? Bueehhh, amit-amit! Kaga bakalan!" seloroh Keinara. Menepis argumen-argumen dari ketiga temannya, mengalihkan supaya alibinya tidak ketahuan. "Yeyy, aku juga kali. Mana mau punya pacar kaya kamu. Udah orangnya lelet, keras kepala juga, hihh! Pait pait pait!" timpal Zaky tidak mau kalah. "Awas lho, nanti pada kemakan omongan sendiri. Benci, benci, benci eh akhirnya malah jadian. Kan nggak lucu juga, hahahaha!" celetuk Rony makin menjadi . "Hahaha!" seketika riuh tawa Sabrina, Michel dan Rony membuat gaduh ruangan kelas. "Udah ah, ini mau bahas tugas kok malah jadi kemana-mana gini sih! Gimana kalau ngerjain tugasnya di rumah Kei aja?" sahut Michel, terlihat bersemangat. "Hemmm, ide bagus. Kebetulan banget, aku juga kangen sama masakannya bunda kamu, Kei, hehehe." celetuk Rony, si pemalas dan si tukang makan. "Ya ampun! Ini isi otak lo kalau nggak kakan ya tidur, atau main PS! Parah Rony!" seloroh Michel. "Hehehe, kan sesuai pepatah mengatakan, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali belajar, bisa makan dan kenyang juga. Begitu konsepnya Chel." timpal Rony tak mau kalah. Keinara bangkit dari bangkunya. "Ya udah, yok cabut! Kelamaan diskusi tar yang ada malah kaga jadi-jadi." ujarnya lalu berjalan keluar duluan. Keempat sahabatnya itupun mengekor di belakang. *** Siang yang begitu terik, membuat Yudha memutuskan mampir ke sebuah warung pinggir jalan. Perutnya sudah terasa keroncongan. Dahagapun tak bisa di elakkan. Walaupun punya cukup banyak uang di kantong, namun begitulah Yudha yang selalu hidup dengan penuh kesederhanaan. Yudha menepikan mobilnya di sisi jalan, lalu segera turun dan masuk ke dalam warung langganannya tersebut. "Siang Mas ganteng! Monggo, mau makan apa?" sambut bu Tatik, si penjual yang selalu ramah dengan para pengunjung warungnya. Terlebih Yudha adalah pelanggan setianya yang sudah bertahun-tahun lamanya. Mereka berdua bisa dikatakan sudah saling mengenal. "Biasa bu! Es teh satu sama nasih pecel lauk ayam satu ya bu." sahut Yudha sambil duduk. "Siap, mas ganteng! Tunggu lima menit ya, hehe!" bu Tatik segera menyiapkan pesanan Yudha. Siang ini warung terlihat begitu lenggang. Tidak banyak pengunjung yang datang. Hanya ada beberapa orang yang terlihat duduk di dalam warung makan yang berukuran lima kali lima meter tersebut. Yudha selalu mengambil posisi duduknya yang menghadap ke jalanan. Niatnya adalah, sambil makan bisa sekalian menikmati pemandangan jalan yang makin hari makin terlihat banyak kendaraan yang lalu lalang di hadapannya. Jogja memang sudah tak seramah dulu. Bahkan kini mobilitas kendaraan sudah hampir sama dengan kota-kota besar, padat merayap. Akan macet ketika jam-jam sibuk tiba. Tiba-tiba Yudha melihat sebuah mobil melintas dengan kecepatan sedang, membuatnya dengan jelas bisa melihat siapa yang ada di dalam mobil tersebut. Mata Yudha makin melebar, hingga membuatnya beranjak dari duduknya dan keluar dari warung, memastikan siapa sosok yang baru saja dia lihat tersebut. Sayang, mobil sudah lebih dulu berlalu dan hanya terlihat bagian belakangnya saja. "Rafly? Itu beneran Rafly? Dia ada di Jogja?" lirih Yudha, masih terpaku menatap mobil yang sudah menghilang di telan jalanan. Yudha berjalan menuju tempat duduknya kembali. Pikirannya menjadi tidak tenang. Apa iya Rafly ada di Jogja? "Nggak mungkin dia ada di sini. Buat apa coba! Ah, mungkin saja orang yang barusan aku lihat itu cuma mirip aja kali ya." batin Yudha menyangkal apa yang barusan terlihat di depan matanya. "Mas ganteng kenapa e? Kok kaya panik gitu? Barusan keluar lihat siap e mas?" tanya bu Tatik, seraya meletakkan minuman dan makanan pesanan Yudha. "Owh, itu tadi kaya sekilas melihat teman aku, Bu. Teman lama sih, udah lama nggak ketemu." ujarnya, lalu mengambil gelas berisi es teh manis pesanannya. Yudha meneguknya dengan cepat, bahkan hampir setengah dari isi gelas sudah ia habiskan. "Owh, lihat temannya to. Ibu kira lihat kuntilanak atay setan, abisnya lihatnya sampai segitunya, he he he!" gurau Bu Tatik. "Ak Ibu bisa aja. Mana ada siang bolong begini ada setan atau kuntilanak! Yang ada mereka pada takut panas kali, ha ha ha." Bu Tatik menyambutnya dengan gelak tawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD