David tersungkur di lantai dengan wajah lebam sambil memegang perut. Seluruh tubuhnya terasa ngilu otot-ototnya sulit untuk menggerakkan tangan yang merayap pada akhirnya menemukan kaki kursi digunakan untuk membantu bangun secara perlahan.
Lelaki itu hanya bisa meringis sambil mendesah merasakan sakit. Sedangkan dua orang suruhan Darius tadi telah pergi usai mengancam dirinya dengan rasa puas.
Beruntung, David meminta paman Anhar untuk membawa Ardika pergi, jika tidak putra kesayangannya itu pasti akan menjadi sasaran.
Sebelum mereka pergi mengatakan, bahwa David dilarang untuk mencari istrinya. Atau seluruh anggota keluarganya terkena dampaknya.
Di rumah Anhar, Ardika tampak khawatir terus saja menatap pintu. Menunggu sang ayah datang. Sudah dua jam lamanya sejak kedatangan Ardika di rumah Anhar, tetapi David belum juga menampakkan batang hidungnya.
"Paman, kenapa ayah lama sekali?" tanyanya dengan wajah pilu.
Anhar yang berdiri di sampingnya menepuk pundak Ardika. Meski kini dia sedang khawatiran luar biasa memikirkan keponakannya.
"Mungkin urusan ayahmu belum selesai. Tenanglah, dia pasti baik-baik saja." Anhar pun sama khawatirnya, sorot mata lelaki setengah baya itu terus saja mengarah ke luar.
Hingga mereka berdua tiba-tiba terkejut saat David datang berpegangan di pinggir pintu. Sorot matanya sayup di sekitar membiru.
"Kamu kenapa seperti ini, David? Apa yang telah mereka lakukan?" Anhar benar-benar geram melihat David dalam keadaan banyak luka.
"Ayah ...." Ardika berlari untuk memeluk sang ayah. Begitu erat seolah takut kehilangan selamanya.
Anhar membawa David untuk duduk di kursi. Kemudian mengambil air hangat dan kain kecil untuk mengompres lebam di wajah David.
Sesekali keponakannya itu meringis saat kain mengenai wajahnya yang tergores.
"Sudah paman katakan, mereka itu sangat kejam tidak punya hati. Jangan sekali-kali melawan mereka."
David diam, kemudian mengambil handuk kecil dari tangan Anhar. Memilih mengompres pipinya sendiri.
"Apa tidak sebaiknya kita laporkan saja pada polisi, David? Mungkin pihak berwenang akan akan membantumu."
David menggeleng.
"Tidak paman, masalah ini akan semakin runyam kalau aku membawa ke kepolisian. Mungkin mereka bisa-bisa menyakiti Azami jika tahu aku melakukan itu semua."
Paman menarik napas panjang sambil duduk di samping David. Menyalakan sebatang rokok di untuknya sendiri. Menghirup kemudian menghembuskan asap nikotin itu hingga membumbung di hadapannya.
"Sekarang kau bagaimana? Apa tidak memikirkan keselamatan Ardika?"
"Saya akan tetap membawa Ardika pergi untuk mencari Azami, Paman. Saya akan merasa khawatir jika meninggalkan dia sendirian di desa ini. Anak buah Darius bisa sewaktu-waktu datang, lalu kalau menculik?" David menggeleng menahan geram tertahan.
"Mereka sudah berhasil menyembunyikan Azami, maka untuk kedua kalinya tidak akan aku biarkan mereka menyentuh Ardika."
Meskipun anak buah Darius sudah menghajar dirinya dan memberi ancaman yang mengerikan. David sama sekali tidak gentar, dengan terus saja maju untuk tetap menjemput Azami ke rumah Darius.
Bersama putranya, Ardika. David membawa uang hasil penjualan sawah untuk pergi kota. David meminta pada pamannya untuk memberi tahu semua orang, jika kepergiannya hanya untuk berkunjung di rumah kakek yang berada desa tetangga. Itu semua dia lakukan untuk mengelabuhi anak buah Darius, yang sangat melarangnya untuk pergi ke kota mencari Azami.
Di stasiun kereta, David dan Ardika berjalan beriringan. Membawa tas ransel di punggung masing-masing mereka berdua juga memakai topi sebagai penutup kepala. David membiarkan Ardika menunggu di kursi besi tempat orang-orang menunggu.
David membeli tiket kereta di loket. Setelah mendapatkan dua lembar kartu di tangannya, David berjalan dengan senang akhirnya bisa membawa dua buah tiket terakhir untuk keberangkatan ke kota Mhures, yang berjarak dua jam dari desa Neling.
Langkah lelaki itu tiba-tiba terhenti, saat di hadapannya ada 2 orang yang berwajah sangar dan berotot. David masih mengenal siapa mereka, yang tak lain adalah anak buah Darius.
Pasti mereka ingin menghalau David untuk bepergian mencari istrinya. Jika David menghadapi 2 orang itu mungkin kereta akan segera meninggalkannya. Jalan satu-satunya kini adalah menghindar dari mereka.
David melangkah mundur, tatapan matanya lurus ke depan tanpa beralih sedikit pun. Begitu David membalik badan ingin pergi kedua orang itu mengetahui keberadaannya.
"Hei! Jangan lari!"
Dua orang berbadan kekar itu mengejar David dengan langkah lebar. Menjadi pusat perhatian orang-orang di area stasiun.
David berlari dengan cepat menghampiri Ardika yang akan menenggak air mineral dalam botol yang akhirnya meleset kena pakaiannya basah.
"Apa yang Ayah lakukan?!" kesal bocah tampan memiliki kulit bersih dan rambut hitam lebat itu.
"Kita harus secepatnya pergi dari sini, Ardika!" David sesekali menoleh ke belakang. Ternyata dua orang itu sudah terlihat dari sana.
David segera mengemasi ransel Ardika yang diletakan di kursi besi. Menarik pergelangan tangan putra yang masih bingung itu. Mau tak mau Ardika ikut berlari menuju dalam stasiun.
Kereta berangkat lima belas menit lagi. Sebisa mungkin David harus menghindari dua orang itu.
"Ayo, Ardika! Kita harus cepat masuk!" serunya melihat ke belakang. Dua orang kini semakin dekat.
"Mau ke mana kalian?!" teriak salah satu dari mereka.
"Ayah, apa mereka orang yang datang ke rumah kita kemarin?" tanya Ardika pada ayahnya yang masih saja berlari.
"Iya, mereka itu orang yang sangat berbahaya, kita harus segera berlari." Napas keduanya semakin memburu seiring keringat yang mengucur dari pelipis.
Namun otot kakinya terus berpacu dengan waktu.
"Kami bilang, BERHENTI!"
Suara merdeka semakin kencang. Membuat Ardika benar-benar gemetar ketakutan. Kecepatannya berkurang sehingga mempercepat jarak mereka. David yang berlari di depan tiba-tiba menoleh ke belakang Ardika tersungkur di atas lantai.
Dua orang itu tepat di belakang putranya, David langsung berlari menghampiri. Secara bersamaan dia berjongkok ingin menolong Ardika, mereka sudah berdiri di hadapannya.
"Kau tidak apa-apa, Ardika?" tanyanya dengan nada berbisik di depan wajah. Ardika menggeleng, tapi napasnya terengah-engah.
"Kau mau coba-coba mengelabui kami?" tanya salah satu dari mereka.
David memutar bola mata melihat orang-orang sekeliling. Sepertinya jika banyak orang seperti ini dia dan putranya akan aman.
"Tampaknya peringatan yang kami berikan, sama sekali tidak berpengaruh untukmu."
Mata David memandang ke arah dua orang itu lurus. Waspada. "Ardika, apa kamu masih bisa berlari?" tanyanya berbisik sangat pelan di dekat telinga Ardika.
Tanpa menjawab Ardika mengangguk sambil terus saja menatap lurus.
"Bagus, kita sekarang bersiap berlari. Atau mereka akan menangkap kita."
Ardika mengangguk lagi. Menekuk kedua lututnya yang sebelumnya lurus.
"Mau ke mana kalian?" Wajah kedua orang itu semakin tidak bisa ditebak.
Mendekat ingin meraih kerah David, tapi dengan cepat David melempar tas ranselnya kemudian berlari bersama Ardika sekencang mungkin.
"Hei, berhenti!"
Teriakan dua orang itu menyita perhatian orang-orang.
"Apa kalian tahu? Mereka itu copet dompet saya!"
Orang-orang itu bereaksi, petugas pengaman stasiun bergerak cepat. Ikut mengejar David beserta putranya.
David memberikan tiket untuk petugas. Kemudian masuk ke dalam area dalam kereta.
"Ayah, kenapa mereka semakin banyak mengejar kita?" tanya Ardika. Saat mereka sudah berada di dalam. Duduk di kursi saling berhadapan sambil menatap jendela.
Di hadapan mereka berdua ada seorang pria setengah baya berambut putih. Memperhatikan dengan wajah tenang dan santai.
Sementara dari arah pintu masuk kereta dua orang petugas keamanan masuk. Mata mereka menelisik satu per satu penumpang yang berjumlah puluhan orang di gerbong depan.
"Pakailah ini."
David yang sedang dilanda kepanikan itu seketika menoleh ke arah tangan pria tua itu. Dua buah kerudung panjang dia terima.
"Pakailah, maka kalian akan aman," ucap pria tua itu lagi meyakinkan David.
Melihat ke arah depan, dua orang itu kian dekat. Tanpa berpikir panjang memakai selendang itu untuk penutup kepala. Pria tua itu duduk di sampingnya mengambil selimut menaruh Ardika di tengah. Mereka saat ini terlihat seperti keluarga yang bahagia.
Pria tua itu merangkul kepala David hingga tertunduk di atas kepala Ardika. Ternyata dua orang penjaga itu sudah ada di hadapan mereka.
"Apa kau melihat satu orang pria muda beserta anak kecil laki-laki, Pak?" tanya petugas kemanan itu.
Pria tua menggeleng cepat, sambil terus saja memeluk kepala David. "Saya sejak tadi tertidur, Tuan. Maaf, saya tidak melihat siapa pun."
Satu orang percaya, tapi tidak dengan pria satunya lagi. Matanya menelisik ke arah David, seolah ingin membuka kerudungnya.
Tangannya terangkat, tapi dengan cepat di tahan oleh pria tua.
"Maaf Tuan, lebih baik Anda jangan mengganggu istri dan anak saya yang sedang tidur. Kasihan mereka, kami sudah melewati perjalanan jauh."
Mereka mengerti setelah mengangguk berlalu pergi.
Meskipun terus saja memperhatikan hingga tak terlihat lagi.
Kereta melaju. Pria tua itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Memastikan kalau situasi sudah benar-benar aman. Kemudian melepaskan tangannya, memberi ruang untuk David dan Ardika duduk tegap membuka kerudung.
Kemudian pria tua itu duduk di tempatnya seperti semula. Berwajah santai dan tenang sambil melihat ke arah luar jendela.
"Kau harus berhati-hati dalam bertindak, Nak. Apa lagi tujuanmu adalah menghadapi orang yang tidak gampang. Tetap jaga dirimu dan juga anakmu."
David mengerutkan dahi bingung. Bagaimana pria itu bisa mengetahui tujuannya. Ia tidak bisa habis pikir dengan dia.
"Terimakasih, Pak, sudah mau menolong kami. Kami sama sekali tidak bersalah, karena bukan copet seperti yang mereka bilang."
Pria itu tidak lagi menjawab, terus saja tersenyum. Wajahnya seolah menunjukkan seseorang yang berwibawa. Tetapi penampilannya seperti orang dari kampung seperti dirinya.
Kereta melaju dengan cepat, tak terasa dua jam lamanya. Kini telah tiba di kota Mhures tujuan David. Dia mengucapkan terima kasih untuk kedua kalinya, sebelum pertemuan dengan pria tua itu berakhir.
David memilih berjalan di antara desakan penumpang lainnya. Itu semua bertujuan jika ada anak buah Darius tidak bisa melihatnya.
Matahari bersinar terang, seolah menyambut kedatangan David di kota Mhures. Bersama putranya pria itu berjalan kaki dengan waspada mencari rumah yang bisa dijadikan tempat tinggal sementara.
-TBC-