Hemat Bukan Pelit

1178 Words
Keesokan harinya Pagi ini semua terasa berjalan seperti biasa. Farah yang selalu teriak memanggil ibunya dan tidak bisa berbicara dengan suara pelan. Ratna yang sepagi ini sudah di perintah untuk mengerjakan ini dan itu hanya bisa terdiam menurut tanpa banyak bicara. Ningsih yang sibuk mengurus keperluan suami dan anak-anaknya, atau lebih tepatnya keperluan suami dan anak bungsunya. Dan juga, Mahfud yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dan bersiap untuk berangkat ke toko tempatnya mencari nafkah halal bagi keluarga kecilnya. "Bu... Ntar tambahin uang jajan aku ya. Aku mau beli es Boba sama kakak." Ucap Farah kepada ibunya. Dia yang sudah berada di dapur untuk menghampiri Ningsih pun segera mengutarakan tujuannya datang. Melihat sang ibu yang sedang menyiapkan bekal untuk di bawanya ke sekolah pun tidak berinisiatif untuk membantu. "Iya, nanti ibu tambahin ya sayang ya. Udah sekarang cepetan siap-siap, bentar lagi ayah turun terus langsung berangkat kalian." Ucap Ningsih sambil tangannya cekatan memasukkan bahan makanan yang sudah dia persiapkan ke kotak bekal untuk suami dan anak bungsunya. Dia sedikit kerepotan dengan kedatangan anak bungsunya tersebut, dan menganggapnya sebagai gangguan. Sehingga, dia pun berusaha untuk mengusir anak bungsunya tersebut secara halus. "Oke ibu, ntar aku ajak kakak beli es boba juga." Balas Farah dengan sangat sumringah. Dia berkata demikian sambil melirik sang kakak yang sedang memasukkan bahan makanan ke kotak bekalnya sendiri. Farah yakin jika sang kakak tidak akan menolak keinginannya tersebut. Sedangkan Ratna pun hanya melirik sekilas ke arah Farah dan tidak menanggapi apa-apa. "Ntar kakak kamu suruh beli sendiri aja, ngga usah di traktir. Dia kan udah ada uang jajan sendiri. Biar ngga boros." Jawab Ningsih lagi kepada anak bungsunya. Ratna yang sedari tadi mendengarkan percakapan ibu dan adiknya pun seketika menanggapi dengan tak acuh. "Iya lihat nanti aja ya Farah. Kamu kan tau uang jajan kakak ngga banyak. Mana bisa jajan sembarangan gitu." Balas Ratna akhirnya. Dia ingin mencoba untuk melawan ketidakadilan yang dia alami selama berada di rumah orangtuanya. Walaupun Ratna tau setelah ini dia akan menjadi sasaran amarah ayah dan ibunya, tapi dia akan tetap bertahan untuk melawan. Ratna yang sudah selesai dengan ritual di pagi harinya pun, bergegas meninggalkan dapur menuju ruang pribadinya yang berada di lantai atas. Kini, dia sudah tidak peduli dengan ancaman yang sering kali di lontarkan sang ibu. "Elu kalo ngga nurut sama omongan gue, pergi dah lu dari rumah ini. Hiduplah sono di jalanan, biar jadi gembel sekalian, ngga peduli gue juga." Begitu kira-kira ucapan Ningsih yang selalu terngiang di telinga Ratna. Saking takutnya Ratna dengan ancaman tersebut, membuatnya pun tumbuh menjadi gadis yang mudah terserang panik dan selalu hidup di bawah bayang-bayang ancaman dari sang ibu. "Yaahhh ibu, kakak kok gitu sih sama aku, ngga mau nemenin aku beli es Boba." Ucap Farah yang mulai memainkan drama di pagi hari tersebut. Dia amat tidak senang jika sang kakak menolak keinginannya. Apapun itu harus selalu terpenuhi. Maka, kini dia pun menjadikan sang ibu Tameng untuk membuat sang kakak berbalik menuruti keinginannya. "Tau tuh dia kurang ajar banget dah." Ucap Ningsih yang sudah mulai terpancing dengan drama yang di lakukan Farah "Udah sekarang kamu samperin kakak kamu ke kamar, terus bilang kalo dia ngga mau nurutin kemauan Farah ntar ibu yang turun tangan. Oke?" Sambung Ningsih lagi berusaha membujuk anak bungsunya agar tidak merajuk di pagi hari yang cerah tersebut. "Oh yaudah kalo gitu, oke ibu. Aku mau bilang kakak dulu ya ke atas, bye bye ibu." Balas Farah sambil berlalu meninggalkan sang ibu dan Naik ke lantai atas untuk menyusul kakaknya. Senyum semringah seolah tidak terjadi apa-apa pun tercetak jelas di wajah Farah. Sesampainya di depan kamar kakaknya, Farah langsung membuka pintu dan menyampaikan maksud kedatangannya. "Kak, nanti pulang anterin aku beli es Boba yang ada di ujung gang sekolah kita ya kak. Enak banget kayanya ntar siang siang minum es Boba." Ucap Farah sesaat setelah membuka pintu kamar Ratna. Farah mengulangi ucapannya yang sama seperti saat masih berada di dapur tadi. Karena, seorang Farah memang tidak menerima penolakan. Dia harus mendapatkan apa yang dia inginkan walaupun harus mengorbankan perasaan orang lain dia tidak peduli. "Hm, kamu aja ya dek, kakak uangnya mau buat fotokopi tugas dari Bu Arum. Di kumpulin siang ini sehabis pulang sekolah. Jatah mingguan kakak udah menipis dek." ucap Ratna mencoba memberi pengertian untuk adiknya. Sebetulnya Ratna tidak tega menolak keinginan adiknya tersebut, tapi keadaan dirinya yang hampir kehabisan uang memang tidak mungkin untuk memenuhi keinginan adiknya tersebut. Sayangnya, sang adik sama sekali tidak mau mengerti keadaannya. "Ngga mau tahu, pokoknya nanti kakak ikut aku beli es Boba. Kalo ngga mau nanti aku bilangin ibu biar kakak kena marah lagi, gimana?" Ancam Farah seraya menaik-turunkan alis menatap Ratna yang kebingungan. Pertahanan Ratna pun mulai goyah. Bayangan mengerikan ketika pukulan demi pukulan mendarat di tubuhnya pun muncul bagaikan film yang sedang diputar. "Kakak nemenin aja ya, ngga usah ikut beli." Ratna mencoba untuk membujuk adiknya lagi. Namun, usahanya pun kembali gagal. Sang adik tetap pada pendiriannya untuk memaksakan kehendaknya sendiri. "No way! Aku bilang kan kakak ikut aku beli. Ya berati kakak harus beli juga. Oke kak?" Farah tetap kekeuh mempertahankan keinginannya. Dia sama sekali tidak memperdulikan kondisi kakaknya. "Yaudah oke. Kakak ikut aja mau kamu." Ucap Ratna pasrah dengan keinginan adiknya. Akhirnya pertahanannya pun goyah. Ternyata, dia belum setangguh itu untuk melawan ketidakadilan yang dia alami selama ini. 'Nah gitu dong kak. Aku kan jadi makin sayang sama kakak." Balas Farah dengan sangat antusias. Dia pun mendekat dan memeluk kakaknya dengan sangat erat. Mendapat perlakuan seperti itu dari sang adik membuat hati Ratna sedikit menghangat. Dinding kokoh yang semula dia pertahankan untuk menjadi benteng waspada terhadap adiknya pun seolah rubuh seketika. Meskipun dia tau, sang adik memperlakukan dia seperti itu karena suatu keinginan yang ingin di capai. Tetapi, tidak menjadi masalah untuk Ratna. Ya, sebaik itu memang hati kecil Ratna. *** Setelahnya mereka pun turun ke lantai bawah menuju dapur untuk mengambil bekal makannya masing-masing. "Ini punya lu ya Ratna. Berhubung tanggal tua dan gua belum belanja ke pasar. Lu ngga kebagian daging, dagingnya gua kasih bapak lu sama ke adek lu. Lu ngga usah iri. Ngga makan daging juga ngga bikin lu mati kan?" Ucap Ningsih dengan raut muka sinisnya. Tanpa Ningsih memperjelas apa yang ada di dalam kotak bekal makannya pun, sebetulnya Ratna sudah mengetahuinya. Sebab, tadi dia sendiri yang mengisi kotak makannya dengan jatah makanan yang sudah di atur oleh Ningsih. Ratna pun memilih tidak menggubris ucapan Ningsih yang terdengar seperti biasa di telinganya, diapun langsung mengambil jatah bekalnya. Setelahnya dia langsung berlalu meninggalkan dapur setelah mengucapkan terimakasih. "Ini buat anak ibu yang cantik, sekolah yang pintar biar bisa nyenengin ibu sama ayah." Ucap Ningsih sambil mengelus rambut Farah dengan sayang. Dalam keluarga ini memang tidak membiasakan ritual sarapan pagi. Ibu mereka hanya akan menyiapkan bekal. Selain efisiensi waktu dan tenaga, juga untuk menghemat bahan makanan. Begitulah Ningsih, dia akan menghemat anggaran bulanan untuk nantinya uang yang tersisa akan dia simpan untuk jaga-jaga semisal ada kebutuhan yang mendesak. Bersambung... Kasian ya Ratna, urusan makan aja ada jatahnya sendiri. Sedih banget, semangat selalu Ratna, you are the best... Love you...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD