Perlu usaha yang besar untuk mengalihkan perhatian Alan. Berbagai cara dilakukan oleh Hiro. Walaupun ia tidak terlalu ingat tentang bekas luka di Heri. Daya ingat anak kecil tidak bisa disepelekan. Bahkan Alan termasuk anak yang pertumbuhannya cukup cepat. Bersyukur Hiro bisa melewati sesuatu yang seperti ujian untuk dirinya. Kini sang anak sudah memejamkan mata di atas ranjang. Wajahnya tampak damai, walau mata terlihat membengkak. Jangan tanya seberapa lama Alan menangis, bahkan Hiro tidak bisa membayangkan hal itu kembali.
Hiro beristirahat sebentar di ranjang khusus. Kebetulan ia memindahkan Alan ke ruang VIP agar sang anak merasa nyaman dan juga tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Sebelum tidur, Hiro merenungkan sesuatu. Bagaimana kabar perusahaan? Seharian ini Hiro tidak membuka ponsel. Ia mengambil ponsel di saku celana. Ternyata oh ternyata, daya ponsel habis. Hiro meletakkan begitu saja di atas nakas. Lebih baik ia segera beristirahat sebelum Alan bangun. Hiro butuh tenaga untuk menjaga dan merawat Alan.
Rasanya baru beberapa menit memejamkan mata, tetapi Hiro harus terbangun kembali karena mendengar suara tangis Alan. Entah apa yang dialami sang anak, Hiro dengan cepat bangkit dari ranjang. Bahkan ia hampir terjatuh karena kesadaran belum kembali seratus persen.
"Papa, akut..."
Hiro mengucek mata untuk memastikan apa yang sedang ia lihat. Kali saja ia salah lihat ternyata tidak. Tubuhnya mendadak lemas karena melihat tangan Alan yang sudah mengeluarkan darah.
Buru-buru Hiro mendekat dan menekan tombol pemanggilan petugas medis. "Nggak apa-apa," lirih Hiro menenangkan sang anak.
"Alan akut, Alan akut."
"Nggak apa-apa. Papa disini." Entah apa yang ditakutkan oleh sang anak. Jujur saja Hiro tidak bisa berpikir dengan normal sekarang.
Hiro memegang tangan sang anak agar tidak banyak bergerak. Bisa-bisa darahnya semakin banyak keluar.
"Ada apa, Pak?" petugas masuk.
"Infusnya lepas." Hiro mencoba untuk tenang walau pikirannya kacau.
Petugas medis ingin mendekat tetapi Alan menolak. Ia tidak ingin didekati oleh siapapun dan hanya ingin bersama Hiro.
"Kakak perawat mau pasang infus dulu," kata Hiro memberi penjelasan kepada Alan. Namun Alan menggeleng dan mengamuk tidak jelas. Mulutnya selalu meracau kata takut.
"Kakak perawatnya bukan orang jahat." Hiro berusaha mengendalikan diri. Jangan sampai ia lepas kendali dan menciptakan trauma baru kepada sang anak.
Alan berteriak histeris. Darah sudah bertetesan di lantai. Mau tidak mau, Hiro menahan tubuh sang anak agar tidak banyak bergerak. Saat perawat berusaha memasang infus, Alan kembali mengamuk.
"Ada apa?" Dokter datang dengan ramah.
"Infusnya lepas, Dok."
Dokter tampak tenang. Wajahnya tersenyum ramah. "Alan kenapa nangis?" tanya Dokter dengan ramah. Ia mendekat agar bisa mengendalikan situasi yang terlihat kacau.
"Akut...akut," racunya. Alan memeluk leher Hiro dengan kuat.
"Takut apa?"
"Dor dor dor." Alan menirukan suara tembakan.
Tatapan mata Hiro seketika menjadi sayu. Ternyata Alan takut dengan suara tembakan. Orang dewasa saja bisa trauma jika terjadi penembakan di depan mata mereka, apalagi anak kecil yang masih punya banyak ruang kosong di dalam otaknya.
Dokter menyuruh Hiro mengusap punggung Alan.
"Papa disini," ucap Hiro agar rasa takut sang anak sedikit berkurang. Dokter membalut tangan Alan yang mengeluarkan darah untuk sementara waktu. Infus Alan lepas tidak hanya sekali, tapi beberapa kali. Padahal perawat sudah memasangnya dengan kokoh.
Butuh waktu yang lama untuk menenangkan Alan dan Hiro berusaha untuk tetap sabar. Jujur saja sebelumnya ia bukan orang yang tahan dengan suara tangis anak kecil. Tapi kini mau tidak mau, Hiro harus bisa menerima semuanya.
Setelah sang anak tenang dan kembali beristirahat, Hiro menemui dokter di ruangannya. Ia perlu berkonsultasi tentang kondisi Alan. Tidak hanya dokter anak, tetapi ada dokter yang juga menangani mental Alan. Hiro bertanya banyak hal tentang kondisi Alan. Bagaimanapun, Hiro akan mengobati rasa trauma yang sudah dialami oleh Alan walau membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
***
Berhubung Hiro tidak bisa berlama-lama meninggalkan perusahaan. Apalagi rekan-rekannya terutama Agam sudah mengetahui lokasi dimana ia berada sekarang. Mau tidak mau Hiro harus kembali. Kondisi Alan juga sudah membaik, luka-luka pada tubuhnya sudah mengering. Tetapi Alan harus tetap menjalani terapi untuk menangani trauma yang ia alami. Dokter memberikan beberapa rekomendasi rumah sakit yang ada di kota Hiro. Tentu saja Hiro mencari dokter terapi terbaik. Ia tidak peduli harus mengeluarkan uang sebanyak apapun. Yang terpenting anaknya bisa hidup seperti anak-anak yang lainnya.
“Apa tidak menunggu keluarga yang lain dulu, Pak?”
“Keluarga yang lain?” Hiro mengerutkan kening. Ia tengah mengurus administrasi pengobatan Hiro selama dirumah sakit ini.
“Iya, Pak Heri menyuruh juga menyuruh pihak rumah sakit untuk menghubunginya.”
Siapa? Benak Hiro bertanya-tanya. Ia tidak punya keluarga yang lain.
“Kapan dia akan datang?”
“Saya tidak tau, Pak.”
Hiro meminta pena dan kertas. Ia menulis sesuatu di kertas tersebut. “Saya tidak bisa menunggu yang tidak pasti, kalau ada yang mencari keberadaaan Alan bisa datang ke rumah saya.”
Ternyata Hiro memberikan alamat rumahnya.
“Baik, Pak.
Hiro membawa barang terakhir yang ditinggalkan oleh Heri yaitu dua tas. Sampai sekarang ia belum membuka apa saja isi tas tersebut. Mungkin hanya berisi pakaian.
Sejak tadi, Hiro menggendong sang anak. Topi dan masker sudah terpasang. Saat Hiro ingin naik taksi, Alan langsung mengamuk. Ia tidak ingin naik taksi. Trauma sang anak kembali datang.
"Oke oke, kita naik kendaraan lain." Hiro meminta maaf kepada supir taksi. Banyak pasang mata yang melihat ke arah mereka. Hiro masih berusaha menenangkan Alan. Ternyata tidak mudah untuk menjadi orang tua. Bahkan Hiro sedikit frustasi.
"Ndak au... ndak auuuu."
"Iya iya, kita nggak naik mobil."
Akhirnya Alan berhenti menangis walau jejak air matanya masih terlihat. Hiro mencari kendaraan lain yaitu sepeda motor. Walaupun cukup kesusahan karena ada tas yang harus dibawa, Hiro tidak punya pilihan lain. Mereka harus segera sampai di bandara agar tidak terlambat untuk check in.
"Itu apa?" tunjuk Alan.
Hiro tidak terlalu melihat, ia menjawab secara asal saja. Padahal baru beberapa menit yang lalu Alan mengamuk, tapi sekarang sudah terlihat normal kembali. Ternyata cukup sulit memahami seorang anak. Mungkin hanya Hiro yang kesulitan. Padahal dokter sudah mengatakan jika Alan trauma untuk naik mobil tetapi Hiro menganggapnya sepele. Hiro memang Papa yang payah.
"Sampai," ucap Hiro lega.
"Yeyy ampai." Alan bersorak kegirangan. Padahal ia tidak tahu akan pergi kemana.
"Turun dulu," ucap Hiro karena ia ingin mencari dompet di dalam tas.
"Ndak auu."
Lagi dan lagi, Hiro harus bersabar. Ia mencari dompet di dalam tas sambil menggendong sang anak.
"Maaf ya, Pak." Hiro merasa tidak enak hati kepada driver ojek karena terlalu lama menunggu.
"Tidak apa-apa, Pak. Anaknya pintar."
Hiro tersenyum. Ia mengucapkan terima kasih. Saatnya mereka masuk ke dalam bandara untuk melakukan check in.
"Mau cucu," pinta Alan saat Hiro sedang melakukan check in.
"Nanti ya, Papa check in dulu."
"Cekalang no nanti."
Hiro menarik nafas dalam-dalam. "Nanti."
"Cekalang, Papa!"
Hiro tidak menghiraukan racauan sang anak. Apalagi mereka sedang buru-buru. Ternyata mengurus anak bukan perkara mudah. Lihat saja, Alan sudah menangis kembali. Apakah dia tidak paham apa yang sedang dilakukan oleh Hiro? Pertanyaan ini tidak tepat karena Alan masih anak kecil.
Hiro meminta maaf kepada orang disekitarnya karena suara tangis sang anak. Ia merasa tidak enak hati dan segera membawa Alan ke tempat sepi. Tentu saja Hiro sudah melakukan check in.
"Diam!" tegas Hiro.
Tangis Alan bertambah kuat. "Papa alah alah teyus," rengeknya.
"Papa nggak marah, tapi Alan nggak boleh nangis."
"Papa alah."
Hiro mengacak rambutnya frustasi. Tiba-tiba ia mengingat Agam. "Apa anak sang teman juga seperti Alan?"
Entahlah, Hiro cukup lelah. Baru beberapa hari, ia sudah cukup frustasi. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Hiro harus menyiapkan diri.
***
Hiro menghela nafas panjang. Akhirnya ia sampai di kota tempat tinggalnya berada. Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, pesawat yang ia tumpangi mendarat dengan selamat. Hiro menuju pintu keluar bandara dengan menggendong Alan. Kebetulan Alan tidur setelah minum s**u. Dia cukup rewel belakangan ini, mungkin karena psikis dan fisiknya belum stabil. Hiro dapat memaklumi hal tersebut. Ia harap kedepannya ia juga bisa memahami setiap tingkah sang anak.
Hiro menunggu seseorang datang untuk menjemput. Tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang-datang. Dering ponsel berbunyi. Hiro langsung mengangkatnya.
"Kenapa lama?"
"..."
"Ck, oke tunggu disana."
Hiro memutuskan sambungan secara sepihak. Orang yang ditunggu tengah menunggu di parkiran bandara. Ia tidak bisa datang ke pintu keluar. Mau tidak mau, Hiro melangkah ke parkiran.
"Maaf, Pak. Mau kemana?" Penjaga keamanan bandara mendatangi Hiro.
"Parkir," jawab Hiro.
"Shutttt," bisik Hiro ketika tubuh sang anak terasa menggeliat.
"Biar saya bantu, Pak."
Hati Hiro menghangat, didunia ini masih banyak orang baik. Jujur saja ia cukup kesulitan membawa barang-barang sambil menggendong sang anak. Apalagi ia menggendong dengan tangan kosong. Jika ada Baby wrap mungkin Hiro tidak akan terlalu mengalami kesulitan. Namun ia tidak sempat membeli karena dari rumah sakit langsung ke bandara.
Hiro berterima kasih kepada penjaga keamanan bandara yang sudah sukarela membantu dirinya. Mereka melangkah ke tempat parkir.
"Umur berapa anaknya, Pak?"
"Du-a tahun-" Keraguan terlihat jelas dari jawaban Hiro. "Mungkin," lanjutnya lagi.
"Mungkin?" beo penjaga keamanan.
Hiro tersenyum canggung. Ia juga tidak tahu pasti berapa umur Alan.
"Maaf, Pak. Umur anak saya dua tahun lebih. Saya suka lupa." Hiro langsung mengoreksi jawaban yang penuh keraguan sebelumnya. Jangan sampai karena jawaban itu, ia dicurigai sebagai penculik atau sindikat penjualan anak.
"Ada-ada aja, Pak."
Hiro tertawa untuk mencairkan suasana yang sedikit horor beberapa detik. "Sampai sini saja, Pak," pinta Hiro merasa tidak enak hati.
"Orang yang Bapak tunggu dimana?"
"Itu, Pak." Hiro melambaikan tangan dan menyuruhnya untuk mendekat.
"Baik, Pak. Semoga selamat sampai tujuan."
Hiro tersenyum. Ia mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan yang sangat bermakna tersebut. Membantu tanpa melihat siapa yang dibantu, mau orang sederhana, orang kaya, orang terkenal maupun orang yang punya kekuasaan.
"Bapak kemana saja?" Orang yang ditunggu Hiro langsung mencerca dirinya dengan pertanyaan. Apalagi suaranya cukup keras. Mau tidak mau, Hiro langsung menyumpal mulutnya dengan tangan. Mata Hiro menajam. "Diam!" ucapnya tegas.
Laki-laki di depannya langsung diam membeku. Dia adalah salah satu kepercayaan Hiro di perusahaan, namanya Dimas. Bisa dikatakan, ia sekretaris yang merangkap sebagai asisten. Butuh waktu 3 tahun bekerja sebagai karyawan perusahaan, barulah Dimas diangkat menjadi sekretaris Hiro.
Hiro bukan orang yang mudah percaya dengan orang lain. Dia punya masa lalu yang buruk, bahkan keluarganya sendiri banyak melakukan kebohongan yang sangat membekas.
"Wahh, Bapak beli boneka ini dimana?" Dimas menyentuh punggung Alan. Tentu saja Hiro langsung menyingkirkan tangan Dimas walaupun secara paksa. Bisa-bisanya ia mengira Alan adalah boneka. Apa Dimas tidak takut dipecat?
"Mata kamu ada dimana?"
"Ma-maaf, Pak. Ini mata saya." Dimas menunjuk matanya sendiri.
Hiro menghela nafas panjang. Rasa frustasinya semakin bertambah. Seharusnya ia meminta tolong kepada Yu atau Lp saja. Tapi Hiro belum siap untuk memberitahu rekan kerja sekaligus orang yang sudah ia anggap saudara sendiri tentang status baru yang dia dapat.'
"Jangan banyak tanya, saya capek."
"Saya tidak ada bertanya, Pak." Dimas menjawab dengan suara pena.
Hiro berusaha mengendalikan diri. Jangan sampai ia membangunkan sang anak karena rasa kesal.
"Antar saya ke apartemen."
"Baik, Pak." Dimas membawa barang milik sang atasan. Ia juga berlari untuk mengejar langkah kaki Hiro yang sudah berada di depan.
"Kok berhenti, Pak?" Dimas mendadak bingung.
Ekspresi wajah Hiro tidak bersahabat lagi. Ia menatap Dimas dengan sangat tajam seakan ingin menguliti. "Saya bilang jangan banyak tanya."
"Up. Maaf, Pak." Dimas memberikan gerakan mengunci mulut.
Mereka berhenti tanpa alasan yang jelas. Itu hanya menurut pikiran Dimas, tapi tidak dengan Hiro. Ia punya alasan kenapa berhenti.
Alan menggeliat kembali, mungkin merasa terganggu dengan suara dan juga gerakan yang dilakukan oleh Hiro. "Papa," rengek Alan.
"Papa disini," balas Hiro sambil mengusap punggung tangan sang anak.
Kali ini Alan tidak menangis, ia hanya bersandar di bahu Hiro.
"Kok bonekanya bisa bicara, Pak?" Dimas menganga saking tidak percayanya.
Hiro memejamkan matanya sejenak. Butuh kesabaran extra untuk menghadapi Dimas. Entah kenapa ia yang malah terpilih menjadi sekretarisnya. Padahal ada beberapa kandidat.
"Saya bilang jangan banyak tanya!"
"Papa alah?" cicit Alan.
Hiro langsung tertawa kecil. "Nggak, Nak. Papa nggak marah."
"Jangan alah-alah, nggak boleh."
"Iya, Nak. Papa nggak marah."
Banyak tanda tanya yang menumpuk di dalam benak Dimas, tapi ia tidak bisa bersuara sama sekali. Memilih bungkam untuk mencari aman. Hiro menurunkan sang anak sebentar untuk merapikan topi dan pakaiannya.
"Awat, Pa..." Alan bertepuk tangan saat melihat pesawat terbang tepat di atas mereka. Ia kehebohan sendiri, padahal beberapa menit yang lalu mereka baru saja turun dari pesawat.
"Iya, pesawat. Ayo Papa gendong lagi." Hiro mengulurkan tangan dan Alan dengan senang hati jatuh ke dalam gendongan Hiro.
"Maaf, Pak. Kita mau sampai kapan disini?" Dimas memberanikan diri untuk bertanya. Jika tidak, mereka terlalu banyak menghabiskan waktu di tempat parkir.
Hiro tertawa dengan tidak niat, lebih tepatnya ia tertawa palsu. "Motornya dimana Kak Dimas?" tanya Hiro. Berhubung ia tidak mau dianggap sedang marah oleh Alan, maka Hiro berusaha untuk berbicara dengan nada yang sangat bersahabat.
Lagi dan lagi, Dimas kembali terkejut. Bahkan lebih terkejut daripada mengetahui jika sesuatu yang ia kira boneka adalah manusia.
"Di-di sa-sana, Pak." Dimas menjawab sambil terbata-bata. Ia lebih takut sang atasan berkata dengan nada bersahabat.
"Ayo, Kak. Antar kami pulang." Hiro tersenyum sambil matanya menyipit.
"Ba-baik, Pak." Dimas bergidik ngeri. Ia langsung naik ke atas motor dengan barang bawaan sang atasan berada di depannya. Hiro dan Alan juga naik ke atas motor.
"Itu apa?" tanya Alan saat mereka sudah berada di jalan menuju apartemen.
"Bunga," jawab Hiro.
"Unga." Alan mengikuti jawaban sang papa.
"Gimana perusahaan?" tanya Hiro. Dia merasa bersalah karena meninggalkan perusahaan beberapa hari. Ia tidak takut perusahaan kacau karena masih ada Agam, Lp, Zero dan Yu. Hanya saja Hiro merasa tidak enak hati membuat pekerjaan yang lain terganggu.
"Aman, Pak. Tapi-"
"Tapi apa?"
"Pak Yu marah-marah karena Bapak menghilang begitu saja."
"Pak Agam gimana?"
"Tidak ada komentar. Dia menggantikan Bapak meeting dua hari yang lalu."
Hiro bernafas lega.
"Oh ya Pak, Boleh saya bertanya?" Dimas tidak ingin langsung bertanya. Ia takut kena omel lagi.
"Hm."
"Kenapa Bapak nyuruh jemput pakai motor?"
"Tidak apa-apa."
Dimas tidak lagi berkomentar.
Beberapa menit kemudian, motor berhenti di depan gedung apartemen. "Kamu bisa langsung ke perusahaan."
"Baik, Pak."
Dimas ingin segera pergi, tapi Hiro memanggilnya kembali. "Kenapa, Pak?"
"Jangan katakan pada siapapun soal ini."
"Soal Bapak baru kembali?" Kalau itu semua orang di perusahaan sudah ta-"
"Bukan itu," potong Hiro langsung.
"Soal ini," lanjut Hiro sambil menunjuk Alan.
Dimas menyengir. "Bapak hamili siapa?"