"Iya dengan saya sendiri. Ini siapa?"
"Kami dari rumah sakit Medical Green."
"Rumah sakit?" Hiro mengecek nomor yang tertera di layar ponsel. Ia baru mendengar nama rumah sakit tersebut. Apa panggilan yang sedang berlangsung termasuk penipuan? Tapi dari mana mereka mengetahui nomor Hiro?
"Iya. Pasien atas nama Heri Ghifari menyuruh kami menghubungi Anda."
Deg!
Jantung Hiro berhenti sejenak. Sudah lama ia tidak mendengar nama tersebut. Bahkan Hiro tidak menyangka mendengar nama itu kembali.
"Halo, Pak."
"Saya tidak mengenalnya," balas Hiro.
"Tap-"
"Saya tidak kenal, jadi jangan hubungi saya lagi," potong Hiro langsung.
"Tu-tunggu Pak, Jangan dimatikan dulu."
Tangan Hiro hanya diam.
"Kondisi Pak Heri kritis, dia berada di ruang ICU. Jadi-"
Tut tut tut
Panggilan terputus karena Hiro menyentuh tombol berwarna merah. Seketika pikiran Hiro menjadi kacau. Bahkan apa yang ada di depannya tidak menarik lagi.
"Nggak mungkin," lirihnya. Hiro menutup wajah dengan kedua tangan.
Panggilan telepon terdengar. Hiro langsung mengangkatnya.
"Ada apa?" tanya langsung.
"Maaf Pak, ada panggilan dari pihak rumah sakit Medical Green," ucap resepsionis.
"Apa kamu yakin dari rumah sakit Medical Green?"
Ternyata orang yang mengaku dari rumah sakit Medical Green tidak hanya menghubungi nomor pribadinya tetapi juga nomor perusahaan.
"Yakin Pak, saya sudah mengecek dan benar dari rumah sakit Medical Green." Sebelum menghubungi Hiro, resepsionis perusahaan sudah melakukan pengecekan terlebih dahulu. Tentu saja ia tidak mau ambil resiko jika panggilan tersebut termasuk tindak penipuan. Bisa-bisa ia langsung dipecat dari perusahaan.
"Matikan saja. Saya tidak ada urusan dengan rumah sakit tersebut."
"Baik, Pak."
Sesuai instruksi atasan, resepsionis langsung meminta maaf dan mematikan panggilan dengan sopan.
Pikiran Hiro bertambah kacau. Setelah bertahun-tahun, ia kembali mengingat nama berusaha ia lupakan. Entah kenapa hati Hiro merasa sangat sakit sekali. Memang hanya nama, tapi itu sudah bisa mengacaukan diri Hiro.
Lihat saja sekarang, ia memegang dadanya seakan ingin membuang rasa sakit yang muncul kembali. Nafasnya bahkan mulai tersengal-sengal. Hiro berlari ke kamar mandi, ia membasuh wajahnya dengan kasar. Ia harap setelah itu, semua akan baik-baik saja. Namun tidak sepenuhnya demikian, Hiro masih saja kacau. Ia memutuskan untuk keluar dari ruangan.
"Lo mau kemana?" Dari banyaknya waktu, Hiro malah bertemu dengan Agam yang juga sama-sama keluar dari ruang kerjanya.
"Cari angin."
Agam sedikit terkejut melihat wajah Hiro yang tampak pucat. "Lo sakit?" tanya Agam langsung.
Hiro memaksa bibirnya untuk tersenyum, jelas aja ia hanya bisa menunjukkan senyum palsu. "Sakit apaan? Gue baik-baik aja."
"Tapi-"
Hiro menepuk pundak Agam. "Biasalah, banyak kerjaan bikin pusing."
"Gue keluar dulu," ucap Hiro lagi.
Agam tidak menghentikannya. Alasan Hiro masuk akal, mungkin karena terlalu banyak pekerjaan membuat wajahnya menjadi kacau.
Hiro mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi, ia hampir terlibat kecelakaan sehingga merugikan orang lain. Setelah sadar dengan apa yang ia lakukan, Hiro memilih pulang kembali ke apartemen.
***
"Silahkan, Pak." Seorang perawat mempersilahkan Hiro untuk masuk ke ruang ICU. Kakinya terasa berat untuk melangkah. Walaupun Hiro bersikeras mengatakan jika tidak mengenal Heri, tetapi nyatanya ia tetap pergi ke rumah sakit Medical Green. Untuk sampai ke rumah sakit ini, Hiro harus melakukan perjalanan jalur udara selama 4 jam dan jalur darat selama 20 menit. Dia tidak membawa apa-apa kecuali dompet dan juga ponsel. Padahal beberapa jam yang lalu, Hiro tidak ingin datang sama sekali. Tetapi nyatanya ia tetap datang.
Hiro melihat seorang laki-laki terbaring lemah dengan banyak alat yang terpasang pada tubuhnya.
"Kondisi Pak Heri semakin memburuk, ada 3 tembakan yang mengenai tubuhnya. Salah satu peluru mengenai organ penting," jelas perawat. Padahal Hiro tidak bertanya tentang kondisi laki-laki di depannya.
"Baguslah."
"Ha?!" perawat sangat terkejut dengan respon Hiro.
"Oh maaf." Kata maaf yang Hiro katakan tidak menunjukkan perasaan bersalah karena sudah memberikan respon yang tidak terduga. "Boleh tinggalkan saya sendiri?"
Perawat tanpa ragu.
"Tenang saja, saya tidak akan membunuhnya." Hiro berbicara sambil tertawa kecil. Siapa yang tidak khawatir melihat bahasa tubuh dan perkataan Hiro? Bahkan ia sudah seperti seorang psikopat saja.
Meskipun perawat pergi meninggalkan ruangan, namun ia tetap mengawasi dari kamera pengintai ruang ICU. Siapa pun yang berhadapan dengan Hiro, tentu saja mereka tidak akan percaya dan menaruh rasa kecurigaan yang tinggi.
Kini hanya ada Hiro di dalam ruangan. Dia belum melangkah untuk mendekat sehingga menciptakan jarak.
"16 tahun," lirih Hiro. Kemudian, ia tertawa seperti orang yang tidak punya hati sama sekali. Orang-orang pasti menganggap dirinya gila. Meskipun begitu, Hiro tidak peduli sama sekali.
Kini Hiro sudah dekat dengan ranjang. Ia bisa melihat dengan jelas laki-laki yang terbaring di depannya.
"Kenapa sekarang? Seharusnya lo hubungin gue kalau udah ada ditanah," ucap Hiro sambil menatap dengan tatapan yang tidak bisa ditebak. Ia menguap sampai mengeluarkan air mata
"Sudahlah, silahkan mati dengan tenang," ucap Hiro lagi. Ia ingin keluar dari ruangan. Tetapi ia tidak bisa melangkah karena ada yang menahan tangannya.
"Lepas!" Berhubung Hiro bisa menebak siapa yang tengah memegang tangannya, maka ia tidak terlalu terkejut. Sebenarnya Hiro bisa melepaskan dengan paksa. Apalagi tangan yang memegang tangannya sangat lemah.
"Gue bilang lepas!" Hiro berkata dengan tegas tetapi tangannya tidak dilepas sama sekali. Ia tidak ingin berbalik, namun nyatanya Hiro tetap membalikkan badan. Tatapan mereka bertemu. Kedua tatapan itu sangat berbeda.
"Ma-maaf," lirih laki-laki yang bernama Heri. Ia berkata dengan sangat pelan.
"Gue nggak butuh maaf lo."
"Ma-maaf." Heri kembali mengatakan maaf.
"Gue bilang nggak butuh!"
Heri tersenyum dengan air mata yang menetes. "A-apa kabar?"
Mendengar pertanyaan itu, Hiro langsung tertawa. Meskipun begitu, tatapan Heri tidak berubah sama sekali.
"Lo hidup dengan baik," ucap Heri dengan terbata-bata.
"Tentu. Gue hidup dengan baik tanpa kalian." Hiro melepaskan tangan Heri. "Jangan hubungi gue lagi, kita nggak punya hubungan apa-apa."
"To-tolong gue," ucap Heri sebelum Hiro benar-benar pergi meninggalkannya.
"Gue mo-mohon," ucap Heri lagi.
"Lo nggak punya malu?" Hiro mengepalkan tangan.
"Hidup gue nggak lama lagi."
"Baguslah."
Heri tidak peduli dengan respon Hiro. Ia pantas mendapatkan kebencian dari Hiro."Tolong jaga anak gue," pintanya.
"Gila."
Satu kata yang dikatakan oleh Hiro sebelum pergi menghilang dari ruangan. Mereka tidak pernah bertemu sejak 16 tahun yang lalu. Sekalinya bertemu, keadaan mereka sangat berbeda. Tentu saja Hiro belum menerima keadaan yang terjadi. Ia mengira semua hanya mimpi belaka.
"Dimana anaknya?" tanya Hiro kepada perawat yang berjaga di ruang ICU.
"Anak siapa, Pak?"
Hiro tidak ingin menyebut nama Heri, ia malah menunjuk ruang ICU Heri.
"Ikut saya, Pak." Perawat membawa Hiro ke ruangan lain.
"Ini ruangannya, Pak." Kini Hiro dan perawat sudah berada di dalam sebuah ruangan.
"Pa-pa," lirih batita mungil yang berada di atas ranjang. Ia tidak bisa banyak bergerak karena begitu banyak alat yang menempel pada tubuhnya.
Sedangkan orang yang dipanggil Papa hanya menatap dalam keadaan diam. Hiro tidak berniat untuk mendekat sama sekali. Bahkan saat batita mungil itu sudah mengeluarkan air mata dan terlihat berusaha menggerakan tangan, Hiro juga tidak bergerak untuk mendekat.
Tiba-tiba Hiro tertawa. Jika ada yang melihat, maka mereka pasti mengira Hiro adalah orang gila. Bagaimana mungkin ia tertawa didepan anak kecil yang tengah terbaring lemah. Bahkan anak kecil itu menangis sambil memanggil dirinya dengan sebutan "Papa".