Alita adalah gadis yang tegar, didikan orangtua yang keras dan disiplin membuat ia menjadi gadis tegar, mandiri, dan berani. Tak setetespun air mata keluar dari kelopak mata Alita, walaupun hatinya begitu hancur, marah dan kecewa melebur menjadi satu karena Kenzo memutuskan hubungan mereka secara sepihak.
Keputusan Kenzo membuat kemarahan dan depresi berat dalam diri Alita. Semua yang ia perjuangkan selama ini seperti tidak ada artinya sama sekali, semua janji manis Kenzo yang selama ini ia agung-agungkan seketika terasa pahit di hati Alita. Alita sampai rela harus menjadi anak pembangkang dan kerap bertengkar dengan kedua orangtuanya demi mempertahankan hubungannya dengan Kenzo. Tapi apa balasan yang Kenzo berikan padanya? Dimana janji Kenzo yang rela berkorban apapun demi cintanya pada Alita?
Dalam kemarahan dan kekalutannya malam itu, alita memacu mobil Daihatsu Copen Miliknya dengan kecepatan tinggi. Hujan deras yang turun tak membuat nyalinya ciut. Ia mamasuki gerbang tol arah Bandung, entah kemana tujuan Alita, ia pun tak tahu, ia hanya ingin ketenangan dan pergi sejauh mungkin dari Kenzo. Ia nyalakan music dari mobilnya dan memutar volumenya ke tombol paling keras untuk memecah kesunyian.
Masih terbayang dengan jelas memori-memori indah yang ia lewati bersama Kenzo, masa depan yang mereka impikan dan bagaimana konsep pernikahan yang sudah mereka bayangkan sebelumnya. Semua sirna malam itu, Alita merasa Kenzo sudah mencampakkannya.
Konsentrasi yang kurang dan pekatnya malam serta jalanan yang licin membuat Alita beberapa kali kehilangan kendalinya dan hampir menabrak pembatas jalan. Namun ia tidak perduli, kemarahan dan egonya lebih besar dan menutupi akal sehatnya. Hingga di km 97 Alita benar-benar tidak bisa mengendalikan laju mobilnya dan menabrak pembatas jalan, kecelakaan pun tak bisa dihindarkan lagi.
Kepala Alita membentur stir mobil dan mengalami luka yang cukup serius karena airbag pada mobilnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Setelah kecelakaan itu ia masih memperoleh kesadarannya, tapi yang diingat adalah kedua orangtuanya. Pertengkaran tadi sore masih sangat membekas di ingatannya. Ia mencoba bangun dari tempatnya, tapi kedua kakinya sulit digerakkan. Darah pun mulai mengalir dari kepalanya, setelah itu ia mulai kehilangan kesadarannya.
***
Jam dinding menunjukkan pukul 23.00, Sarah nampak gelisah mondar mandir di ruang tamu rumahnya. Ia begitu mengkhawatirkan anak gadisnya, sudah berapa puluh kali ia mencoba menghubungi putrinya lewat ponselnya tapi tak ada jawaban. Semarah apapun Alita tak pernah pulang selarut ini. Tamparan keras yang ia berikan pada putrinya itu membuatnya amat menyesal. Ia hanya tidak ingin Alita diperlakukan buruk oleh keluarga kekasihnya, ia sangat tau bagaimana keluarga Kenzo selalu memandang segala sesuatunya dari harta dan kedudukan. Lagipula perbedaan agama tentunya menjadi hal yang paling mendasar. Dari kesalahan masa lalu kedua orangtua Alita lah yang membuat mereka menjadi lebih mendalami agama. Mereka pun menginginkan laki-laki yang baik dan yang mengerti agama untuk kelak menjadi pendamping putrinya.
Hardjono yang sedari tadi memperhatikan istrinya mulai merasa terganggu, ia meletakkan koran yang sedang dibacanya. “Udah mah, tenang, namanya juga anak muda, apalagi sedang marah ya wajar lah. Paling juga kerunah temenya.”
“Ya ngga bisa gitu dong pah, ini udah terlalu malem, apalagi Alita kan ngga pernah pulang jam segini.” Sarah mulai gusar, wajahnya terlihat begitu khawatir.
“Coba mamah telfon, Nadine atau Rangga, siapa tau Alita sama mereka.” Hardiono memberikan saran. Nadine dan Rangga adalah sahabat Alita sejak awal mereka masuk kuliah.
“Iya kalo Alita sama mereka…kalo ternyata ketemu Kenzo gimana pah? Mamah takut Kenzo mempengaruhi Alita yang engga-engga pah.”
“Udaaah…coba mamah telfon mereka dulu.” Jawab Hardjono sedikit menenangkan.
Sarah mengambil ponselnya dan berusaha menghubungi Nadine.
Nadine yang terbangun karena suara ponselnya sedikit kaget. “Hallo tante, ada apa ya tante malem-malem gini?”
“Hallo Nadine. Tante mau tanya, Alita sama kamu ngga ya?” tanya Sarah dengan suara yang masih terlihat panik.
“Engga tante, malah seharian ini Nadine ngga ketemu Alita sama sekali.”
“Ya udah kalau gitu, coba tolong kamu tanyakan Rangga ya, tante ngga ada nomor telefonnya. Kalo tau Alita dimana kasih tau tante ya.”
“Iya tante. Emang Alita kena…”
Tut…Tut…Tut…!
Belum juga Nadine selesai bertanya, Sarah sudah memutus sambungan telefonnya. Nadine ikut terlihat panik. Ia bertanya-tanya apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Biasanya Alita selalu mengeluh padanya tiap kali ia berselisih paham dengan kedua orangtuanya. Ia juga tak pernah pergi selarut ini. Nadine tau betul Alita tidak mungkin melakukan hal-hal yang bodoh, tapi kenapa kali ini perasaannya tak enak.
Nadine berusaha menghubungi Rangga beberapa kali, tapi tak ada jawaban. Mungkin sudah tidur, pikirnya. Rangga memang tidak bisa diandalkan, keluh Nadine. Ia meninggalkan pesan untuk Rangga agar ia bisa langsung mengetahui apa yang terjadi pada Alita ketika mengecek ponselnya.
Sarah duduk di samping Hardjono. Ia berusaha menenangkan dirinya dan berfikir positif. Malam sudah semakin larut, Sarah merebahkan dirinya di kursi, hingga ketiduran di kursi tamu. Hardjono memilih menemani istrinya. Ia berusaha terjaga dari kantuknya untuk menunggu sang anak gadis pulang ke rumah.
Jam sudah menunjukkan pukul 00.30, tiba-tiba ponsel sarah berdering dan membangunkannya dari tidur. Hardjono meraih ponsel sarah di atas meja dan terlihat berbicara dengan seseorang di ujung telefon, sementara sarah memperhatikan dengan kecemasan yang mengusik hatinya karena ia tau pasti itu kabar dari Alita. Terlihat wajah Sarah begitu tegang menunggu cerita Hardjono setelah ia menutup telefonnya.
“Siapa pah?” tanya Sarah seolah tak sabar mendengar jawaban Hardjono.
“Alita mah…mamah sabar ya mah…” Hardjono mengelus lengan Sarah dan memeluknya. “Alita kecelakaan mah, sekarang sudah di Rumah Sakit.”
“Astagfirullah pah…Alita pah…” Sarah histeris, tak kuasa membendung air matanya.
“Tenang mah…kata suster tadi Alita sudah ditangani dengan baik, kondisinya sudah stabil.” Ucap Hardjono. “Ya udah, kita siap-siap ke Rumah Sakit ya mah.”
Tanpa menjawab, Sarah bergegas menuju kamar bi Minah di samping dapur.
Tok! Tok!
Bi Minah menbuka pintu sambil mengucek matanya. “Maaf bu, ada apa ya bu?” Bi Minah bingung majikannya membangunkannya tengah malam begini, apalagi sambil berlinang air mata.
“Bi, saya sama bapak mau ke Rumah Sakit, Alita kecelakaan, sekarang di Rumah Sakit. Saya titip Kevin ya bi takut kebangun.” Kata Sarah masih dengan isakan tangis.
“Astagfirullah bu…semoga non Alita ngga kenapa-napa ya bu.” Kata bi Minah kuatir.
“Ya Bi.” Sarah bergegas masuk ke kamarnya, berganti pakaian, dan langsung menghampiri Hardjono yang sudah menunggu di balik kemudi mobil. Mereka pun bergegas menuju Rumah Sakit yang dimaksud.
***
Hardjono dan Sarah baru saja sampai di lobby Rumah Sakit. Malam itu udara begitu dingin, hujan lebat yang turun dari siang hari itu membuat malam terasa mencekam. Suara petir yang datang bersahutan membuat jantung Sarah seperti ikut terhentak, sakit, bukan karena terkejut, tapi karena sesak membayangkan apa yang terjadi pada putri kesayangannya itu. Mereka berjalan menuju sebuah ruangan di sisi sebelah kiri. Sebuah ruangan dengan papan besar bertuliskan IGD yang dipasang di atas pintu masuk. Baru saja sampai di depan pintu, mereka dikejutkan dengan suara sirine ambulan yang baru datang dan berhenti di depan mereka.
Dua perawat dengan sigap keluar dari ruangan dengan mendorong ranjang besi. Mereka membuka pintu belakang ambulan dan terlihat seorang laki-laki yang berlumur darah dalam keadaan tak sadarkan diri. Perlahan mereka menurunkannya dan dibaringkannya tubuh lelaki itu ke atas ranjang. Sarah terlihat pucat, dan reflek memperkuat genggamannya pada lengan Hardjono. Ia tak bisa membayangkan apa yang telah terjadi pada Alita.
Alita dan Hardjono segera masuk menuju ke bagian perawat di ruang IGD setelah pasien yang berada di ambulan tadi sudah dibawa masuk.
“Maaf sus, kami keluarga Alita, tadi kami dihubungi katanya putri kami Alita mengalami kecelakaan.” Kata Hardjono kepada salah satu perawat yang sedang berjaga.
“Oh iya pak, mohon maaf kami baru bisa menghubungi keluarga karena kami tidak menemukan satupun identitas ketika pasien dibawa kesini. kami baru mendapatkan kontak Bapak setelah polisi menemukan ponselnya di dalam mobil setelah mobilnya dibawa ke kantor polisi.” Perawat berusaha menjelaskan.
“Oh iya sus, ngga papa. Justru kami berterimakasih putri kami sudah mendapatkan perawatan yang baik.” Ucap Hardjono.
“Mari pak, bu saya antar ke ruangan. Mohon maaf ini ponselnya.” Perawat menyerahkan ponsel milik Alita kepada pihak keluarga kemudian menunjukkan ruangan dimana Alita dirawat.
Dilihatnya putri kesayangannya itu terbaring tak berdaya di ranjang besi Rumah Sakit, dengan selang ventilator terpasang di mulutnya. Monitor di samping tempat tidur menunjukkan keadaanya stabil tapi kenapa Alita tidak bergerak? Pertanyaan itu seketika muncul di benak Sarah.
Sarah menghambur mendekati tubuh Alita. Tangisnya pecah melihat tubuh Alita penuh dengan selang dan kabel yang menempel. “Ya Allah, Alita…” Sarah mendekap tubuh Alita berharap ia bangun dan membuka matanya. “Maafin mamah Ta.” Ia genggam tangan Alita. “Kamu pasti kuat sayang, mamah akan selalu ada di samping kamu.” Janji Sarah.
Perawat keluar untuk menemui dokter jaga dan kembali masuk ke ruang Alita berada. “Maaf pak, bu, ada yang mau disampaikan Dokter di ruangannya. Mari pak, bu saya antar.” Perawat menuju ruang Dokter jaga diikuti Hardjono dan Sarah. “Silahkan masuk pak, bu.” Perawat membukakan pintu dan mempersilahkan mereka masuk.
“Silahkan duduk pak, bu.” Kata Dokter Jaga dengan ramah.
“Maaf pak, bu Adik ini mengalami benturan yang cukup keras di bagian kepala serta patah di kedua kakinya. Untuk kredua kakinya, kami sudah ambil tindakan untuk operasi. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Tapi, untuk benturan di kepalanya kami masih berusaha semaksimal mungkin. Untuk saat ini adik ini kehilangan kesadarannya atau dalam istilah medis mengalami Koma. Kami akan terus memantau dan berusaha semaksimal mungkin.” Dokter menjelaskan.
“Pah…” Sarah sangat terpukul mendengar penjelasan dokter. Hardjono terlihat lebih tegar dan berusaha menenangkan istrinya dengan mengelus punggungnya.
Hardjono dan Sarah keluar ruangan setelah mendapat penjelasan dari dokter. Kemudian mereka menuju ruang perawat untuk menanyakan sesuatu.
“Sus, yang bawa Alita kesini siapa ya sus?” Hardjono merasa janggal karena biasanya dokter akan mengambil tindakan setelah pasien mengurus segala administrasi dan mendapat persetujuan dari pihak keluarga.
“Tadi ada seorang laki-laki yang ikut mengantar kesini pak dan mengurus semua administrasinya.”
“Maaf sus boleh tau namanya siapa?”
“Maaf pak, saya tidak menanyakan namanya.”
“Ya sudah makasih sus.”
“Sama-sama pak.”
Hardjono tidak terlalu ambil pusing soal siapa yang mengurus dan membayar semua biaya perawatan dan operasi kedua kaki Alita, yang penting baginya adalah Alita sudah mendapat penanganan yang baik.
Tiba-tiba terdengar tangis histeris seorang wanita setengah baya di ruangan samping, tak berapa lama dua orang perawat laki-laki keluar dengan mendorong kursi besi dengan sesorang yang berbaring di atasnya tertutup kain putih. Sarah reflek mendekap dan menenggelamkan wajah ke d**a suaminya. Bisa terbayang apa yang dirasakan wanita paruh baya itu di dalam ruangan. Hardjono mendekap dan mengelus lengan istrinya.
“Maaf sus, yang meninggal itu yang tadi baru masuk? Kenapa ya sus?” tanya Hardjono kepada suster jaga yang baru kembali ke ruangannya.
“Iya betul pak. Kecelakaan sepeda motor pak.” Jawab perawat.
Hardjono kemudian mengajak Sarah menunggu di ruang tunggu yang sudah disediakan, karena memang anggota keluarga dilarang menunggu di dalam ruangan.
“Kasiahan ya…masih muda, ganteng…katanya sih mau ke Bandung, ke rumah pacarnya.” Sayup-sayup terdengar salah satu perawat berbicara dengan perawat yang lain.
“Ya namanya umur, kita ngga ada yang tau…denger-denger lokasinya ngga terlalu jauh dari kecelakaan sebelumnya, yang mengalami koma di ruang ujung.” Jawab perawat yang lain seraya berbisik.