“Maaf Pak, Bu, bisa kita bicara sebentar di ruangan? ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan mengenai kondisi putri Bapak dan Ibu,” ucap Dokter setelah keluar dari dalam ruang perawatan Alita.
“Tapi anak saya baik-baik aja kan Dok?” tanya Sarah cepat.
“Sepertinya begitu Bu, nanti akan saya jelaskan lebih lanjut di ruangan saya. Untuk sementara biarkan putri Ibu beristirahat dulu sambil saya pantau perkembangannya. Silahkan…” Dokter itu mempersilakan Hardjono dan Sarah untuk mengikutinya.
“Alhamdulillah ya Allah…” ucap Nadine yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan kedua orangtua Alita bersama dokter itu. “Ngga, lo denger kan tadi Dokter bilang apa?” Nadine benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Wajahnya terlihat begitu sumringah. Ternyata penantiannya selama ini berbuah manis. Terlebih perjuangan Tante Sarah yang jatuh bangun.
“Iya gue dengar,” jawab Rangga. Ia mangatupkan kedua telapak tangannya di ujung hidung. “Alhamdulillah…” bisiknya lirih. Reaksi Rangga terlihat lebih tenang dibandingkan Nadine yang begitu ekspresif menunjukkan rasa senangnya, hingga menitikkan air mata.
“Lo kok kaya ngga seneng gitu sih?” protes Nadine yang melihat Rangga terdiam.
“Ya terus gue harus apa? harus loncat-loncat? teriak-teriak?”
“Iya, iya…”
Nadine kembali menatap pintu ruang rawat Alita. “Gue bener-bener ngga nyangka sama sekali Ngga. Ini tuh kaya cerita di sinetron tau ngga sih? Bener-bener mukjizat! Nih lihat bulu tangan gue sampai merinding dengernya,” lanjut Nadine sambil memperhatikan bulu-bulu halus di tangannya. “Gue udah ngga sabar deh pengen ketemu Alita. Gue ngga sabar pengen jalan lagi sama dia, curhat sama dia. Yaaah… walaupun kita selalu di nomor duakan. Ya ngga sih? Tapi ngga papa lah. Toh juga cowoknya dulu yang kenal Alita daripada kita,” cerocos Nadine.
Mata Nadine menerawang dan mulai menyungging senyum. “Hmm… tapi beruntung banget deh Alita punya cowok kaya Kenzo itu… udah baik, romantis, ganteng… kaya lagi. Pantesan aja Alita cinta mati sama dia.”
“Heh, heh.. ngapain sih ngomong dia? Bikin rusak mood gue aja lo. Baru sekali aja lo ditraktir bebek panggang, terus lo bilang dia baik?!?” tandas Rangga.
“Yaelah, kenapa sih lo, kaya ngga suka banget sama Kenzo? Bilang aja lo kalah ganteng sama dia,” seloroh Nadine sambil menyenggol lengan Rangga dengan sikunya.
“Nih, lo ingat waktu malam-malam mobil Alita mogok terus dia ngga bisa pulang? Kemana Kenzo? Emang dia enggak mikir apa gimana kalau ada apa-apa sama Alita? Cewek malam-malam sendirian di tengah jalan, di tempat sepi pula. Percuma punya cowok kalau ngga ada di saat kita butuh! Lagian lo tau kan Alita baru aja ketemu dia??” cecar Rangga dengan nada emosi.
“Iya, iya… dan lo mau bilang untung ada lo yang ngga sengaja lewat??”
“Nah itu lo tau…”
“Ya waktu itu kan Kenzo bilang mau jemput nyokapnya. Ya masa iya Kenzo nyamperin Alita sambil bawa-bawa nyokapnya. Ada juga Alita yang kena semprot. Lo kan tau nyokapnya benci banget sama alita,” sanggah Nadine yang masih berusaha membela Kenzo.
“Satu lagi. Lo pasti juga masih inget kan waktu lo ngga sengaja mergokin Kenzo sama cewek lain? Terus lo ngadu ke Alita. Tapi apa kata Kenzo? Diaa bilang itu sepupunya dan kalian percaya?!?” Rangga tertawa sinis. Menertawakan Nadine dan Alita yang mudah percaya tipu daya laki-laki macam Kenzo.
“Ya percaya lah. Orang waktu itu Alita tanya ke Kenzo. Dan detik itu juga Kenzo langsung telepon cewek itu. Tu cewek juga bilang kok kalau dia sepupu Kenzo. Terus bohongnya di mana? Alita juga sempat ngobrol kok sama dia. Logikanya, kalo dia emang bener selingkuhannya Kenzo, pasti bakal dia gunain kesempatan itu dong buat jauhin Alita dari Kenzo. Trus… ya udah dia bakal milikin Kenzo seutuhnya.”
“Ya udah, terserah lo aja lah. Kebanyakan nonton sinetron lu…”
“Eh, tapi kira-kira Kenzo tau nggak ya kalau Alita kecelakaan??” tanya Nadine sambil berbisik. Ia takut orangtua Alita mendengarnya. Sudah pasti orangtua Alita tidak mungkin memberitahunya.
“Ya emang gue pikirin,” jawab Rangga cuek. “Lagian kalau dia tahu juga nggak bakalan berani dateng ke sini. Gue jamin seratus persen. Mau taruhan?”
“Eh, taruhan dosa tahu!”
Rangga terkekeh.
Kini Rangga dan Nadine sedikit lega. Mereka harap keadaan Alita semakin lama akan semakin membaik. Nadine yakin kondisi Alita akan kembali seperti sedia kala. Ia pun sudah tidak sabar untuk mengulang kembali kebersamaannya mereka. Berbeda dengan Rangga yang masih menyimpan kekhawatiran. Walaupun ia juga merasakan kebahagiaan yang sama, tapi di sisi lain ia juga takut terjadi sesuatu dengan Alita. Karena berdasarkan apa yang ia baca mengenai seseorang yang telah mengalami koma, ada yang bisa mendapatkan kesembuhan total, tapi ada pula yang mengalami komplikasi penyakit lain karena adanya penurunan fungsi otak, seperti terjadi kelumpuhan pada tubuh.
***
“Lo udah yakin kan Ra sama semua keputusan kamu? Jangan sampe nanti kamu nyesel,” ucap Silvi sambil memasuk-masukkan beberapa barang-barang berukuran kecil ke dalam kardus berukuran sedang.
Rara mengangguk. Ia pun juga tengah melakukan hal yang sama.
“Iya lah Kak. Lagian kan Kak Silvi juga udah kontrak rumahnya. Masa iya sih mau dibatalin. Kan sayang duitnya,” jawab Rara tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan n****+ miliknya. Ia terus mengambil n****+-n****+ itu dari tumpukannya dan memasukkannya ke dalam kardus, hingga pandangannya tertuju pada sebuah buku tebal berwarna pink dengan hiasan pita di bagian sampulnya. Tambah sengaja ia menemukan buku diary yang selama ini ia cari. Rupanya buku itu terselip di antara tumpukan n****+ miliknya di dalam lemari bukunya.
Diambilnya diary itu dan dibukanya lembar demi lembar. Sudah lama ia memiliki diary itu dan ia selalu rajin menuliskan sesuatu di dalamnya, hingga halamannya sudah hampir penuh. Semua yang ia rasakan selalu ia tumpahkan dalam diary itu, termasuk saat pertama kali ia mengenal mantan kekasihnya itu yang saat ini meninggalkannya begitu saja. Dilihatnya sebuah foto yang tertempel pada salah satu lembaran itu, foto dirinya bersama mantan kekasihnya itu saat mereka tengah merayakan hari jadi mereka yang pertama. Ia begitu lembut dan romantis… tapi nyatanya ia tak lebih dari seorang pembohong! Laki-laki b******k! Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak. Memory itu kembali muncul dalam pikirannya.
“Ya makanya Kakak tanya lagi sama kamu, biar kamu yakin. Kalo gini jawabannya sih kayaknya kamu udah bener-bener mantep. Lagian kenapa sih Ra… oke lah kalo kamu mau kita pindah, Kakak ngerti. Tapi apa perlu kamu sampai keluar dari pekerjaan kamu? Apa nggak sayang? Itu kan pekerjaan yang kamu pengen dari dulu,” tanya Silvi lagi.
“Ra?? Hei?!” Silvi menepuk pundak Rara dengan kipas kecil.
Rara pun langsung tersentak dari lamunannya. “Kak Silvi nih ngagetin aja. Sakita tau!” sungut Rara sambil mengelus pundaknya sembari menoleh ke arah kakak perempuannya itu yang duduk di belakangnya.
“Lagian diajak ngomong malah ngelamun. Kenapa? Inget cowok b******k itu lagi? Nih gue bilangin, laki-laki itu nggak cuma dia aja. Sekarang waktunya kamu harus buktiin, kalau kamu itu berharga. Kamu itu nggak pantes buat laki-laki yang nggak bertanggung jawab kaya dia!” Emosi Silvi selalu saja memuncak ketika membicarakan mantan kekasih adiknya itu. Ia tidak terima Rara diperlakukan seperti itu.
“Siapa juga yang nglamun,” jawab Rara mengelak.
“Pergi gitu aja… ditelfon malah dimatiin… inget aja, karma itu jalannya ekspres,” gerutu Silvi sambil terus membantu mengepak barang-barang Rara. Kali ini ia memasuk-masukkannya dengan kasar.
“Pelan-pelan dong Kak… ntar rusak barang-barang gue!” protes Rara. “Tapi Kak Silvi nggak bilang apa-apa kan sama Mamah? Maksudnya Kak Silvi ngga bilang apa alasannya kita pindah rumah?”
“Enggaaa… tenang aja. Kakak cuma bilang kita pengen rumah yang lebih kecil aja. Rumah ini terlalu gede buat di tempatin kita berdua,” jawab Silvi. “Ya emang repot sih bersihinnya. Lagian kamu tahu tiap hari Kakak pulang kerja aja udah malem banget. Sabtu, minggu? Mas Rio suka ngajak pergi. Kapan ada waktu beres-beresnya?” lanjutnya. Silvi adalah tipe orang yang tidak begitu suka mempekerjakan assisten rumah tangga. Mungkin bisa dibilang sedikit trauma, karena beberapa kali Silvi memakai jasa mereka, ia mendapatkan assisten yang tidak jujur. Tapi apa pun keinginan Rara, keputusan Rara, pasti akan berusaha Silvi penuhi. Apa pun akan ia lakukan demi adik semata wayangnya itu, walaupun harus meninggalkan rumah mereka yang sudah di tempati lebih dari 20 tahun. Rumah itu adalah rumah peninggalan almarhum ayahnya. Setelah ayah mereka meninggal, ibunya menikah lagi dan tinggal bersama suaminya di Sukabumi. Sementara Rara dan silvi memilih untuk tetap tinggal di Jakarta karena Silvi sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus di sana. Saat itu Rara pun juga masih harus melanjutkan kuliahnya di Jakarta. Sejak saat itu, Silvi merasa Rara adalah tanggung jawabnya. Kemana pun Silvi pergi, ia pun selalu mengajak serta Rara, termasuk ketika berlibur ke luar kota bersama Rio, kekasihnya.
“Terus rencana kamu apa? Kamu mau cari kerjaan di mana?” tanya Silvi lagi.
Rara hanya mengangkat bahunya. Saat ini ia belum memiliki rencana apapun. Kini di kepalanya hanya memikirkan bagaimana caranya untuk segera melupakan laki-laki itu. Bahkan demi untuk melupakan kenangan bersama mantan kekasihnya itu, Rara memilih untuk pindah rumah dan keluar dari pekerjaannya. Ia benar-benar ingin memulai semuanya dari awal, dengan kehidupan yang baru tanpa bayang-bayang laku-laki itu. Ia benar-benar ingin menghilang dari kehidupannya dan tidak ingin meninggalkan jejak. Memang terdengar konyol tapi menurutnya itulah yang akan membuatnya jauh lebih tenang.
Rara berdiri dari tempatnya duduk dan melangkahkan kakinya ke sudut kamar. Tanpa pikir panjang dibuangnya buku diary itu ke dalam tong sampah. Rasanya ia sudah tidak ingin menyimpannya lagi karena sebagian besar berisi kenangan bersama laki-laki itu.